KH Imron Rosyadi, Pengasuh Pondok Pesantren Al Mimbar Sambong, Jombang. (FT/IST)

SURABAYA | duta.co – KH Imron Rosyadi, Pengasuh Pondok Pesantren Al Mimbar Sambong, Jombang, Jawa Timur mengaku prihatin menyaksikan ulah oknum pengurus NU yang terus-terusan menyeret organisasi ke politik praktis.

“Begitu NU gagal menegakkan khitthah, maka, jamaah di bawah menjadi ‘kayu bakar’. Banser yang mestinya menjaga ulama, terkena imbasnya. Karena harus ikut-ikutan mengamankan politik kekuasaan. Menyaksikan video pendek ‘Banser Latihan Intelijen Dasar’ ini sungguh mengerikan,” tegas Kiai Rosyad panggilan akrabnya kepada duta.co, Senin (12/11/2018).

Banser, kata mantan pengurus GP Ansor Jatim ini, jalurnya kepada kiai, takdzimnya kepada ulama, bukan kepada Kapolri, apalagi sekedar untuk kepentingan Pilpres. Karena itu, Banser tidak perlu belajar intelijen dasar segala, biarlah itu menjadi tugas BIN (Badan Intelijen Negara).

Potongan video Banser yang beredar di Medsos. (FT/IST)

“Tradisi Banser itu gemblengan, makan telur sama kulitnya di bawah bimbingan kiai. Banser jangan bergeser dari tradisi itu, jangan pula mengambil tugas negara,” tambah mantan Pengurus PWNU Jatim ini sambil menyarankan GP Ansor melakukan konsolidasi dan kembali ke jalur aslinya.

Akibat Jadi Alat Kekuasaan

Mengapa semua itu terjadi? “Ini semua akibat pengurus NU gagal mandiri, gagal menegakkan khittah, akhirnya NU terseret jauh ke politik praktis. Akibat lain, harus ikut mengamankan kepentingan politik seseorang atau kelompok atau penguasa. Ini berbahaya. Dan baru kali ini NU benar-benar babak belur,” tegasnya.

Sesepuh GP Ansor Jatim ini kemudian merinci perjalanan NU yang penuh dengan godaan politik. Disadari, karena umat NU begitu banyak, ini menggiurkan bagi politisi, khususnya yang sedang berkuasa. “Selama ini NU berhasil menjaga jarak dengan kekuasaan. Baru kali ini NU menjadi alat kekuasaan,” tegasnya serius.

Era Gus Dur misalnya, tambah Kiai Rosyad, NU berhasil melewati jebakan pemerintah. Meski dikuyo-kuyo tetapi NU tetap berdiri tegak, punya wibawa dan tidak dipermainan oleh elemen lain. Begitu juga ketika Rais Aam dijabat KH Ilyas Ruhiyat, Ali Yafie, KH Sahal Mahfudz, khitthah 1926 NU berdiri tegak.

“Kok Bisa? Karena NU tidak pernah minta-minta kepada pemerintah. Bantu silakan! Tidak, tidak apa-apa. Nah, pertahanan itu mulai goyah ketika muktamar 32 NU di Makassar. Di situ ada main duit-duitan. Untungnya kita punya Rais Aam yang kokoh (Kiai Sahal red.), sehingga khitthah NU tetap terjaga,” jelasnya.

Masih menurut Kiai Rosyad, pertahanan NU benar-benar jebol ketika muktamar 33 Jombang. Bukan saja uang yang mengalahkan, sampai preman pun mengacak-acak jalannya muktamar. “Anda bisa saksikan, tidak ada akhlak di Muktamar 33 Jombang. Kiai dibentak-bentak sama Banser. Dan saya yakin itu bukan Banser yang sesungguhnya, itu Banser jadi-jadian, preman yang disulap menjadi genderuwo,” urainya.

Karena itu, Kiai Rosyad mengaku tidak kaget, ketika Rais Aam PBNU KH Ma’ruf Amin tiba-tiba lompat menjadi Cawapres, dengan enaknya meninggalkan, melepas baiat AHWA (Ahlul Halli Wal Aqdi). Seperti tidak ada beban.

“Karena AHWA-nya juga tidak representatif, tidak seperti AHWA di Muktamar Situbondo. Di Jombang semua distel untuk kepentingan politik. Inilah mengapa sekarang NU menjadi karut marut. Banser menjadi korban. Ironisnya, pengurus NU se-Indonesia tidak ada yang berani bicara,” tegasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry