
“Seperti publik maklumi, meski sejumah tawaran solusi disodorkan, jalan sempat berliku dan terjal. Ploso, Tebuireng dan Lirboyo pertama, “gagal”. Pada akhirnya “happy ending” dan itu terlaksana di pertemuan Lirboyo kedua.”

Oleh Dr M Sholeh Basyari, Dpl BA, SAg, MPhli, MPd
KONFLIK PBNU memasuki babak baru. Rais Aam KH Miftachul Akhyar, Zulfa Mustofa dan M Nuh, ditepikan. Bahasan tentang ishlah, Cabut Mandat dan MLB, close. Peran Lirboyo, Ploso dan Tebuireng “di-off-kan”.
Perkembangan terkini tersaji dalam dua agenda di Masjid Hasyim Asy’ari, Jakarta Barat dan di Pesantren Miftahussunah, Surabaya. Pada dua momen tersebut, tampak peran sentral Saifullah Yusuf atau sering dipangil Gus Ipul (GI). Seperti dikutip sejumlah media, Gus Ipul memberi pernyataan berbeda, yakni tentang pleno (pencabutan) PJ Ketum, dan secara otomatis (pernyataan di Surabaya) Gus Yahya kembali sebagai Ketum PBNU.
Dua Skenario Dua Sutradara
Secara konklutif, dinamika PBNU sejak akhir November(?) hingga akhir Desember 2025 ini, setidaknya mengerucut pada dua skenario. Tentu dua skenario ini seperti tersajikan secara demonstratif berasal dari dua sutradara yang berbeda.
Skenario pertama dibuka dengan ketuk palu pemazukan Yahya Tsaquf dari ketum PBNU. Pasca pemakzulan, konflik langsung terbuka dan membara. Skenario pertama ini, bergerak secara rapi dan terstruktur memaksimalkan peran dan posisi Rais Aam. Selain Rais Aam, mobilisasi juga menyasar wakil ketua umum ke PJ Ketum (Zulfa Mustofa), Ketua (M Mukri) menjadi Waketum, juga Rais Syuriah yang digeser ke Katib Aam (Prof M Nuh).
Skenario ini secara total memanfaatkan ruang struktural dan kelambagaan PBNU. Lebih-lebih ketika rujukannya adalah sejumlah nomenklatur ini: supremasi Rais Aam, aturan AD/ART maupun Praturan Perkumpulan, terang benderang bahwa skenario pertama adalah “permainan dalam”.
Hanya tangan kuat yang mampu memindah pion dan bidak ini di panggung besar sekelas PBNU. Sejauh ini, tudingan mengarah kepada Saifullah Yusuf, Sekjen PBNU, sebagai tangan kuat yang dinilai bisa mengendalikan skenario tersebut.
Menariknya, perlu dicatat di sini juga, mustahil Gus Ipul tidak mengendus bahwa Zulfa Mustofa adakah orang dekat Nusron Wahid. Tetapi justru karena itu, bisa jadi Gus Ipul termasuk yang mendorong keponakan KH Maruf Amin ini untuk menerima tawaran PJ ketum? Startegi ini sukses mengkotak Zulfa. Nama Zulfa sulit dikerek pada muktamar nanti. Imbasnya, Nusron bisa jadi terlempar dari gelanggang. Bukankah Nusron juga tengah menimbang untuk hijrah ke Jamaah Tabligh (ormas yang berbasis di pelosok Magetan, Temboro)?
Setelah Zulfa masuk kotak, Gus Ipul mulai mengendus Cholil Nafis sebagai “orang” baru. Berkibarnya Cholil Nafis dalam dinamika PBNU dua bulan belakangan, kayak dicermati. Zulfa dan Cholil secara langgam politik, identic; single player. Belajar dari kasusu Zulfa, bahwa orang yang difungsikan sebagai pion oleh Gus Ipul, umumnya adakah single player.
Sementara skenario kedua tergelar di panggung lain. Kebalikan dari permainan strutktural. Pemanfaatan ruang kultural digerakkan secara tertata, sebagai respon atas pergerakan struktur. Ruang-ruang seperti silahturahmi di Ploso, Tebu Ireng dan Lirboyo, dengan atributitasi kekiaian yang kental, serta isu dan agenda yang ditawarkan, pararel dengan dan sekaligus jawaban atas reposisi struktural yang diusung oleh skenario pertama.
Dengan mengacu pada jaringan pesantren yang “dipakai”, person-person yang terlibat serta kuatnya desakan MLB dengan berlindung di balik isu ishlah, sejatinya mudah diendus bahwa skenario kedua yang memanfaatkan sayap kultural kental nuansa Raden Saleh-nya.
Kenapa? Sebab pasca Muktamar Lampung dan dengan adanya serangkaian pemecatan pengurus PWNU Jatim yang dekat dengan Ketum DPP PKB, ada indikasi Raden Saleh secara sayup-sayup meniupkan isu MLB, utamanya jelang Pilpres 2024.
Tidak itu saja, permainan tampak canggih ketika Imam Jazuli, kiai muda dari Cirebon “membelot” dari Lirboyo. Memori publik tidak perlu direfresh bahwa kiai pencipta jargon “warga NU wajib milih PKB, struktur NU sak karepmu”, tersebut adalah salah satu motor utama MLB selain Abdussalam Shohib. Kali ini, dua sohib akrab ini seakan berpisah: satu berada dalam gerbong Rais Aam, satunya lagi tergabung dalam blok kiai kultural.
Hasil
Hasilnya seperti apa? Seperti publik maklumi, meski sejumah tawaran solusi disodorkan, jalan masih berliku dan terjal. Ploso, Tebuireng dan Lirboyo pertama, “gagal”. Pada akhirnya “happy ending” dan itu terlaksana pada pertemuan Lirboyo yang kedua. Meski dengan ‘biaya’ sangat mahal: PKB kehilangan Ketua Dewan Syuro DPP (KH Ma’ruf Amin), Zulfa Mustofa nyaris masuk kotak, dan kita tidak melihat peran Nusron Wahid. Padahal selama ini NW dikenal sebagai king of the games, nyaris pada tiap agenda keluarga besar NU.
‘Ala kulli hal, kegeraman Kiai Maruf Amin terhadap kesediaan Zulfa Mustofa sebagai PJ ketum PBNU, membuka kotak Pandora betapa bahayanya skenario dua sutradara ini, bagi Zulfa. Benarkah? Waallahu’alam bish-shawab.
*Dr M Sholeh Basyari, Dpl BA, SAg, MPhli, MPd adalah Direktur Ekskutif Center Strategic on Islamic and International Studies,(CSIIS), Jakarta.





































