Sri Bintang Pamungkas (ist)

JAKARTA | duta.co – Belum rampung berkas perkara makar yang disangkakan Polda Metro Jaya kepada Sri Bintang Pamungkas dan tersangka lainnya, kini polisi sudah menangkap lima orang lagi. Yaitu Sekjen Forum Umat Islam (FUI) Muhammad Al-Khaththath dkk, red. Tuduhannya sama: makar.

Sementara ditangkap dan ditahan sejak insiden 2 Desember 2016, Sri Bintang mengaku mendekam di penjara tanpa dokumen administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 24-29 KUHAP. Sri Bintang dibebaskan 15 Maret 2017, namun statusnya masih tersangka.

Berdasarkan ketentuan KUHAP, menurut dia, penahanan di tingkat penyidikan seharusnya 20 hari, ditambah maksimal 40 hari. Di tingkat penuntutan, 20 hari, ditambah 30 hari. Namun, Bintang sudah ditahan lebih dari 100 hari selama di tingkat penyidikan.

Dikutip dari  CNNIndonesia, Selasa (4/4), Sri Bintang berpendapat bahwa pikiran penyidik Polri tentang makar tidak sesuai dengan yang mereka sampaikan dalam pasal KUHP. “Saya enggak tahu pikiran mereka tentang makar. Tetapi kalau dikaitkan dengan yang disebut dalam Pasal 107, 108, 110 KUHP, pikiran mereka tidak sama dengan itu,” ujar Bintang.

Dari situ, dia berkesimpulan bahwa Polri bodoh. Penyidik Polri tidak tahu isi pasal itu, tetapi menggunakan pikiran mereka tentang makar dengan menggunakan pasal tersebut. “Itu pula sebabnya saya tidak mau menjawab pertanyaan mereka. Karena makar yang di otak penyidik dengan yang dituduhkan tidak sama,” katanya.

Berdasarkan KUHAP, masa penahanan di penyidikan seharusnya 20 hari plus 40 hari, tapi yang terjadi pada Sri Bintang, dia ditahan lebih dari 100 hari.

“Polisi sekadar menahan. Atas dasar apa, saya enggak tahu. Dugaan saya, ada orang di balik Polri yang meminta begitu. Mereka punya agen-agen untuk membungkam. Penahanan terhadap diri saya tidak punya dasar,” jelasnya.

Saat 20 hari pertama dirinya ditahan, kata Sri Bintang, tidak ada dokumen untuk memperpanjang. Penyidik datang setelah 30 hari, dan mengatakan penahanan dirinya diperpanjang 30 hari. Mereka berusaha mendapat izin dari kejaksaan untuk memperpanjang lagi masa penahanan saya setelah 60 hari.

“Tetapi izin dari Kejaksaan tidak diperlihatkan kepada saya, seharusnya diperlihatkan. Saya dulu pernah ditahan atas tuduhan subversif tahun 1996. Tapi saat itu administrasi lengkap. Saya ditahan 20 hari, diperpanjang 40 hari, ada surat dari Kejaksaan dan pengadilan, ada semua. Untuk kasus subversif, secara administrasi lebih baik, perintah dalam KUHAP dilaksanakan. Yang kali ini tidak,” paparnya.

Diperiksa selama Ditahan

Bintang juga mengatakan, pada  hari ke-20, dia dipanggil untuk diperiksa. Dirinya menyiapkan delapan poin pernyataan untuk ditulis penyidik dan menjadi bagian dari BAP hari itu. Di antaranya adalah, tidak ada tindakan makar, cara polisi menyidik dirinya tidak profesional, polisi tidak taat HAM. “Sehingga dengan ini saya melaporkan kepada parlemen dunia tentang tindakan ini,” katanya.

Sri Bintang juga mengaku sempat diminta menjadi saksi untuk tersangka Rachmawati (Soekarnoputri). Kira-kira pada hari ke-60. “Tetapi dalam hati saya menolak karena itu sama saja saya berkhianat dengan teman sendiri. Ternyata pada hari dan jam yang ditentukan, mereka pun tidak menjemput saya untuk diperiksa,” paparnya.

Selama 5-6 hari pertama, Sri Bintang ditahan bersama Jamran dan Rizal (kakak beradik yang juga dijadikan tersangka 2 Desember 2016) di Tahanan Khusus Narkotika Polda Metro Jaya. Setelah itu dipisah, mereka berdua, Sri Bintang juga berdua dengan narapidana polisi yang akan ditahan selama 14 tahun.

“Saya ditahan di Blok A8 dengan ruangan kira-kira 3×8 meter persegi yang bisa diisi untuk empat orang. Tetapi saya hanya berdua. Saya di narkoba karena katanya gedungnya bagus. Menurut saya, yang bagus di blok saya saja karena bersih, tidak bau, dan tidak kumuh,” papar Sri Bintang.

Atas sikap Polri kepadanya, Sri Bintang mengatakan, kesewenang-wenangan itu pelanggaran hukum. Harus diungkap supaya kesalahan itu tidak terjadi pada masa mendatang. Sri Bintang pun menyiapkan beberapa.

Pertama, dirinya akan melapor ke parlemen tentang kesewenang-wenangan ini. Kedua, dia mau memasang iklan di media sosial, mencari pengacara. Pengacara ini bukan hanya harus bisa membebaskan dirinya dari jeratan makar tetapi juga membuktikan bahwa tuduhan makar itu palsu.

“Hal ini perlu disampaikan kepada masyarakat dunia karena tuduhan palsu ini berasal dari negara, yang diwakili oleh Polri. Jadi publik internasional harus mengerti bahwa Indonesia melakukan tuduhan palsu kepada warganya,” katanya.

“Kasus makar saya ini ibarat begini: ada peristiwa pembunuhan, yang terbunuh tidak ada, alat pembunuh tidak ada, tetapi ada pembunuh. Yang terjadi sekarang ini, asal ada kumpulan massa, akan dianggap sebagai cara yang dipakai untuk menjatuhkan rezim,” urai Sri Bintang.

Padahal kalau baca Pasal 107, 108, 110 KUHP, menurut Bintang, tidak demikian. Jadi negara saat ini, melanggar Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berserikat dan berkumpul juga.

“Salah dua kali: tuduhan palsu dan membungkam orang. Ini kejahatan negara. Sampai saat ini saya masih jadi tersangka, seharusnya kalau memang tidak ditemukan bukti, kasus saya dihentikan, SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Kasus saya hanya dicari-cari,” urainya.

Al-Kaththath Makar di 5 Kota?

Belum selesai penanganan Sri Bintang, Polda Metro Jaya telah menangkap lima tersangka kasus makar jilid II, yakni Al-Khaththath dkk, red. Bahkan, mereka diduga merencanakan upaya makar di lima wilayah di Indonesia secara bersamaan. Hal itu diketahui usai kepolisian melakukan rekonstruksi kasus itu di dua tempat, yakni Menteng dan Kalibata, Jakarta pada Senin.

Kabid Humas  Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono mengatakan, kelima tersangka makar juga merencanakan ‘pemanasan’ secara serentak di lima kota selain aksi 31 Maret lalu. Kelima kota itu adalah Makassar, Surabaya, Jogjakarta, Bandung dan Jakarta.

“Dilakukan secara bersamaan. Itu (ada) dalam pertemuan-pertemuan yang dilaksanakan,” kata Argo di Polda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (4/4) kemarin.

Menurut Argo, rencana dugaan makar itu merupakan bagian dari ‘rencana besar’ menggulingkan pemerintahan yang sah sesudah 19 April 2017 hingga Ramadan. Dia menuturkan rencana itu merupakan hasil pertemuan kelima tersangka di Menteng dan Kalibata, Jakarta.

“Artinya yang utama dari pertemuan itu adalah untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan menduduki Gedung MPR/DPR,” ucap Argo.

Rekonstruksi itu sendiri bertujuan untuk mendalami peranan dari masing-masing tersangka dalam kasus dugaan makar tersebut.

Sebelumnya, empat tersangka makar Zainudin Arsyad, Irwansyah, Dikho Nugraha dan Andre Zainudin digelandang ke Polda Metro Jaya, Senin (3/4) malam, untuk menjalani pemeriksaan tambahan.

Mereka tiba sekitar pukul 21.13 WIB dibawah penjagaan ketat polisi bersenjata. Sementara, usai pra-rekonstruksi, Sekjen FUI Muhamad AlKhaththath langsung digelandang ke tahanan Markas Brimob, Depok Jawa Barat. Kelima tersangka dijerat pasal 107 dan 110 KUHP Tentang Permufakatan Makar.

Pengacara Membantah

Sementara itu, ketua tim pengacara kasus dugaan makar, Achmad Midan, membantah kliennya (Al-Khaththath dkk) merencanakan aksi menduduki Gedung MPR/DPR RI dengan cara menabrakkan truk ke pintu gerbang atau masuk lewat gorong-gorong menuju gedung parlemen terebut.

“Enggak ada itu, mau masuk lewat gorong-gorong, nabrak, enggak adalah ha-ha-ha,” kata Achmad Midan, ketika dihubungi, Selasa (4/4).

Achmad Midan mengatakan, Al-Khaththath, diberi 34 pertanyaan sejak ditahan polisi pada Jumat (31/3) lalu. Seluruh pertanyaan itu seputar uang tunai sebesar Rp 18,8 juta yang ditemukan dari Al-Khaththath karena diduga terkait rencana makar. Achmad mengatakan bahwa uang itu berkaitan dengan rapat yang dihadiri Khaththath.

“Rapat itu di Masjid Baiturahman di Jalan Saharjo, itu kaitannya adalah yang terkait gerakan Gubernur Muslim Jakarta yang diketuai Irwansyah. Nah itu hanya membicarakan teknis-teknis membahas mengawasi TPS-TPS di Jakarta,” ujar Achmad.

Adapun mengenai uang Rp 3 miliar yang disebut polisi untuk melancarkan makar, Achmad mengaku tak mengetahui secara pasti.

“Itu uang Rp 3 miliar dari mana saya juga nggak tahu. Yang jelas bahwa di dalam kegiatan GNPF itu pernah terhimpun dana hampir Rp 5 miliar, enggak ada (untuk makar), itu tujuannya untuk (aksi) 212, kemudian disalurkan ke kegiatan kemanusiaan di Aceh,” ucap Achmad.

Achmad Midan kini tengah berupaya mengajukan permohonan penangguhan penahanan para tersangka kasud dugaan makar. Dia juga telah melapor ke Komnas HAM. Achmad diminta transparan menunjukkan bukti konkret mengenai adanya upaya makar yang dituduhkan pada kliennya.

“Karena ini kan menyangkut kepentingan negara, kepentingan rakyat semua jadi jangan asal-asalan gitu ya, hemat saya, kejahatan-kejahatan ini tak sederhana, harus betul-betul mendapat bukti yang mendukung terhadap sudah masuk kategori,” ujar Achmad Midan.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengatakan terduga pelaku pemufakatan makar sudah menyusun rinci rencana menggulingkan Pemerintah RI. Dalam pertemuan di Kalibata, Jakarta Selatan; dan Menteng, Jakarta Pusat; disebut para tersangka makar membutuhkan dana Rp 3 miliar untuk menggulingkan pemerintah dan salah satu caranya adalah dengan menduduki Gedung DPR/MPR.

Menurut Argo, pelaku sudah merencanakan beberapa jalan untuk masuk, seperti dengan menabrakkan truk ke pagar belakang DPR dan masuk melalui gorong-gorong dan jalan setapak.

Polisi telah menetapkan lima tersangka kasus dugaan pemufakatan makar. Mereka adalah Zainuddin Arsyad, Irwansyah, Veddrik Nugraha alias Dikho, Marad Fachri Said alias Andre dan Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam (FUI) Gatot Saptono alias Muhammad Al Khaththath. Kelimanya ditangkap menjelang aksi 313 pada Jumat (31/3/2017) lalu. Kelima orang tersebut disangkakan Pasal 107 KUHP juncto Pasal 110 KUHP tentang Pemufakatan Makar.

Veddrik dan Marad juga dikenai Pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Menurut polisi, Veddrik dan Marad sempat melontarkan perkataan yang menghina etnis tertentu. hud, cnn, tri

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry