”Jika keluarga besar (NU) itu, dipimpin tokoh yang selalu mengikuti jejak pendahulunya dengan arif dan bijak, niscaya akan tercermin satu keluarga besar yang tidak berada pada posisi mutaalliqin/mustanidin (Dependen).”

Oleh MA Rofiq, Lc,ME.

SEBAGAI bangsa yang besar setelah Amerika, India dan Cina tentu bangsa ini berharap mampu menghadapi dan menyelesaikan segala tantangan yang melanda dan mengancamnya. Apalagi di dalamnya terdapatkan lebih dari 80% umat Islam yang memiliki kekuatan fisikal intelektual dan spiritual.

Nahdlatul Ulama sebagai warisan, sekaligus amanah dari para pendahulu yang telah merintis dengan susah payah, dengan segala kesungguhan dan keikhlasan, sehingga bisa diakui mayoritas muslim di negeri ini. Dalam berbangsa dan bernegara NU adalah saudara terbesar di antara saudara-saudara yang berada di dalam keluarga muslim negeri ini.

Dengan segala kekurangan dan kelebihan, tentunya, saudara-saudara tersebut menaruh harapan dari saudara yang besar untuk mendapatkan pengakuan dan perhatiannya dengan diajak saling dapat urun rembuk dalam menghadapi berbagai fenomena yang ada.Hampir dua tahun, bangsa Indonesia, bahkan dunia telah terlanda Covid 19 dengan daya pandemi yang menakutkan. Sekian bangsa, tentunya, berharap bisa bersatu padu mencari solusi sehingga mendapat formula dan pola yang bisa menjadi kontribusi terhadap negara. NU sebagai organisasi Islam terbesar di negeri ini, bahkan dunia, tentu mempunyai potensi untuk men follow up hal ini.

Dengan kebesarannya, NU bisa menyayangi, melindungi dan mengayomi pada saudara-saudaranya yang lain dengan saling takrim dan takdzim, antar satu dan yang lain dapat saling mengadopsi berbagai kelebihan masing-masing, sekaligus menembel kekurangannya. Sehingga lebih dari 80% umat Islam ini akan menjadi keuarga beasr yang berwibawa, tidak mudah untuk diadu antar satu sama lain.

Terlebih jika keluarga besar itu, dipimpin oleh tokoh yang selalu mengikuti jejak para pendahulunya dengan arif dan bijak, niscaya akan tercermin satu keluarga besar yang tidak berada pada posisi mutaalliqin/mustanidin (Dependen), yaitu kelompok yang mudah dideteksi dan dinilai harganya oleh orang lain, tentunya kelompok mana pun tidak menghendaki kriteria ini atau menjadi kelompok yang mustaqillin (Independen) yaitu kelompok yang mampu membiayai diri sendiri dengan kost sebesar apa pun dan tidak bergantung dengan siapa pun, apa pun, di mana pun dalam program dan pergerakan apa pun.

Dan pastinya pola ini diminati oleh berbagai kelompok lain, terlebih firqoh atau kelompok yang ketiga yaitu mutabarriin (Interdependen) kelompok yang di samping mampu membiayai semua program dan pergerakannya, juga memiliki daya endus yang tajam dalam memenuhi dan melayani multi keperluan orang lain.

Kelompok yang terakhir inilah yang diharapkan oleh para santri yang, selalu mengintip dan berkhidmah kepada para gurunya. Ini semata untuk mendapatkan tetesan ilmu yang bermanfaat dan barokah, sekaligus mendapatkan wirotsah qoyyimah dari para guru dan guru gurunya sampai maha guru yaitu rosulillah SAW sesuai dengan wasiat beliau: khoirun nas ‘anfa’ uhum lin nas.

Untuk mendapatkan posisi kelompok ke 3 ini, NU sebagai saudara terbesar — dalam rumah tangga yang besar – tentunya, mampu memprakarsai multi program dan pergerakan dengan berkolaborasi bersama saudara-saudara yang lain. Mereka harus kita ajak berembuk mengenai berbagai hal mulai dari as syuun ad diniyah, as syuun iqtisodiyah as syuun At thibbiyah as syuun At tarbawiyah dan as syuun as siyasiyah likhidmatil Ummah serta as syuun At tsaqofiyah. Dengan begitu NU mampu menyandang predikat izzah dan haibah-nya mampu mengatasi berbagai hal yang diperlukan dalam hidup dan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Tentunya hal ini tidaklah mudah untuk dapat dicapai, oleh karenanya diperlukan beberapa langkah strategis diantaranya sebagai berikut:

  1. Mengembalikan kualifikasi pendidikan yang berkualitas, Independen dan mandiri sehingga dapat mencetak putra putri bangsa yang berkualitas Independen dan mandiri pula yang dikawal oleh para guru yang, selalu bekerja keras, cerdas dan ikhlas. Jika tidak demikian, maka sulit akan mendapatkan generasi yang diharapkan.
  2. Penguasaan terhadap ekonomi baik daratan maupun lautan mulai dari hulu ke hilir tentunya dengan mempersiapkan SDM yang handal, mampu menguasai data dan peta yang valid, pandai memutar modal dengan inovatif, dedikatif, agresif dengan hati-hati dan jeli dan mampu mendirikan multi korporasi yang memproduksi segala keperluan bangsa yang sekaligus dapat dijadikan sebagai central didik dan cetak karakter serta akhlaq al karimah yang menguasai gerakan fisik moral dan spiritual secara seimbang. Dan tidak kalah penting selalu berdoa dan bertawakkal kepada Allah sebagaimana perkataan Syekh Abu Bakar al Warraq: Tholabtud dunya dil ardli faidzan wajadtuha mu’allaqotan fis sama’ “saya mencari dunia (harta) di bumi, ternyata ia digantungkan di atas langit”.
  3. Senantiasa mengintip segala keperluan masyarakat sesuai dengan yang diperlukan. Ini baik secara kuantity maupun kuality. Terlebih bangsa kita yang mencapai 274 juta jiwa dengan jumlah 17.000 pulau di dalamnya mengandung multi keperluan manusia. Mulai dari era rempah-rempah sampai era uranium nikel dan bauksit. Tentunya semua ini memerlukan kepekaan sekaligus persiapan dan kemampuan dalam melaksanakan tugas yang besar ini.

Sudah 76 tahun bangsa kita telah merdeka dan, secara dzohir para penjajah telah meninggalkan negeri ini, tapi disadari maupun tidak, multi kekayaan yang ada di darat maupun laut, di seluruh wilayah negeri ini belum dikelola oleh bangsa yang besar ini. Atau ternyata kekuatan musuh-musuh itu tetap menguasai kekayaan dari hasil kesuburan bumi, hingga multi mineral yang seharusnya menjadi anugerah dan amanah bangsa ini.

Santri yang dengan segala keterbatasannya berharap besar terhadap NU. Kiranya NU mampu merealisasikan terhadap hal-hal ini dalam format, program maupun rencana strategis dalam 5 tahun ke depan dari hasil muktamar ke-34 NU di Lampung. Terlepas dari siapa pun dan, dari mana pun yang akan memimpin organisasi Islam terbesar di negeri yang besar dan kaya raya ini.

Semoga qodrat dan irodat Allah menyertai harapan ini dan menjadikan kunci ghorod di dalam Garuda Pancasila yang berbunyi rakyat adil Makmur dan sentosa tercipta kehidupan yang menjadi harapan bangsa baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. (*)