Oleh: Suparto Wijoyo*

SILAKAN dibaca sendiri berbagai media massa hari-hari ini di saat para buruh merayakan May Day 2018 (1 Mei 2018), dan anak-anak sekolah menempuh ujian di rumpun Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2018 yang didahului oleh insiden nyolong soal UNBK di Surabaya. Republik yang diproklamasikan oleh pendirinya sebagai NKRI pada 17 Agustus 1945 yang berkedaulatan rakyat nyaris dipertanyakan keberadaan fungsionalnya: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah. Kekuasaan yang memanggul amanat tampak terlalu abai terhadap nasib pekerja dengan membuka pintu selebar-lebarnya untuk “tamu-tamu asing”, yang diundang maupun yang datang mengendap-ngendap. Kelindan warta yang tersebar menunjuk pada satu kumparan hadirnya TKA asal China alias Tiongkok dalam gelembung yang membuat perih “mata bangsa”.

Semua menyaksi dari segala penjuru negeri bahwa telah datang TKA tersebut dengan ragam profesi, mulai dari tukang panggul, kuli bangunan sampai penipu ulung dengan kecanggihan teknologi informasi yang dikuasainya. Tindakannya tidak sederhana dalam kerangka membangun karakter bangsa. Agen-agen narkoba bertumpu pada poros yang melibatkan WNA Tiongkok. Gerilya mereka tidak tanggung-tanggung menyisir sebagian “lembar penghidupan” NKRI.

Berton-ton serbuk mematikan jiwa generasi Indonesia digelontor melalui pelabuhan-pelabuhan buatan yang menunjuk bibir paling luar wilayah negara. Setiap jengkal tanah diinjak dan darinya narkoba disebar secara brutal. Anak-anak negeri ini  sedang dimangsa tanpa tanda tanya dan luapan emosinya menjadi sangat final bahwa TKA Tiongkok sungguh mengingatkan pada tradisi perang candu yang pernah hingga di daratan China. Adakah ini menjadi pertanda bahwa pelemahan warga negara yang mestinya mengenyam pendidikan sebagaimana diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara digerogoti dengan sabetan “pedang narkoba”.

Geliat TKA itu tentu terlalu menghunjam dengan dukungan kebijakan siapa saja yang membiarkan “kosmologi tenaga asing” itu singgah, lantas tinggal.  Buruh kini merasakan betapa ladang persemaiannya semakin lama semakin menciut, sementara hamparan kebutuhan hidup tidak terbendung lebarnya. Jurang pembayaran juga diumumkan amatlah berbeda. TKA dengan keahlian yang serupa bergaji berbeda, sebuah pekabaran yang mendera hati pekerja. Akhirnya kita semua menyaksi bahwa para pekerja, kaum buruh memilih jalan hidup rutin setiap tahunnya: berorasi meneriakkan keadilan. Mereka digiring oleh takdirnya untuk duduk bergerombol atau berdiri sambil mengacungkan tangan dan mengepalkan jemarinya tanda adanya dorongan untuk berubah. Tetapi sejatinya ini adalah produk dari kelamnya kondisi “lapangan kerja” yang acapkali diterima dengan luapan ketidakjelasan. Kekurangan gaji yang diunggah dan beratnya beban hidup yang tidak masuk hitungan “standar hidup layak” tersadari telah menyandra mereka. Tapi apa daya, buruh hanya mampu berdemo sambil “menggembirakan diri”  dengan balutan May Day, Fun Day.

Kemirisan itu sejatinya meluas dan melabar dalam kungkungan atmosfer kebijakan yang semakin membuat warga negara tidak berdaya. Petani pun mengalami hal yang sehaluan. Beras impor dan garam “yang semakin asin dengan hadirnya serbuk asing” membuat pahitnya lidah yang mengenyam rasa perihnya. Petani dan pekerja ada dalam jeratan nasib yang ditimpuk atas nama investasi dengan membiarkan mereka memasuki lahan-lahan pertanian-perkebunan di perdesaan. Gedung dan gudang pabrikan dikerek tinggi di setiap tepian sawah daerah subur  yang semula adalah lumbung padi rakyat Indonesia.

Petani hampir tersedak dengan tingginya harga bibit tanaman sekaligus jeratan harga pupuk yang melambung serta bahan penyubur yang kian langka. Ditambah lagi dosen bukan berarti bebas dari serbuan “ilmuwan asing” karena memang lembaga pendidikan tinggi diontran-ontrankan bereputasi internasional dengan menggunakan ukuran “mengasingkan dirinya”. Dosen-dosen tamu silahkan diundang dengan fasilitasi uang negara untuk lambang bahwa sebuah kampus telah berkaliber dunia. Perebutan menempatkan diri dalam bungkus “bertahtah global” dengan upacara penyematan tekad menjadi bagian inti dari World Class University (WCU) adalah lambang supremasi.

Semua boleh bertanya, lantas apa manfaat dari lembaga pendidikan petani menjerit, dikala para koruptor juga dihasilkan oleh lembaga-lembaga persekolahan. Potret semakin buram bahwa banyak orang sekolah maupun kuliah tetapi tidak terdidik untuk membangun negerinya secara jujur dan amanah. Kalaulah ikhtiarnya hanya sibuk mendatangkan dosen asing atau tenaga kerja asing ke pangkuan Ibu Pertiwi ini, lantas di mana karakter bangsa Pancasila ini hendak diteguhkan. Benarkah bangsa ini tidak memiliki landasan kokoh tentang peradaban yang berkemajuan dengan kejujuran, kompetensi, profesionalitas dan berkemampuan untuk membangun dirinya.

Simaklah bagaimana nenek moyong  “menghadiahi”  Candi Borobudur yang megah? Tentu ini dapat dipelajari mengenai struktur penyelenggaraan negaranya,  penganggaran di APBN-nya, konstruksi pembangunannya, material yang digunakan, mekanisme kontrol monevnya, kapasitas tukangnya, dan badan perencana pembangunan nasional yang  saat itu mampu mengkonstruksi Borobudur. Tata kelola kekuangan proyek Borobudur yang menggunakan sistem “tahun jamak”, sistem SPJ Proyeknya, tampak jauh lebih berkemajuan sebelum orang-orang “asing itu” mengajarkan kepada kita. Jangan latah “mengasingkan rakyat” dan menghanyutkan warga dalam gelombang internasionalisasi yang kemanfaatannya bagi orang-orang kampung masih dipertanyakan. Adakah memang kalian sedang digiring “gandrung pengasingan”, bukan penggalian peradaban luhur bangsa sendiri? Lantar di mana trisakti?

*Kolomnis, Akademisi Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga
Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry