AMMAN | duta.co  – Banyaknya model pemikiran baru dalam berislam, terutama yang hanya mengedepankan semangat beragama tanpa dibarengi pendalaman keilmuan yang memadai, terbukti membuat masalah baru dalam interaksi antar umat Islam sendiri dan antar umat beragama. Jika hal ini dibiarkan akan sangat berbahaya dan mengancam persatuan dan perdaudaraan serta keutuhan NKRI.

Semua ini disebabkan oleh kemalasan para dai dan kaum muslimin untuk membuka kembali turats dan warisan keilmuan yang sangat kaya raya yang dimiliki umat Islam

“Ada situasi yang sangat memprihatinkan dalam berislam belakangan ini terutama pasca tahun 90 an. Ada banyak sekali dai-dai kita yang pemahaman keilmuannya hanya mengandalkan bacaan Alquran dan terjemahan ayatnya, serta bacaan hadits dan terjemahan haditsnya. Mereka tidak mau atau tidak ngerti tatacara memahami sumber dasar hukum Islam itu secara baik dan benar, sehingga dalam menyampaikan pesan-pesan dakwahnya cenderung kaku, kasar dan menyalahkan orang lain atau bahkan mengkafirkan, bukan Mengajak atau merangkul kaum muslimin untuk semakin kuat dan bersatu,” terang KH. Muhammad Nur Hayid atau yang akrab dipanggil Gus Hayid.

Hal ini disampaikan saat Gus Hayid menyampaikan ceramah agama dalam acara peringatan maulid Nabi Muhammad SAW Tahun 2017 di KBRI Amman Jordania, Jumat (24/11/2017). Hadir dalam acara ini Dubes RI untuk Kerajaan Jordan dan para diplomat serta Warga Negara Indonesia yang tinggal di Ibukota Amman, Jordania.

Untuk itulah lanjut Kiai Muda dari Lumajang Jatim ini, diperlukan penguatan kembali pendalaman pemahaman kepada para dai-dai umat Islam yang selama ini mengisi ruang publik keagamaan apakah di majlis taklim, mimbar khutbah jumat atau tabligh akbar. Mereka perlu dibekali keilmuan pendukung utama dalam memahami Alquran dan hadits seperti ulumul qur’an, ulumul hadits, ushul fiqh, tarikh atau sejarah dan hasil ijtihad para ulama atau fiqh itu sendiri, khususnya bab khilafiyyahnya.

“Tanpa penguatan dai-dai kita, khusunya kepada mereka yang sudah memiliki komunitas dakwah sendiri, dengan keilmuan turats islamiyyah yang kuat, maka jangan berharap suasana dakwah wasatiyah atau dakwah yang mengajarkan Islam rahmatan lil Alamin akan terwujud. Ilmu yang saya sebutkan itu minimal yang harus dikuasai yang mudah diakses karena sudah ada terjemahannya. Masih banyak yang lain, apalagi mau mengakses sumber aslinya, ya harus menguasai nahwu, shorf, mantiq balaghoh dan masih banyak yang lainya ,” terang Pengurus Komisi Dakwah MUI Pusat ini.

Jika memang tidak memiliki kapasitas dan keilmuan seperti yang tersebut di atas, lanjut Gus Hayid, sebaiknya para dai atau pemimpin umat jangan aneh-aneh dan sok-sok an membuat pemahaman sendiri, membuat hukum sendiri dan menafsirkan alquran sendiri serta mensyarahi hadits sendiri. Bertawadlu’lah dengan bersabar membaca karya-karya para ulama yang ahli di bidangnya untuk membantu memahami alquran dan hadits secara benar dan tidak melenceng agar usaha kita berdakwah tidak tersesat dan menyesatkan.

“Memahami Alquran dan Hadits Nabi tak cukup hanya dengan membaca terjemahan keduanya. Kalau mampunya masih hanya membaca terjemahan. Jangan berani-berani berfatwa apalagi menyalahkan dan mengkafirkan orang lain. Pasti sesat orang yang demikian itu. Kalau sudah berani berdakwah dan menjawab masalah umat, seorang dai harus minimal selesai dan paham baca tafsir jalalayn, tafsir ibnu katsir, kitab fathul bari fi syarhi sohihil bukhori, baca kitab karyanya imam nawawi yang mensyarahi sohih muslim, membaca siroh nabawiyyah yang utuh, jangan sekilas doang dan mempelajari ushul fiqh serta kitab fiqh ala madhahibul ar’baah, khususnya bab khilafiyyahnya. Masih banyak yang lain kalau mau, semua tafsir dengan berbagai coraknya, semua kitab hadits dari kutubut tis’ah dengan syarahnya sekalian dan kitab-kitab pendukung lainnya. Itu bacaan minimal biar seorang dai tidak cupet dan merasa paling hebat sehingga dengan mudah menyalahkan orang lain gara-gara tata cara beribadahnya dianggap berbeda. Padahal ternyata yang berbeda itu soal furuiyyah, bukan masalah ushuliyyah,” tegas pengasuh Pesantren SKILL Jakarta dan juga Pengurus Lembaga Dakwah PBNU ini.

Gus Hayid meminta agar para dai yang sudah memiliki panggung dan pengikut untuk berhati-hati dengan pesan dakwah yang disampaikan. Sebab, dakwah yang sejatinya mulia dan agung serta menjadi ajaran pokok dalam islam, bisa jadi berbalik fungsi dan manfaat jika tidak disampaikan dengan benar dan tidak ditopang oleh kapasitas keilmuan yang memadai.

“Menjadi dai tak cukup hanya bermodalkan bisa orasi menarik, bisa ceramah dengan lucu dan memukau, serta memiliki suara merdu. Menjadi dari harus memperhatikan koridor yang saya jelaskan di atas. Kalau tidak, sangat mungkin niat awalnya menjadi dai itu baik, tapi sejatinya telah terjerumus menjadi ahli fitnah, tukang fitnah, penyebar kesesatan dan menjadi provokator. Hati-hati wahai para pendakwah, setiap ucapan yang keluar dari mulut kita akan dimintai pertanggung jawaban, apakah hanya bisa ceramah tapi tidak bisa mengamalkan dan apakah yang disampaikan itu benar-benar sesuai petunjuk Allah atau telah bercampur dengan kepentingan ekonomi dan kepentingan politik para dai itu sendiri atau kelompoknya. Semoga Allah menjaga kita semua dari terus menyekutukan Allah dengan terus berprilaku munafik, karena kita mengaku dai dan mengaku sebagai pemimpin umat, tapi sejatinya kita hanya menjadikan agama itu sebagai tameng kepentingan ekonomi dan politik kita sendiri. Wal iyyadu Billah,” pungkas Sekjen HIPSI (Himpunan Pengusaha Santri Indonesia) yang juga pernah menjadi Sekretaris Dubes RI di Aljazair ini. (hud)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry