
SURABAYA | duta.co – Di balik tumpukan pasir, lembaran geotekstil, dan rangka baja kecil yang berjejer rapi, ada degup jantung 11 tim mahasiswa teknik sipil dari seluruh Indonesia. Mereka bukan sekadar datang untuk berlomba, tetapi membawa harapan; memahami cara menyelamatkan lereng-lereng rawan longsor yang setiap musim hujan merenggut rasa aman banyak warga.
Pagi itu, udara di area kompetisi terasa tegang. Satu per satu tim mulai memodelkan rancangan perkuatan lereng yang sebelumnya mereka presentasikan di hadapan juri. Prototipe setinggi 80 sentimeter itu berdiri di atas meja pengujian, sebelum akhirnya diberi beban batu pecah seberat 32,5 kilogram momen penentuan apakah rancangan mereka cukup stabil atau justru runtuh di hadapan juri dan peserta lainnya.
“Hari ini adalah demonstrasi prototype. Jumat kemarin mereka merancang dan mempresentasikan proposalnya, dan sekarang perencanaannya dimodelkan lalu dibebani. Dari sini terlihat tim mana yang punya desain paling kuat,” ujar Azmi Lisani Wahyu, Direktur Teknik Teknindo Geosistem Unggul yang sudah 11 tahun mensponsori ajang ini, Sabtu (15/11).
GEC 2025—yang merupakan gelaran ke-11 diikuti 38 tim dari 17 perguruan tinggi. Setelah penyisihan, tersisa 11 finalis yang datang dari enam kampus, termasuk Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Universitas Palangkaraya, Universitas Brawijaya, dan Universitas Katolik Parahyangan.
Mereka bersaing merancang perkuatan lereng menggunakan material dasar berupa pasir dan geotekstil yang menyerupai biotextile. Bagi Azmi, ajang ini lebih dari sekadar lomba. Ini adalah ruang pembelajaran yang relevan dengan kondisi geografis Indonesia yang rawan longsor, terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
“Lereng yang tidak stabil banyak memicu longsor saat musim hujan. Dengan kompetisi ini, mahasiswa mendapat gambaran bagaimana teknologi geosintetik digunakan untuk mengatasi masalah nyata di lapangan,” ujarnya.

Di balik ketegangan lomba, ada kisah-kisah kecil yang menunjukkan perjuangan para peserta. Seperti pengalaman Clarissa Aurelia, mahasiswi Teknik Sipil UGM semester 7, yang berulang kali harus memastikan setiap detail prototipe timnya tepat.
“Kami membuat timbunan pasir setinggi 80 cm dengan kemiringan 2:1. Tantangannya banyak—ada paku yang keluar dari batas konstruksi, tapi panitia membantu dengan memberi gabus biar aman. Geotekstil yang kami gunakan bisa memperkuat lereng sekaligus berfungsi sebagai filtrasi,” tutur Clarissa sambil tersenyum lega melihat konstruksi timnya berdiri stabil.
Sementara itu, Angger Retro, Ketua Pelaksana GEC 2025 sekaligus mahasiswa semester 5 Teknik Sipil ITS, menjelaskan bahwa tantangan utama tahun ini adalah menyamakan rancangan di atas kertas dengan kondisi saat perakitan.
“Tahun ini kami pakai kemiringan 2V:1H dan geotekstil sebagai perkuatan, berbeda dengan tahun lalu yang pakai retaining wall. Pengukuran dan pemasangan sering jadi tantangan tersendiri bagi peserta,” katanya.
Selain memperebutkan nilai dan gelar juara, para finalis yang menang memiliki kesempatan khusus: free pass menuju pertemuan ilmiah tahunan HATTI (Himpunan Ahli Teknik Tanah Indonesia), organisasi yang turut mendukung kompetisi ini.
Bagi Azmi, kesempatan ini penting sebagai pintu masuk mahasiswa untuk memahami dunia profesional teknik geoteknik secara lebih luas.
“Harapan kami, mahasiswa bisa mendapatkan gambaran nyata mengenai penyelesaian masalah di lapangan. Tahun ini juga didukung penuh oleh HATTI, termasuk dua juri berasal dari sana,” ungkapnya.
Di ruang kompetisi yang penuh sorak kecil dan degup cemas itu, para finalis tak hanya berlomba. Mereka tengah belajar mengambil peran sebagai calon insinyur yang kelak dibutuhkan Indonesia—negara dengan jutaan lereng yang harus dijaga stabilitasnya.
Di balik timbunan pasir setinggi 80 sentimeter itu, tersembunyi harapan besar: bahwa dari tangan-tangan muda inilah solusi longsor lahir, satu prototipe kecil untuk masa depan yang lebih aman. (Gal)





































