JAKARTA | duta.co – Nama Luluk Nur Hamidah, anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) DPR RI, viral di media sosial. Suaranya lantang menyoal kecurangan Pemilu 2024. Katanya, proses Pemilu 2024 benar-benar menyakitkan. Ia menilai, etika dan moral politik Pemilu 2024 berada di titik nol.
Dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (5/3), Luluk menegaskan pemilu adalah wujud dari kedaulatan rakyat. Tidak ada satu pun kekuatan di negeri ini yang boleh merebut apalagi menghancurkan.
“Maka pemilu harus berdasarkan pada prinsip kejujuran keadilan tanggung jawab dan etika yang tinggi. Tidak boleh satupun pihak yang mencoba memobilisasi sumber daya negara untuk memenangkan salah satu pihak, walaupun mungkin itu ada hubungan dengan anak, saudara, kerabat, atau relasi kuasa yang lain,” kata Luluk lantang.
Semangat Luluk ini, ternyata menjadi perhatian nahdliyin di akar rumput. Tidak sedikit yang heran dengan kegalakan PKB. “Mulai kapan partai ini bergaya oposisi,” tulis seorang warganet.
Doktor M Sholeh Basyari, Direktur Ekskutif CSIIS (Center for Strategic on Islamic and International Studies) menilai, bukan watak PKB beroposisi terhadap pemerintah, termasuk sibuk menggulirkan hak angket.
“Saya melihat PKB mulai ‘ikut’ manuver PKS, termasuk menyoal proses pemilu. Bahkan, terkesan lebih galak (meski bukan oposisi) pada pemerintahan Jokowi. Penyebutan pemilu paling brutal hingga arahan langsung Cak Imin (Muhaimin) agar PKB mendorong hak angket, menjadi bukti, bahwa partai ini sudah bergeser dari watak aslinya. Koalisi PKB, PKS, Nasdem, ini membuat PKB semakin condong menjadi ‘PKS KW1’,” demikian Doktor M Sholeh kepada duta.co, Rabu (6/3/24).
Menurut pengamat politik Islam dan dosen di Perguruan Tinggi NU di Ponorogo ini, adalah wajar kalau warga nahdliyin menjadi ‘gerah’ dengan gaya oposisi PKB. Akhirnya banyak yang mencoba menghidupkan kasus lama. Sosok Prof Ali Masykur Musa, menjadi harapan baru warga NU.
“Ini, tentu, mengingatkan kita pada konflik PKB Parung-Ancol, di Mahkamah Agung. Sementara Yaqut Cholil Qoumas mengerahkan pengawas Kemenag Kabupaten atau Kota untuk berkomunikasi dengan DPC DPC PKB. Di saat yang sama, Lukman Edy dan Saifullah Yusuf, terus memperkuat lobby dan kuda-kuda politik di seputar Istana,” tegasnya.
Ketika ditanya soal manuver politik Cak Imin yang jarang terbaca publik, M Sholeh pun mencoba menerkanya. “Kita lihat, Cak Imin mencoba menjaga bargaining terhadap presiden terpilih, Prabowo. Langkah ini bisa terdeteksi dari sikap PKB terkait hak angket. Cak Imin seakan tidak terpengaruh manuver lawan, dengan terus merapatkan barisan, termasuk pada sejumlah Caleg incumbant yang tidak terpilih lagi. Juga, keseruan PKB menyiapkan sejumlah langkah politik menyambut Pilkada serentak akhir tahun ini. Kita bisa baca,” tegasnya.
Dinamika tersebut, tegasnya, menggambarkan peta terbaru PKB. Peta terbaru itu adalah desakan mengambilalih PKB dari kubu Muhaimin. “Apa reasoning politiknya, sehingga Cak Imin perlu diganti. Pertama, sederet fakta ini memperkuat indikasi itu. Mulai dari ‘ikut-ikutan’ PKS mempersoalkan proses-proses pemilu, galak (meski bukan oposisi) pada Jokowi, penyebutan pemilu paling brutal hingga arahan langsung Muhaimin agar PKB mendorong hak angket. Dengan begitu PKB condong menjadi ‘PKS KW 1’,” tegasnya.
“Kedua, perubahan ‘kelamin’ PKB seperti ini, secara lebih serius bisa disebut sebagai bentuk penyimpangan dari prinsip perjuangan PKB: Menyimpang dari nilai-nilai Islam Ahlu Sunnah waljamaah,” tegasnya.
Ketiga, lanjutnya, langkah politik PKB dalam Pilpres dan ‘wujud’ PKB pasca Pilpres, menggambarkan pergeseran dan perubahan haluan politik PKB yang cenderung ke kanan. Ini sama hal dengan mengkhianati kaum nahdliyyin.
“Aspirasi politik warga NU, tidak dikelola secara sembarangan. Bahkan dalam perkembangan terakhir, mandat dan aspirasi tersebut disalahgunakan Cak Imin untuk mendekat kaum kanan yang kritis pada pemerintah, sekaligus menjauhi sawadi al-a’dzam, kekuatan politik mainstream. Ini berbahaya,” pungkasnya. (mky)