Gus A'am Wahib Wahab (kiri) dan Gus Irfan Yusuf Hasyim. (FT/wiwiek)

SURABAYA | duta.co – Dua kali sudah, halaqah para kiai dan dzurriyah muassis (anak cucu pendiri red.) Nahdaltul Ulama (NU) digelar. Jika tidak ada aral melintang, Rabu (5/12/2018) halaqah III digelar di Taswirul Afkar, Surabaya. Sebuah tempat di mana NU mengawali pergerakannya.

“Selain Jombang, Kota Surabaya tidak bisa dinafikan. Surabaya merupakan urat nadi pertumbuhan dan perkembangan NU. Tidak hanya menjadi tuan rumah berdirinya NU, dari Surabaya pula organisasi para kiai itu dikendalikan pada masa-masa awal,” demikian H Agus Solachul A’am Wahib Wahab, kepada duta.co, Sabtu (24/11/2018).

Menurut Gus A’am Wahib, diharapkan pada halaqah III di Surabaya ini, lahir formula baru, bagaimana caranya menyelamatkan NU dari jebakan politik praktis. Diakui atau tidak, jelas Gus A’am, panggilan akrabnya, akhir-akhir ini pengurus NU lebih sibuk dalam urusan politik.

“Tidak mudah memang, tetapi, kami yakin Allah swt membukakan jalan. Kami yakin, bahwa, NU bisa berdiri tegak di atas khitthah 26.  Kondisi saat ini sangat memprihatinkan. Saya selalu menangis ketika ziarah ke makam Mbah Wahab. Kalau ini dibiarkan, bukan saja NU yang rusak, republik juga terancam, karena NU sudah larut politik,” jelas Gus A’am Wahib yang juga cucu KH Wahab Chasbullah ini.

Masih menurut Gus A’am, halaqah III ini sedianya digelar di Situbondo, tempat di mana NU kembali ke khittah-26. Tetapi, setelah dilakukan istikharah oleh kiai, sebaiknya di Taswirul Afkar Surabaya terlebih dulu, baru halaqah IV dilaksanakan di  Situbondo.

Surabaya memang punya sejarah penting bagi NU. Sebelum NU bertempat di ibu kota (Jakarta), PBNU memang berkedudukan di Surabaya. Sempat pula pindah ke Pasuruan dan Madiun untuk alasan yang taktis, namun tak berlangsung lama.

Peranan Surabaya yang menjadi salah satu kota besar sejak era kolonial, memang memiliki fungsi strategis. Di kota itulah pusat pemerintahan dan perdagangan di daerah timur Jawa ditempatkan.

Selain aksesibilitas mudah, pendidikan pun berkembang. Pergolakan pemikiran dan pergerakan pun bersemi. Tak heran, jika lantas NU (saat itu) menjadikan Surabaya sebagai markas utamanya.

Besarnya kontribusi Surabaya dalam NU secara nasional tak perlu diragukan. Sayang belum banyak catatan sejarah yang mengabadikannya. “Nanti kalau masih ada waktu, peserta halaqah diajak jalan kaki menuju tempat tempat bersejarah bagi NU. Di harapkan dari sini semangat menegakkan khittah NU semakin kuat,” jelasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry