SURABAYA | duta.co -Pemerintah tahun 2019 ini terus memacu kinerja ekspor guna menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi dan mengurangi defisit neraca perdagangan. Untuk itu, pemerintah berencanamempercepat perjanjian perdagangan dan kesepakatan bersama sekitar 15 perjanjian dengan sejumlah negara potensi. Tujuannya  untuk menggejot kinerja ekspor yang tahun ini ditarget tumbuh 7,5%.

Demikian dikatakan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dalam acara Bincang Bisnis bertajuk Optimisme Perdagangan dan Ekonomi 2019 di Spazio, Selasa (26/2/2019). Menurut Enggar upaya penandatanganan perjanjian kerja sama dengan berbagai negara ini dilakukan agar dalam meningkatkan ekspor komoditas tidak terjadi perbedaan bea tarif masuk.

“Seperti perintah Pak Jokowi, kita akan membuka pasar-pasar baru. Jadi pasar-pasar tradisional seperti Eropa, China, Jepang dan Amerika tetap ditingkatkan dan dipertahankan, tapi pasar seperti Asia Selatan dan Afrika ini akan kita speed up,” ujarnya seusai

Dia mengatakan tahun ini akan dirampungkan penandatanganan 15 perjanjian Free Trade Agreement (FTA) yang dalam tahap proses. Namun masih ada beberapa perjanjian lainnya yang diperkirakan bisa dilakukan tahun depan sesuai dengan kondisi di regional negara tersebut.

“Ada yang kelihatannya selesai di akhir tahun dan awal tahun depan. Ini bukan di kita, tapi seperti Uni Eropa, mereka harus rapat dulu, ada yang juga yang hanya tahapan joint minister statment, ada yang harus Memoradum of Corporation (MOC) dulu baru ditindaklanjuti. Jadi kita menyesuaikan diri dengan kepentingan regional mereka,” jelasnya.

Enggar menambahkan dalam minggu depan atau awal Maret 2019, pemerintah akan menandatangani  perjanjian perdagangan dengan Afrika dan Mozambik, termasuk dengan Australia, lalu disusul dengan Tunisia dan Maroko.

“Nanti tanggal 28 Februari ini juga dengan Palestina, rencananya wapres akan menerima Duta Besar Palestina di Indonesia,” imbuhnya.

Enggar menambahkan setelah pemerintah membuka pasar, masih ada prioritas lagi yang akan didorong  yakni indsutri subtitusi dari industri bahan baku agar ketergantungan impor bsia berkurang meski hal tersebut tidak bisa cepat.

Menurut Enggar, komoditas yang masih sangat potensial untuk pasar ekspor adalah sawit dan batu bara sebagai salah satu penolong devisa negara.

“Suka tidak suka, kita bergantung pada sawit dan batu bara. Ini yang harus didorong manufakturnya. Memang kita tidak bisa meninggalkan ini, karena bagaimanapun kita butuh devisa,” imbuhnya.

Smentara Enggar menjelaskan industri yang ada di Indonesia telah siap menghadapi pesaingan perdagangan internasional di era industri 4.0. Perdagangan di era industri 4.0 penuh dengan ketidakkepastian.

Terbukti dengan adanya perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, serta dampak keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) yang diprediksi membuat ekonomi dunia turun.

“Industri kita siap menghadapi. Industri otomotif, tekstil telah menyiapkan diri dan melakukan perubahan yang cukup besar. Sementara ‘footware’, industri elektronik juga sudah mulai. Kita sebagai tempat yang menarik bagi investasi,” kata Enggar.

Selain itu, untuk impor bahan konsumsi harus lebih berhati-hati. Ada ancaman bahwa pada tahun 2030 tidak boleh lagi ada produk bio diesel. Hal itu juga keputusan parlemen.

Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey mengatakan untuk meningkatkan sektor perdagangan, diperlukan komunikasi antara pemerintah dan pelaku usaha.

“Pemerintah tidak bisa jalan sendiri tanpa pelaku usaha, dan sebaliknya. Kami berharap kementerian-kementerian lain melakukan dialog terbuka agar lebih cepat mengetahui pokok-pokok masalah yang menghambat perdagangan,” ujarnya. (imm)

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry