SURABAYA | duta.co – Beredar hasil penelitian “Literatur Keislaman Generasi Milenial” oleh para peneliti Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, di 16 kota besar di Indonesia. Kali ini dalam bentuk video pendek (animasi), menyebar melalui grup-grup WhatsApp. Narasinya singkat, padat dan jelas.

“Isinya mengejutkan! Ternyata, literatur yang tersedia bagi generasi milenial, bukan dari NU dan Muhammadiyah, lebih gawat lagi, buku-buku NU dan Muhammadiyah kurang diminati,” demikian komentar yang menyertai video tersebut dan terbaca duta.co, Rabu (2/5/2018).

Video pendek itu sangat menarik. Diawali dengan kisah Budi, generasi milenial. “Budi, dulu anak band. Tapi, kini, dia sudah hijrah. Budi rajin ikut kajian dan membaca buku-buku keislaman. Kata teman-temannya, budi sekarang berbeda, jauh dari teman-temannya, sekarang Budi  meninggalkan musik karena (musik) haram menurutnya,” demikian bunyi narasi awal.

Lalu buku apa sebenarnya yang dibaca (Budi), literatur apa saja yang membentuk pemikiran keislaman generasi milenial? Para peneliti pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pergi ke 16 kota besar di Indoensia. Dari Bogor, Bandung, Solo, Yogyakarta sendiri, Surabaya Jember, Banjarmasin, Palu, Makassar, dll. untuk melihat literatur apa yang menjadi rujukan generasi Milenial.

“Penelitian dilakukan dengan survey, observasi,  FCD dan wawancara yang melibatkan pelajar SMA, SMK, MA (Madrasah Aliyah) serta mahasiswa perguruan tinggi baik negeri maupun swasta,” jelasnya.

Hasilnya? Pertama, meskipun perkembangan teknologi komunikasi sangat massif, namun buku masih memberikan pengaruh besar pada pemahaman keislamanan generasil milenial. Kedua, dari penelitian di lapangan, literatur di publik yang banyak tersedia, ternyata bukan dari kelompok arus utama seperti NU dan muhamamdiyah.

Ketiga, literatur keislaman yang banyak ditemui yaitu literatur islamisme popular, buku-buku tarbawi, salafi, dan tahriri. “Juga ditemukan literatur jihadi meski tidak dalam jumlah yang besar,” tambahnya.

Literatur islamime polpuler, masih dalam penjelasan video itu,   kebanyakan berisi tema-tema ringan, seperti tuntunan praktis, sesekali disisipi pesan ideologi. Buku-buku tarbawi yang menyisipkan ideologi ikhwanul muslimin (IM), berhasil menancapkan akar secara luas di kalangan pelajar dan mahasiswa, sejalan dengan gerakan tarbiyah di kampus-kampus umum yang terjadi sejak tahun 1990.

Corak awal dari literatur tarbiyah, jelasnya, adalah terjemahan karya-karya ideologi Ikhlwanul Muslimin. Saat ini buku-buku tersebut hanya dibaca kalangan tarbiyah aktifvis senior yang, dikenal sangat getol memasarkan konsep khilafah. Sementara generasi yang lebih junior, pemula, lebih memilih literatur yang lebih popular.

Sementara, literatur salafi lebih konsentrasi pada pemurnian tauhid, dan moralitas individu. Salah satu yang terpopuler adalah buku karya Aidh al Qarni. Literatur salafiyah yang lebih klasik seperti ditulis otoritas salafi kontemporer, juga banyak beredar. Sementara literatur tahriri sangat getol menyajikan konsep khilafah.

“Karya tokoh tahriri seperti Felix Siauw cukup sukses di pasar meski karya ini lebih dekat dengan kategori islamisme popular. Sementara buku-buku ideologis serius karya pendiri Hizbut Tahrir (Taqiyyudin An Nabhani dan Abdul Qadim Zaltum) tidak begitu tersebesar luas,” terangnya.

Di antara buku jihadi yang laku dan mengemuka berjudul ‘Tarbiyah Jihadiyah’ karya Abdullah Azzam, dan ‘Jihad Jalan Kami’ karya Abdul Baqi Ramdhun. Masing-masing diterbitkan Jazera dan Era Intermedia yang, keduanya berbasis di solo.

Literatur islamisme popular berhasil mengambil hari generasi milenial, karena isinya renyah dan kemasannya trendy. Sudah begitu disibukkan dengan corak fiksi popular dan komik yang dibuat dengan narasi-narasi pendek dengan bahasa sederhana yang, tidak menggurui. Di samping itu masih dilengkapi dengan ilustrasi yang menarik.

“Sementara literatur jihadi, tampaknya gagal secara pasar, penyebaran buku kategori jihadi ini hanya terbatas di Solo, Bogor, Yogyakarta, dan beberapa kota lain. Namun demikian buku-buku ini beredar di kalangan khusus, bahkan beberapa buku dijadikan rujukan oleh pelaku aksi teror,” jelasnya.

Penelitian ini juga menemukan hubungan yang pararel antara perkembangan literatur kesilaman di sebuah kota dengan perkembangan islami studi di kota tersebut. Solo misalnya, menjadi kota yang banyak penerbit dan aktif memproduksi literatur islamisme dan jihadisme di Indoensia. Kemudian disusul Yogyakarta, Jakarta, dan Bogor.

Meski literature bukan satu-satunya faktor, tetapi literatur memberikan konntribusi penting yang membentuk sikap keagamaan orang seperti keaganaan generasi milenial, seperti Budi.

“Wajah Islam Indonesia dibentuk oleh pemahaman keagamaan kita yang sedikit banyak dibentuk oleh corak literatur yang beredar. Literatur yang mempromosikan narasi Islam damai,  sangat diharapkan kehadirannya lebih massif dan kreatif sehingga dapat membentuk wajah Islam yang lebih damai,” sarannya sambil menegaskan bahwa, peran penulis, ulama, tokoh masyarakat, dan ormas arus utama seperti NU dan Muhammadiyah, menjadi semakin relevan dan dinantikan.

Sudah Pernah Dirilis

Sebenarnya hasil penelitian ini sudah lama dirilis, tetapi, tidak segempar sekarang. Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bekerjasama Puspidep, PPIM UIN Jakarta, Convey Indonesia dan ISNU telah melaksanakan diseminasi hasil penelitian “Literatur Keislaman Generasi Milenial”, di Grand Mercure Yogyakarta, Selasa (30/1).

Saat itu, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Dr H Wayono, M.Ag berharap agar penelitian ini bisa mengubah maindset Islam mainstream menjadi Islam yang rahmatallil’alamin bagi semua umat.

”Ternyata bacaan kalau diresapi mempunyai pengaruh signifikan bagi keyakinan pembaca, apalagi untuk generasi Milenial yang sumber pengetahuan tidak lagi dari guru atau dosen tetapi dari berbagai literatur,” tutur Waryono.

Begitu juga Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Noorhaidi, SAg, MA, MPhil, PhD menjelaskan dari penelitian ditemukan pola hubungan yang paralel antara pertumbuhan produksi literatur keislaman di sebuah kota dengan perkembangan gerakan Islamisme di kota tersebut.  “Solo menjadi kota yang paling banyak melahirkan penerbit yang aktif memproduksi literatur Islamisme kemudian diikuti oleh Yogyakarta, Jakarta dan Bogor,” kata Noorhaidi.

Cuma penjelasan tersebut belum menohok jantung masalah, karena masih ‘melupakan’ posisi NU dan Muhammadiyah sebagai arus utama Islam Indonesia. Kali ini kedua ormas tersebut harus ikut ‘bertanggungjawab’, demi Islam Indonesia, Islam yang damai. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry