Gus A'am Wahib (cucu KH Wahab Chasbullah). (FT/MKY)

SURABAYA | duta.co  – Komite Khitthah 1926 Nahdlatul Ulama (KK 26 NU) menyambut baik tawaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk dialog khitthah 1926. Ini sekaligus menjadi pintu masuk mengembalikan NU ke jalur aslinya, gerakan civil society, Ormas keagamaan, bukan menjadi alat politik partisan seperti saat ini.

“Saya membaca kabar PBNU membuka pintu dialog tentang khitthah. Bagus. Ini penting. Karena akhir-akhir ini NU sudah tidak ingat khitthah lagi. NU sudah dijadikan alat politik oknum PBNU untuk mendukung Capres Jokowi-Kiai Ma’ruf. Dalam keyakinan kita, NU sekarang dikelola persis partai politik,” jelas H Agus Solachul A’am Wahib, cucu muassis NU, KH Wahab Chasbullah kepada duta.co, Kamis (14/3/2019) di Surabaya.

Seperti diberitakan rmol.co, PBNU sangat berhati-hati dalam mencermati perkembangan politik kebangsaan. Sikap PBNU bukan atas dasar kepentingan politik pragmatis, khususnya menghadapi Pemilu serentak 2019.

Menurut Ketua PBNU, Aizzudin Abdurrahman, meskipun memiliki bobot politik, namun NU bukanlah partai politik.

Jadi, lanjut Gus Aiz sapaan akrabnya, yang harus dipahami dalam proses berdemokrasi sebagai warga negara adalah setiap warga nahdliyin memiliki hak politik, hak untuk dipilih dan memilih.

“Ini yang harus dilindungi, jadi tidak ada pelanggaran khittah,” ujar Gus Aiz yang juga cucu pendiri NU KH Hasyim Asyari ini seperti dalam keterangannya, Kamis (14/3).

Gus Aiz bahkan menilai sebagai sebuah langkah mundur jika Komite Khittah 1926 membunuh hak politik warga nahdliyin.

“Jangan karena merasa paling dzurriyah (ahlul bait) lalu membawa agenda pihak lain yang sama sekali tidak diketahui maslahahnya, apalagi yang jelas-jelas madhorotnya bagi NU,” tegas Gus Aiz.

“PBNU terbuka untuk hal ini, ada kanal komunikasi melalui silaturrahim ataupun tabayyun, tentu prinsip-prinsipnya harus dipenuhi,” pungkasnya menambahkan.

Apa yang disampaikan Gus Aiz ini, menurut Gus A’am lebih kepada persepsi dia. Padahal, pelanggaran khitthah NU sudah berlangsung cetho welo-welo (terang benderang red.).

“Saya sampai heran, mereka ini tidak tahu atau tidak mau tahu. Politisasi NU yang dilakukan oknum PBNU sudah sangat kasar, mudah dilihat. Kalau dikatakan untuk melindungi warga nahdliyin, mengapa tidak semua dilindungi? Orang awam saja paham,” jelas Gus A’am Wahib.

Masih menurut Gus A’am, kalau PBNU ingin dialog, maka, mereka bisa datang pada halaqah ke-7 di Cililitan, Jakarta, Sabtu 30 Maret 2019. “Tapi jangan setengah-setengah, silakan Kiai Said Aqil (Ketua Umum PBNU) atau Kiai Miftakhul Akhyar (PJ Rais Aam) datang. Ini akan menjadi pintu masuk penegakan khitthah,” tambahnya.

Bagaimana kalau Gus Aiz datang, Gus A’am Wahib mempersilakan. “Tetapi, kalau hanya dia, jelas tidak akan menghasilkan apa-apa. Mereka ini hanya tahu kalau Kiai Ma’ruf sudah mundur, lalu bilang tidak melanggar khitthah. Padahal, bukan sekedar itu,” jelasnya.

Ketika ditanya soal kritik jangan merasa paling dzurriyah muassis, Gus A’am Wahib, putra Menteri Agama RI ke-8 (KH Wahib Wahab) ini, menyebutkan, bahwa, sesungguhnya ini bukan masalah dzurriyah atau tidak dzurriyah. Tetapi, faktanya tidak ada yang berani bergerak. Kalau ada warga NU yang coba-coba mengingatkan, malah dibully. Nah, sebagai dzurriyah muassis NU, kita wajib ‘turun gunung’.

“Masalahnya sekarang siapa yang berani bergerak? Siapa yang berani mengingatkan PBNU? Tidak ada. Yang coba-coba mengkritik PBNU bisa, dibully. Keberadaan KK-26-NU ini menunjukkan, bahwa, masih ada yang berakal sehat, berani bergerak untuk menyelamatkan NU. Karena hari ini NU sudah menjadi kuda troya politik,” urainya.

Bukankah sudah ada kanal tabayun, komunikasi dengan PBNU? “Nanti kita jelaskan. Kalau mereka mau datang, kita tunjukkan berapa kali dilakukan tabayun. Saya berharap pada halaqah ke-7 tanggal 30 Maret di Cililitan, Jakarta, PBNU datang. Dan lebih tuntas kalau yang hadir Kiai Said Aqil dan Kiai Miftakhul Akhyar,” tegasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry