Rektor UIN Walisongo memberikan cenderamata kepada Kevin Evaans (AIC). (FT/DUTA.CO/ZULFA)

SEMARANG | duta.co – Mengejutkan. Pemaparan hasil penelitian berjudul “Religious Extremism And Education: Do Schools Make A Difference?” dari Australia-Indonesia Center (AIC), benar-benar mengejutkan. Hasil penelitian itu menyatakan bahwa ada gap antarsekolah mainstream dan network sudah cukup mengkhawatirkan.

Ditandai dengan keterbukaan-ketertutupan, integrasi-separasi dengan dalam hal pendidikan, identitas campur-murni dan fokus pada komunalitas-keragaman, menunjukkan, bahwa berbagai macam varian dari 20 sekolah yang dijadikan obyek penelitian menguatkan disparistas tersebut.

Penelitian yang melibatkan Monash University, UIN Walisongo Semarang dan UGM Yogyakarta ini, memfokuskan di kota Semarang dan daerah Soloraya.

Bertempat di rektorat UIN Walisongo Semarang, Kevin Evans selaku Indonesia Director AIC bersama para peneliti, akademisi, perwakilan ormas (NU dan Muhammadiyyah), perwakilan kepala sekolah (yang dijadikan obyek penelitian) membeber hasilnya.

Ia menegaskan bahwa, penelitian ini dilatarbelakangi bahwa Indonesia menempati ranking 42 dari 163 negara (Global Terrorism Index: 2017). Ini menunjukkan bahwa Indonesia masuk daftar negara yang menjadi perhatian.

Penelitian ini tak membedakan latar belakang sekolah, akan tetapi berdasar enam indikator yang dibuat. Yaitu, otoritas sekolah, sanksi hukuman, pola perintah, hafalan, infrastruktur dan kebijakan lingkungan, enam ukuran ini akan memetakan sekolah-sekolah tersebut.

Dari pemetaan ini, muncul banyak temuan-temuan yang di luar ekspektasi peneliti. Harusnya sekolah moderat mengajarkan nilai-nilai yang toleran, tetapi, di satu sisi masih ada yang  mengimlementasikan prinsip-prinsip ketidak beragaman. Catatan tebalnya dari dari 20 sekolah yang diteliti ternyata masih adanya bibit ekstremisme.

Banyak rekomendasi dari penelitian ini baik kepada kepada kepala sekolah, madrasah dan kepada negara (pemegang kebijakan) guna mengurangi jarak yang menganga. Termasuk adanya kebebasan berpendapat dan teknologi menjadi faktor yang mengkatalis berbagai perubahan ini.

“Semua bentuk identitas orang Indonesia tiba-tiba terbuka, jadi yang dulu fundamentalis, manusia Pancasila, tetapi dengan kebebasan semua bisa jujur dengan identitasnya,” papar Kevin.

 Ditemui di ruangannya, Prof Dr H Imam Taufiq, M. Ag selaku pimpinan UIN Walisongo menyatakan bahwa, peran UIN Walisongo sebagai lembaga pendidikan yang menjunjung tinggi moderatisme masih banyak perkerjaan yang harus segera dilakukan.

Dalam hal ini, UIN Walisongo sedang menjajaki kerjasama dengan pihak-pihak lain untuk menyebarkan menguatkan moderasi di sekolah-sekolah. “Kita akan mengampanyekan secara masif gerakan moderatisme ini, ” tandas Imam Taufiq.

Terdapat dua cara untuk mendekatkan jarak antara kedua belah pihak ini. Dengan cara menguatkan pihak moderat dan memberikan pemahaman yang lebih kepada pihak lain. Usai pemaparan penelitian wartawan menemui wakil ketua PWNU Jateng, Dr H Najahan Musyaffa’ menyatakan bahwa semua elemen lembaga dan badan otonom NU harus bergerak.

Lembaga Pendidikan Ma’arif harus secara kuat memperhatikan pendidikan yang terkoordinasi dengannya, Lembaga Dakwah dengan penyebaran da’i yang menyejukkan dan berbagai bidang sesuai dengan kapasitasnya.

“Intinya adalah mengisi kekosongan (gap) dengan ajaran yang rahmatal lil alamin, penebar kedamaian dan prinsip pluralitas,” tambah Najahan. (zaf)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry