Dr H Syamsul Ghufron, MSi – Dosen Program Studi PPG-SD Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

BAHASA, termasuk bahasa Indonesia, bersifat dinamis. Kedinamisan itu menjadikan bahasa Indonesia berubah dari masa ke masa. Bahasa Indonesia yang lahir tahun 1928 berbeda jauh dengan bahasa Indonesia sekarang. Kosakatanya berkembang.

Pedoman berbahasanya lebih disempurnakan. Buku Pedoman Pembentukan Istilah sudah diterbitkan. Buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI) sudah tersosialisasikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi cetak, file offline, dan file online bisa dijadikan pedoman.

Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) penyempurna Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan (EYD) pun sudah disahkan. Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) sudah banyak disempurnakan dan digunakan. Aplikasi Penyuntingan Ejaan Bahasa Indonesia (Sipebi) pada 28 Oktober 2021 secara resmi diluncurkan.

Info Lebih Lengkap Bisa Buka Website Resmi Unusa

Itu semua hasil kerja Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang patut dibanggakan. Badan ini memiliki komitmen yang tinggi dalam memajukan kebahasaan dan kesastraan di Indonesia terutama pada wilayah pengembangan bahasa. Namun, bagaimana wilayah pembinaannya? Seberapa jauh pembinaan bahasa Indonesia saat ini?

Itulah pertanyaan yang harus dijawab oleh para guru dan dosen di Indonesia. Pengembangan bahasa Indonesia sebagaimana dipaparkan di atas lebih terfokus pada bahasanya, sedangkan pembinaan bahasa pada pemakainya. Upaya pengembangan bahasa Indonesia tanpa disertai pembinaannya kurang bahkan tidak ada gunanya.

Siapakah yang menjadi pelaku pembinaan bahasa Indonesia atau pembina bahasa Indonesia? Guru dan dosen jawabnya. Pembinaan bahasa pada hakikatnya merupakan upaya sosialisasi dan implementasi hasil kerja pengembangan bahasa. Pembinaan bahasa yang paling efektif dilakukan melalui pendidikan formal yakni sekolah dan kampus. Karena itulah, wajarlah jika guru dan dosen menjadi pembina bahasa Indonesia yang utama.

Penelitian-penelitian tentang kesalahan berbahasa tidaklah sepi dari pembahasan. Kesalahan ejaan, kesalahan diksi atau pembentukan kata, kesalahan kalimat, dan kesalahan-kesalahan lain ditemukan melalui penelitian. Manusia memang tidak lepas dari kesalahan. Hal ini berlaku pula dalam berbahasa. Dengan kata lain, bahasa seseorang tidaklah mungkin bersih dari kesalahan. Namun, yang menjadi keprihatinan kita adalah kesalahan-kesalahan bahasa yang ditemukan selalu sama dan berulang. Kesalahan penulisan prefiks “di-“ dan preposisi “di” tidak pernah teratasi.

Kesalahan pembentukan kata “mentaati, menterjemahkan, mengkoordinir, dsb.” tidak pernah diperbaiki. Kesalahan kalimat karena tidak lengkap unsurnya atau karena kontaminasi pun tidak pernah menjadi bahan refleksi dan introspeksi.

Bukankah manusia yang baik tidak akan mengulang kesalahan yang sama? Kenyataan ini menjadi bukti belum adanya upaya perbaikan. Bukankah sudah ada sepakat, niat, dan tekad untuk merealisasikan ungkapan “Hari ini harus lebih baik daripada hari kemarin”? Guru dan dosenlah yang menjadi tumpuan harapan.

Guru dan dosen adalah aktor utama dalam pembelajaran dan perkuliahan. Mereka menjadi pusat keteladanan: teladan dalam bertindak, teladan dalam berucap, dan teladan dalam berbahasa. Mereka harus segera menata diri, siap mengabdi kepada negeri, menepati janji Sumpah Pemuda “menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia”.

Mereka harus membuka kembali buku-buku pedoman berbahasa Indonesia apalagi sudah ada aplikasi yang bisa dimanfaatkan. Mari kita mulai dari diri sendiri. Setiap kali ada keraguan dalam diri kita akan kata baku atau penulisan kata yang tepat, kita buka KBBI atau ejaan.id.

Setiap kali ada kekhawatiran akan terjadi kesalahan dalam pemakaian ejaan dan tanda baca dalam tulisan, kita buka PUEBI atau Sipebi. Setiap kali muncul kegamangan dalam diri kita akan tidak tersampaikannya gagasan kita kepada pembaca, kita cermati kalimat-kalimat kita, sudah sesuaikah dengan TBBBI?

Upaya-upaya tersebut harus kita lakukan untuk memanfaatkan dan mengimplementasikan hasil-hasil pengembangan bahasa Indonesia. Kita sebagai guru dan dosen memiliki tugas membina peserta didik kita agar mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Dalam hal ini kita dituntut berbahasa Indonesia dengan baik dan benar lebih dulu agar menjadi teladan yang baik.

Setelah itu, jika menemukan kesalahan berbahasa pada peserta didik, kita harus berusaha membenarkannya. Kesalahan demi kesalahan yang kita perbaiki pada bahasa mereka tidak akan terulang lagi jika dilakukan secara rutin. Dengan demikian, kesalahan-kesalahan itu akan dapat diminimalisasi bahkan dikikis habis sehingga terwujudlah penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagaimana yang kita cita-citakan. *

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry