“Kerjasama terpadu antara media massa dengan TNI ini bisa menjadi solusi alternatif penguatan legitimasi TNI dengan media dan masyarakat.”

Oleh : Andi Mulya*

PANGLIMA TNI Marsekal Hadi Tjahjanto beberapa waktu lalu, tepatnya Juli 2018, di depan Pemimpin Redaksi (Pemred) media massa menyebut pentingnya sinergitas antara TNI dengan media massa, terutama dalam ‘perang’ melawan hoax di masyarakat.

Harapan Panglima ini langsung diterjemahkan dengan langkah konkret oleh TNI AD (Angkatan Darat). Sampai di lapisan paling bawah, seperti Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang berhubungan langsung dengan rakyat menjalin sinergitas dengan media massa.

Kesan seram yang, selama ini melekat di prajurit TNI mulai ‘pudar’ seiring dengan banyaknya pemberitaan media massa yang mengangkat kinerja TNI dalam mengabdikan diri kepada bangsa dan negara. Hebatnya, tanpa tampil seram, Babinsa tetap tidak kehilangan ‘kegagahannya’ sebagai benteng NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Hal itu membuat masyarakat kembali percaya bahwa TNI bisa menjadi pelindung dan pengayom mereka. Itu semua juga berkat peran media massa yang mengangkat pemberitaan tentang aktifitas TNI sebagai pelindung masyarakat.

Banyak aksi heroik dilakukan para prajurit. Dari TNI AD yang memiliki komitmen manunggal dengan rakyat, kita saksikan aksi heroik Sertu Waki yang berdinas sebagai Babinsa Koramil Gadingrejo, Kodim 0819/Pasuruan saat menolong seorang warga yang terseret arus banjir.

Selanjutnya, bagaimana kemampuan personel TNI AD yang bisa mencari korban tewas tertimbun tanah longsor di Bogor dengan menggunakan bela diri tenaga dalam.

Terbaru, kepekaan dan ‘daya cium’ yang tajam terhadap ancaman NKRI. Baru saja kita saksikan di sejumlah daerah buku-buku paham komunis yang dijual bebas, mereka amankan. Di Kediri Jawa Timur disita oleh petugas gabungan TNI, Polri, dan kejaksaan, itu pun juga ada peranan media massa yang mempublikasikannya secara masif dan, pada akhirnya masyarakat ‘melek’ mata bahwa mereka harus mewaspadai bahaya laten komunis.

Bahaya tumbuh kembangnya paham komunis sudah diprediksi jajaran TNI khususnya TNI AD hingga ditingkatan bawah. Sebenarnya pengungkapan yang terjadi di Kediri sudah bukan hal yang baru. Sewaktu Panglima TNI dipegang Jenderal Gatot Nurmantyo sudah disinyalir adanya pergerakan komunisme yang menyebarkan ideologinya ke kalangan milineal.

Makin masif-nya penyebaran ideologi komunis inilah yang membuat Jenderal Gatot dengan berani memerintahkan seluruh jajaran TNI AD memutar film Tragedi G30S/PKI dan akhirnya menuai kontroversi yang dianggap tidak mengkonsultasikannya kepada presiden.

Jenderal Gatot waktu itu ingin masyarakat tahu, bahwa bahaya laten komunis sebenarnya sudah kembali berkembang di bumi pertiwi ini. Namun targetnya adalah di kalangan pemuda milineal dan berharap mereka melek dan mengetahui sejarah kejamnya PKI yang ingin mengubah ideologi Pancasila dengan komunisme.

Dari hal tersebut, peran media pun menjadi vital dalam mempublikasikannya dan berharap masyarakat pun tahu dan waspada atas bahaya laten komunis.

Prestasi dan pengabdian prajurit lainnya yang tidak bisa disebutkan seluruhnya juga mendapatkan jutaan apresiasi dari masyarakat. Kesemuanya itu juga tidak lepas dari peran media dalam mengemas peran dan tugas TNI menjadi sesuatu hal yang sangat berarti dan mendapatkan kepercayaan yang tinggi dari rakyat Indonesia.

Pasang Surut Hubungan Media Massa dan TNI

Hubungan media dengan TNI juga pernah mengalami pasang surut di zaman Orde Baru. Dimana kontrol media yang dilakukan TNI atau ABRI pada waktu itu ikut menjadi momok tersendiri dalam kebebasan pers dalam menyampaikan informasi ke publik.

Setelah pergantian rezim dimana era reformasi mengubah peta politik dan sosial di Indonesia yang sekaligus menghapus dominasi TNI dalam kontrol ke media. Peran lembaga pertahanan Republik Indonesia ini mau tidak mau juga harus terbuka terhadap media. Sudah tidak ada sekat atau batasan dimana media bisa mempublikasikan peran TNI, baik itu menyoroti hal-hal yang positif maupun negatif dan tidak takut lagi diberedel.

Inilah yang menjadikan hubungan antara TNI dan media menjadi dinamis karena TNI membutuhkan media sebagai sarana penyampaian informasi dan eksistensi citra TNI sebagai lembaga itu sendiri.

Namun yang harus diingat adalah sisi dilematis dalam fungsi kerjasamanya dengan media, dimana ada rambu-rambu yang tidak boleh diinformasikan ke publik yakni tentang rahasia militer dan pertimbangan keamanan. Disinilah media atau jurnalis harus memahami agar tidak terjadi kesimpangsiuran di masyarakat.

Tapi, yang harus diingat bahwa TNI sendiri harus mengembalikan jati dirinya sebagai lembaga pertahanan dan keamanan negara. Sehingga peran media sebagai penyambung informasi TNI dalam fungsi dan tugasnya bisa langsung mengena dan dapat dipahami oleh publik.

Media sebagai Mitra

Makin masif-nya publikasi yang dilakukan media massa terhadap peran dan tugas TNI menjadi sebuah angin segar dalam pengembalian jati diri TNI sebagai lembaga pertahanan dan keamanan negara.

Maka dari itu perlu ada kerjasama yang komprehensif di mana media juga harus dilibatkan, baik itu melakukan kegiatan pendidikan dan pelatihan bela negara, wawasan kebangsaan, karya bakti, maupun kegiatan sosial lainnya.

Kerjasama terpadu antara media massa dengan TNI ini bisa menjadi solusi alternatif penguatan legitimasi TNI dengan media dan masyarakat. Sehingga kita yakini bahwa jati diri TNI semakin dicintai rakyat Indonesia sebagai garda terdepan pertahanan dan keamanan negara.

Selain itu, TNI juga telah melakukan reformasi di bidang penerangan di mana selain bekerjasama dengan media massa, TNI juga telah membuat jejaring media sosial dalam meningkatkan informasi ke masyarakat. Itu perlu dilakukan mengingat derasnya kabar hoaks yang bisa menimbulkan gesekan antara TNI dengan masyarakat.

Selamat bekerja dan selamat bermanunggal dengan rakyat. Rakyat menyaksikan Greget (Semangat red.) Angkatan Darat. (end)

*Andi Mulya SH adalah wartawan Duta Masyarakat, aktivis 1998 GMNI Untag Surabaya.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry