“Tiba-tiba aku teringat adanya polemik kebudayaan antara Sutan Takdir Alisjahbana sang pembongkar tradisi versus Sanusi Pane dan kawan-kawannya sebagai pelestari tradisi. Polemik yang terjadi dari tahun 1935 hingga 1939 itu, ternyata sukses mengubah corak pendidikan di Nusantara.”

Oleh Ch Fuad A. Al-Mutamakkiniy*

SANGATLAH terasa, kejujuran Gus Ulil Abshar Abdalla – kejujuran mengapa dan bagaimana dia menghadang radikalisme sebagai ideologi politisasi agama – sebagaimana terekam di  //youtu.be/F8sfpW4-tk8?si=bHhlmstqcflVOaBG. Kini kejujuran itu kembali menemukan momen-tumnya di tengah polemik nasab, walau dia lebih wise (bijak) karena tidak seganas dulu ketika masih asyik dengan JIL-nya.

Radikalisme muslim pada masa Orde Baru memang bergerak secara clandestine lantas terkombong pada masa reformasi ini, melalui tangan Daeng Anis Matta sebagai alumni Lemhanas – dengan didirikannya PK yang harus berubah jadi PKS untuk saluran politiknya kaum radikalis.

Walau radikalisme muslim sudah terkombong, ternyata masih bergerak dengan berbagai cara yang di antaranya adalah glorifikasi nasab Ba’lawi oleh para oknum Ba’lawi sendiri dan muhibbin-nya di pulau Kalimantan, Jawa dan Sumatera.

Struktur bangunan glorifikasi itu kini nir-faidah, apalagi sudah mulai porak poranda gara-gara gempa polemik nasab yang episentrumnya ada pada keturunan Sunan Gunung Jati. Namun, para tukang bangunan dari kaum santri yang minim literasi, masih ada yang tetap kekeuh pertahankan glorifikasi itu tanpa menyadari ada pihak yang berupaya memanfaatkannya untuk radikalisasi.

Terkait bagaimana gerak radicalism main mata lalu kuda-kudaan awut-awutan enggak karuan dengan gerak glorifikasi nasab itu oleh oknum Ba’lawi dan muhibbin-nya, mungkin hanya Gus Islah Bahrawi yang paling fasih menguraikan hingga clear.  Wkwkwk.

Ah. Tiba-tiba aku teringat adanya polemik kebudayaan antara Sutan Takdir Alisjahbana sang pembongkar tradisi versus Sanusi Pane dan kawan-kawannya sebagai pelestari tradisi. Polemik yang terjadi dari tahun 1935 hingga 1939 itu, ternyata sukses mengubah corak pendidikan di Nusantara.

Kini, polemik nasab antara beberapa keturunan Sunan Gunung Jati dan muhibbin-nya sebagai pihak perungkad versus para oknum Ba’lawi dan muhibbin-nya sebagai pihak tergugat, yaitu polemik yang telah berlangsung dua tahun lebih, akankah mengubah inferiority complex yang diindap sebagian bangsa kita, menjadi sangar seperti para pemain naturalisasi yang gabung di kesebelasan sepakbola Indonesia kita ketika bertanding melawan kesebelasan Arab pada tahun ini?

Kita tidak bisa menutup mata pada fakta bahwa polemik kebudayaan yang juga heboh terjadi itu, sebagai dinamika kebangsaan setelah sumpah pemuda dan sebelum proklamasi kemerdekaan, kemudian menemukan punctum silent berupa corak pendidikan nasional walau Sanusi Pane seolah-olah tersingkir oleh kecenderungan arah werternization yang sekarang makin abai terha-dap tradisi akal budi.

Diakui atau tidak, pendidikan nasional kita telah halus membantai atau – demi sopannya istilah – kurang pedulikan gagasan Ki Hajar Dewantoro yang mirip pesantren NU tempo dulu. Jangan lupa, Ki Hajar Dewantoro adalah satu geng dengan Sanusi Pane.

Menarik untuk dinikmati, bila polemik nasab yang masih ramai sekarang ini kemudian menemukan punctum silent juga, sebagaimana polemik kebudayaan dulu. Ya, walau kualitas polemik nasab itu njomplang bila dibandingkan dengan polemik kebudayaan, sebab, lawannya beberapa keturunan Sunan Gunung Jati adalah para oknum Ba’lawi dan muhibbin-nya yang lebih mengutamakan narasi apologetik berbalut depresi kejiwaan.

Bagaimana pun mentalitas inlander dengan inferiority complex-nya yang satu abad lebih telah melumpuhkan sebagian warga bangsa kita, haruslah diberi therapy se-elegan mungkin. Theraphy berbekal akidah untuk tadarruj atawa step by step atawa من العقيدة إلى التدرج dan bukan akidah untuk membangkitkan tsauröh atawa revolution atawa من العقيدة إلى الثورة.

Bukankah langkah tadarruj telah ditempuh oleh leluhur kita dalam islamisasi sebagai gerakan trans-nasional di Nusantara? Jangan sampai, karena kita terlena oleh tiadanya perang senjata, lantas langkah tadarruj itu berhasil dilakukan oleh para oknum Ba’lawi yang cerdas demi glorifikasi nasab walau di berbagai kesempatan mereka juga teriakkan langkah tsauröh akhlaq  di dalam upaya mengendalikan Indonesia kita padahal akhlak mereka sendiri dipertanyakan.

At last but not least, adanya penyakit inferiority complex yang –kita sadari atau tidak– telah terwariskan melalui stigmatisasi inlander sejak lebih dari satu abad yang lalu, akankah tetap kita biarkan bersemai dan tumbuh subur di jiwa bangsa kita?

Hanya kepada Tuhan kita kembali.

*Ch Fuad A. Al-Mutamakkiniy adalah sahabat Ulil sejak remaja

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry