MAU BUNUH KEBUDAYAAN: Spanduk “Pagelaran Wayang Kulit Bukan Syariat Islam”. |IST

Heboh Viral Foto Spanduk “Wayang Bukan Syariat Islam”

 

MAU BUNUH KEBUDAYAAN: Spanduk “Pagelaran Wayang Kulit Bukan Syariat Islam”. |IST

Netizen dihebohkan foto spanduk berisi larangan pagelaran wayang kulit di Jakarta Pusat, karena tak sesuai syariat Islam. Foto itu menjadi viral dan memantik respons beberapa tokoh, termasuk sastrawan Goenawan Mohammad dan Ketua PBNU Saifullah Yusuf (Gus Ipul).

BERDASARKAN foto yang beredar di media sosial, spanduk tersebut berbunyi “Pemutaran Wayang Kulit Bukan Syariat Islam”. Bagian bawah spanduk tertulis Aliansi Masyarakat Muslim Se Jak-Pus. Viral spanduk larangan wayang kulit itu direaksi Goenawan Mohamad dalam cuitan di twitternya.

“Menyedihkan bhw kita terus sibuk dgn pertengkaran pilkada, sementara ada ancaman yg serius utk menghapus sumber2 kebudayaan bangsa,” kata akun Goenawan mohamad ‏@gm_gm

“Tiap agama, khususnya agama yg belum mati, selalu punya unsur lokal. Menghapuskannya sama dgn melakukan penindasan yg dungu,” tambahnya lagi.

“Kiyai Mastur, dalang penda’wah. Haruskah dia juga dilarang, krn wayang dinyatakan tak sesuai syariat Islam?” cuit lain GM, panggilan akrab budayawan itu, sambil menampilkan foto Kiai Mastur dengan latar belakang wayang kulit.

Dalam cuitan lainnya, GM memajang foto spanduk di Cempaka Putih, Jakarta, yang melarang pagelaran wayang kulit.  “Spanduk di Cempaka Putih, Jakarta. Wayang kulit dilarang. (Menurut orang2 yg tahu, syiar Islam di Jawa dgn wayang),” cuit Goenawa Mohammad.

Tanggapan Gus Ipul

Kiai Mastur, dalang pendakwah, yang fotonya dipajang Goenawan Mohammad di akunt twitter-nya.|IST

Viral spanduk wayang bukan syariah Islam juga terpantau juga oleh salah satu Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Saifullah Yusuf.

“Hari ini saya terima foto yang jadi viral, foto spanduk yang berisi bahwa wayang kulit bukan budaya Islam. Spanduk-spanduk seperti ini kelihatannya sepele, tapi cukup mengganggu,” katanya di sela-sela acara pelantikan Pengurus DPD Partai Amanat Nasional Jawa Timur, Minggu (22/1) kemarin.

Menurut Gus Ipul, sapaan akrab Saifullah Yusuf, wayang kulit sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka dan digunakan para waliyullah menyebarkan agama Islam di negeri ini. “Wayang itu warisan para wali. Wayang bisa jadi media dakwah, media pemersatu, dan media silaturrahmi,” ujarnya.

“Kalau wayang dianggap bukan tradisi Islam, pasang spanduk dulu di Islam juga tidak ada. Kalau dirunut-runut, arisan dulu di Islam juga tidak ada,” kata Wakil Gubernur Jawa Timur itu.

Gus Ipul ikut prihatin dengan kondisi bangsa saat ini. Menurutnya, percaturan politik di negeri ini sudah tidak baik dan mengarah pada perpecahan bangsa. Politik yang dijalankan oleh para elit dan tokoh masyarakat jauh dari tujuan konstruktif dan tidak menyentuh kepentingan masyarakat.

Gus Ipul menyebut dinamika politik yang berkembang di Indonesia saat ini dengan istilah politik caci-maki dan politik gontok-gontokan. “Saya berharap hentikanlah politik gontok-gontokan ini. Mari bersama berbuat untuk kepentingan bangsa,” katanya.

Ciptaan Sunan Kalijaga

Menurut sejarah Walisongo, Sunan Kalijaga dalam usaha menyiarkan dan menyebarluaskan agama Islam di masyarakat Jawa membuat beberapa mahakarya, di antaranya adalah syair “Lir ilir” dan konsep punakawan dalam dunia pewayangan.  Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng adalah karakter yang sarat dengan muatan keislaman yang dicptakan Sunan Kalijaga.

Nama-nama punokawan itu diambil dari bahasa Arab. Demikian pula sejumlah istilah pewayangan diambil sang Sunan dari bahasa  Arab. Misalnya, dalang, yang diambil dari kata “Dalla” yang artinya menunjukkan. Dalam hal ini, seorang “Dalang” adalah seseorang yang “menunjukkan kebenaran kepada para penonton wayang”.

Semar, yang berasal dari kata “Simaar” yang berarti Paku. Filosofisnya adalah di mana seseorang harus memiliki iman yang kuat dan kokoh laksana paku yang menancap.  Petruk, yang berasal dari kata “Fat-ruuk” yang berarti tinggalkan, di mana seseorang harus meninggalkan apa yang disembah selain Allah semata.

 Tokoh Gareng, yang berasal dari kata “Qariin” yang berarti teman. Seorang muslim harus pandai mencari teman untuk diajak menuju jalan kebaikan. Tokoh Bagong, yang berasal dari kata “Baghaa” yang berarti berontak. Seseorang muslim harus memberontak saat melihat kezaliman.

Dikisahkan, Sunan Kalijaga sering keluar masuk kampung untuk melakukan pagelaran-pagelaran wayang tanpa memungut biaya kepada penonton. Sang Sunan hanya meminta mereka untuk mengucapkan dua kalimat syahadat kepada siapa saja yang menonton pertunjukkan wayangnya.

Sunan Kalijaga memiliki pemikiran bahwa mereka harus didekati secara perlahan. Jadi tujuan utamanya mengislamkan mereka dahulu, baru bertahap mengajarkan akidah. Sunan Kalijaga juga berpendapat ketika seseorang telah memahami Islam, secara perlahan kebiasaan yang ada padanya dahulu akan hilang dengan sendirinya.

Tembang Suluk

Selain Wayang Kulit, beliau juga menciptakan tembang suluk yang sangat populer salah satunya adalah “Lir-Ilir”. Tembang terseut sarat akan makna tentang hakikat kehidupan dengan liriknya yang indah.

Berikut lirik dari tembang suluk Lir-Ilir karya Sunan Kalijaga:

Lir-ilir, lir-ilir

Tandure wus sumilir

Tak ijo royo-royo

Tak sengguh temanten anyar

Bocah angon, bocah angon

Penekna belimbing kuwi

Lunyu-lunyu penekna

Kanggo mbasuh dodod iro

Dodod iro, dodod iro

Kumitir bedhah ing pinggir

Dondomana, jlumatana

Kanggo seba mengko sore

Mumpung padhang rembulane

Mumpung jembar kalangane

Yo surak ’a, surak “hiyoo”

Terkandung filosof yang sangat mendalam dari tembang tersebut. Melalui tembang tersebut Sunan Kalijaga mengingatkan umat Islam untuk bangkit, karena telah tiba saatnya, bagi mereka untuk menerima ajaran Islam yang di bawa oleh para wali. Selain itu Islam dalam tembang ini di ibaratkan layaknya pengantin baru yang memikat hati, dan membawa kebahagian bagi orang-orang sekitarnya.

Para pemimpin diibaratkan sebagai seorang penggembala (Cah Angon), rukun Islam dan salat lima waktu diumpakan sebagai buah belimbing (bentuk belimbing yang berbentuk segi 5). Sunan kalijaga meminta agar para pemimpin-pemimpin untuk memberi contoh kepada rakyatnya untuk menjalankan salat lima waktu  dan rukun Islam.

Sunan memerintahkan orang Islam untuk tetap berusaha menjalankan lima rukun Islam dan salat lima waktu walaupun banyak rintangannya (licin jalannya). Semua itu diperlukan untuk menjaga kehidupan beragama mereka.

Sunan Kalijaga berpendapat bahwa agama seperti layaknya kain yang melindungi jiwa. Namun saat itu kemerosotan moral telah menyebabkan banyak orang meninggalkan ajaran agama mereka. Sehingga kehidupan beragama mereka digambarkan seperti pakaian yang telah rusak dan robek.

Sunan memerintahkan agar orang Jawa memperbaiki kehidupan beragamanya dengan cara yang rusak tadi menjalankan ajaran agama Islam secara benar, untuk bekal menghadap Allah SWT pada Hari Akhir.

Selagi masih banyak waktu, selagi masih banyak kesempatan, perbaikilah kehidupan beragama dan bertaubatlah.

Bergembiralah, semoga Kalian mendapat anugerah dari Tuhan. Saat datang panggilan dari Yang Maha Kuasa nanti, sepatutnya bagi mereka yang telah menjaga kehidupan beragama-nya dengan baik untuk menjawabnya dengan gembira.

Sosok Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga bernama  asli Joko Said, nama lainnya antara lain Lokajaya, Raden Abdurrahman, Pangeran Tuban, dan Syekh Malaya. Dia murid dari Sunan Bonang. Sunan Kalijaga juga berpartisipasi dalam pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak.

Joko Said lahir tahun 1450 Masehi, putra dari Adipati Tuban Arya Wilatikta yang dikenal sebagai Adipati yang bengis dan taklid kepada Pemerintahan Majapahit dan memeluk ajaran Hindu saat itu. Arya Wilatikta menetapkan pajak yang tinggi kepada penduduk.

Joko Said merupakan salah seorang yang menentang kebijakan ayahnya saat itu. Klimaks dari penentangan Joko Said dengan membongkar Lumbung Padi Kadipaten dan membagikan kepada warga, yang menyebabkan dia diusir dari istana.

Setelah keluar dari istana, Joko Said pernah menjadi seorang perampok. Dia merampok orang-orang kaya yang tidak mau mengeluarkan zakat dan kikir, kemudian hasil rampokannya dibagikan kepada rakyat miskin yang kelaparan.

Hingga akhirnya Joko Said bertemu dengan salah seorang dari walisongo, yakni Sunan Bonang. Dia kemudian berguru kepada Sunan Bonang dan dikenal sebagai Sunan Kalijaga.

Metode berdakwah Sunan Kalijaga hampir sama denga metode dakwah Sunan Bonang. Dia berdakwah dengan memasukkan unsur-unsur kesenian dan kebudayaan agar mudah diterima oleh rakyat yang pada masa itu masih banyak memeluk agama Hindu.

Sunan Kalijaga sangat toleran terhadap kebudayaan lokal yang ada, namun sangat tegas jika membahas mengenai akidah. Selama budaya masih bersifat transitif dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, dia menerimanya. hud/berbagai sumber

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry