KH Mustofa Bisri (Gus Mus) bersama aktor Slamet Rahardjo (kanan) membacakan puisi saat acara 'Doa untuk Palestina' di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. (FT/YOUTUBE)

“Beliau menggugah santri – termasuk saya – untuk belajar menorehkan tinta (menulis) di berbagai media, dengan tutur bahasa yang baik, beliau juga menyarankan membaca buku ‘Komposisi’ karya Gorys Keraf.”

Oleh: Ahmad Karomi*

Aku menyayangimu karena kau manusia
Tapi kalau kau sewenang wenang kepada manusia
Aku akan menentangmu
Karena aku manusia

Aku menyayangimu karena kau manusia
Tapi kalau kau memerangi manusia
Aku akan mengutukmu
Karena aku manusia
Aku menyayangimu karena kau manusia
Tapi kalau kau menghancurkan kemanusiaan
Aku akan melawanmu
Karena aku manusia
Aku akan tetap menyayangimu
Karena kau tetap manusia
Karena aku manusia
Aku akan tetap menyayangimu
Karena kau tetap manusia
Karena aku manusia
Aku akan tetap menyayangimu
Karena kau tetap manusia
Karena aku manusia
Aku akan tetap menyayangimu
Karena kau tetap manusia
Karena aku manusia

LIRIK di atas adalah karya Simbah Kakung Gus Mus yang dinyanyikan oleh Iwan Fals.  Saya pribadi tatkala mendengarkan lirik tersebut merinding tak mampu berkata-kata. Sangat tajam penekanan diksi  ‘karena aku manusia’ dari kiai penulis cerpen Gus Dja’far ini.

Sekedar flashback (kilas balik) saya mengenal Gus Mus bermula dari puisi-puisi berjudul ‘Allahu Akbar’, ‘Kau Ini bagaimana atau Aku harus Bagaimana’, ‘Wanita Cantik di Multazam’, buku cerpen kesalehan sosial dan kesalehan ritual, bahkan VCD sholat bersama Gus Mus.

Sungkem perdana kepada Sang Pena Emas ini kira-kira tahun 2001 ketika diundang acara Khataman Fathul Wahhab di Alfalah Ploso Kediri. Beliau didaulat untuk memberikan mauidzoh hasanah kepada para santri yang telah menyelesaikan masa belajar di Ploso.

Gus Mus memulai kisah perjalanan nyantrinya dari Lirboyo dan pertemanannya dengan Gus Miek, sosok kiai nyentrik-nyeleneh dari Ploso. Salah satu yang sempat saya ingat, beliau menuturkan kisah unik bersepeda ontel bersama Gus Miek ote-ote (tanpa baju), bercelana komprang, bakiak, berambut gondrong dari Lirboyo ke Ploso bak pendekar sakti mandraguna. Mungkin dari kenyelenehan inilah, Gus Mus dipanggil Romo Kiai Bisri Mustofa untuk boyong ke Rembang.

Salah satu dawuh Gus Mus yang terekam dalam otak kecil saya adalah ’istiqomah belajar dan jangan pernah berkecil hati’. Beliau menyontohkan perjalanan intelektualnya hingga di Al-Azhar Kairo, itu semua tidak terlepas dari kemampuan mengemas ilmu pesantren menjadi lebih keren, seperti ilmu ‘arudh yang berisi syiiran, ilmu balaghoh yang berisi ilmu ma’ani, bayani, badi’ bila dikemas dengan bahasa yang baik akan menjadi rangkaian kata-kata indah penuh makna.

Beliau menggugah santri – termasuk saya – untuk belajar menorehkan tinta (menulis) di berbagai media, dengan tutur bahasa yang baik, beliau juga menyarankan untuk membaca buku ‘Komposisi’ karya Gorys Keraf. Lalu apa yang ditulis? Bisa dengan memulai dengan menerjemahkan kitab kecil, menulis ungkapan-ungkapan para penyair sufi yang penuh cinta damai.

Bagi Gus Mus, seorang santri memiliki potensi yang sangat kuat dalam menjawab tantangan zaman. PR-nya terletak pada kreatifitasnya masing-masing dan pantang menyerah. Sebab dalam pesantren tidak diajarkan patah arang dan putus asa.

Bagi kiai penyair yang enggan dipanggil kiai ini, persoalan kemanusiaan harus dikedepankan. Sebab dalam NU ada konsep ukhuwwah basyariyyah (persaudaraan kemanusiaan). Oleh karena itu, Gus Mus bersedia diminta tampil perdana oleh Gus Dur dalam pentas Malam Palestina untuk membacakan puisi.

Gus Mus yang oleh koleganya dijuluki sebagai Sang Pena Emas,  D Zawawi Imron sebagai Celurit Emas masing-masing memiliki misi yang sama, yakni kemanusiaan dan perdamaian, tegap menegakkan keadilan melalui karya-karya indah nan abadi. Istilah dalam cersil Kho Ping Ho, pendekar harus menguasai Bun (sastra/tulis) dan Bu (bela diri). Terlebih pendalaman Bu (sastra) yang menyerukan perdamaian, sebab dengan menulis, seseorang mampu melintasi selaksa waktu, bukan?!
Salam Ta’dzim Kagem Abah Gus Mus

Tulisan ini didedikasikan untuk Gus Mus atas penghargaan Yap Thiam Hien Award.
*Ahmad Karomi, Alumni Alfalah Ploso, PW LTNNU Jatim, Mahasiswa Program Doktor UINSA.
Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry