
SIDOARJO | duta.co — Perang panjang Bupati Sidoarjo Subandi dan Wakil Bupati Mimik Idayana tak kunjung usai. Terbaru viral bantahan Bupati Subandi soal isu penggeledahan pendopo dan (katanya) ada orang yang ngempet ingin menjadi bupati.
“Apa Sidoarjo memang ditakdirkan congkrah terus. Sekarang kondisinya perang panjang. Sudah diupayakan untuk rekonsiliasi antara bupati dan wakilnya, tetapi hasilnya nol besar. Sekarang muncul istilah ‘Disatukan KPU Dipisahkan APH’. Tidak tahu kita, bagaimana endingnya?” demikian disampaikan salah seorang warganet, Jumat (7/11/25).
Hal yang hampir sama disampaikan Nanang Haromain, pengamat sosial dan politik Jawa Timur. Menurut alumni Fisipol UGM Yogyakarta ini, dari konflik itu semoga ada berkah bagi warga Sidoarjo. “Ambil positifnya saja. Karena sulit rukun. ‘Geger’ dalam kontek demokrasi masih bisa ditolerir. Asal kompetisi sehat. Nek rukun malah sekongkol,” katanya sambil tersenyum.
NH, demikian ia akrab panggil, pernah membuat tulisan berjudul ‘Antara Korsel dan Korut: Luka Diam Politik Sidoarjo.’ Katanya, belakangan, istilah Korsel dan Korut jadi bahan guyonan baru di Sidoarjo.
“Bukan soal Korea, tapi soal politik lokal. Korsel artinya kubu Selatan, Korut kubu Utara, sindiran buat kelompok yang dianggap pro bupati atau pro wakil bupati. Dua label yang lahir dari konflik elite, lalu menjelma jadi identitas sosial baru,” tulisnya.
Dulu, lanjutnya. politik Indonesia mengenal “cebong” dan “kampret.” Sekarang, Sidoarjo punya versinya sendiri. “Entah siapa yang memulai, tapi hari ini pelabelan itu terasa nyata di percakapan publik,” tegasnya.
Pelabelan yang awalnya hanya candaan politik, tegas NH, kini berubah menjadi peta emosional masyarakat, membelah bukan hanya elite, tapi juga warga biasa.
“Di titik ini, pelabelan bukan lagi permainan kata, tapi mekanisme psikologis sekaligus instrumen kekuasaan. Label menjadi alat paling cepat untuk mendefinisikan siapa kawan, siapa lawan dan siapa pengkhianat,” jelasnya.
Menurut NH, begitu label ini menetes ke bawah, efeknya menular seperti virus. ASN jadi berhitung sebelum bicara, aktivis sipil dicurigai, jurnalis dihadapkan pada dilema: menulis apa adanya atau dituduh berpihak. “Bahkan golek panggon ngopi ae kudu berhitung betul. Golek sing yang betul-betul netral,” tambahnya.
Mengapa? “Karena kritik dibaca sebagai serangan, saran dianggap manuver, dan diam dituduh sebagai keberpihakan terselubung. Demokrasi lokal pun kehilangan ruang dialognya. Padahal, banyak orang cuma pengin kerja tenang, bukan ikut main politik. Tapi di situasi kayak gini, diam ae bisa dianggap salah, dituduh ‘main dua kaki’,” jawabnya sambil tersenyum.
Sidoarjo, jelas NH, punya karakter sosial yang khas, religius, guyub, tapi juga sangat sensitif terhadap relasi kekuasaan. Dalam kultur patronase, loyalitas sering dianggap lebih penting daripada kebenaran.
“Orang cenderung ikut pada siapa yang kuat, bukan siapa yang benar. Dan kalau sudah begitu, kebenaran pelan-pelan kalah sama loyalitas. Pada akhirnya, kita perlu belajar mendengar tanpa buru-buru melabeli. Karena pelabelan memberi kenyamanan sesaat, tapi menimbulkan luka sosial jangka panjang,” pungkasnya kepada duta.co.(mky)
Keterangan foto: suaraglobal.id






































