SURABAYA | duta.co – Rencana penerapan full day school kepada para murid oleh menteri pendidikan dan kebudayaan mendapat penolakan sejumlah politisi di DPRD Jatim. Fraksi PDIP DPRD Jatim misalnya menyatakan kurang setuju karena dikhawatirkan full day school dapat menghapus kultur masyarakat, terutama di pedesaan.
Ketua Fraksi PDIP DPRD Jatim, Sri Untari mengatakan, meskipun hanya belajar selama 5 hari, kebijakan sistem belajar full day school dinilai tidak efektif bagi para murid, terutama yang ada di pedesaan. Mengingat kebijakan tersebut secara perlahan-lahan dapat menghapus kultur dan interaksi si anak kepada lingkungan sekitarnya.
Politisi asli Malang ini mengaku selama ini anak yang hidup di pedesaan, setelah pulang sekolah membantu orang tuanya bekerja di ladang atau kebun. Seperti memandikan sapi, bercocok tanam, dan mencari buah-buahan sehingga mereka terbiasa berinteraksi dengan lingkungannya yang sudah menjadi kultur.
“Setelah aktifitas di lapangan, anak-anak juga banyak yang mengaji di sekitar tempat tinggalnya,” terang Sri Untari yang mengaku mengalami sendiri budaya tersebut saat kecil saat dikonfirmasi di gedung DPRD Jatim, Rabu (14/6).
Ia menegaskan bahwa full day school tidak bijak kalau harus diterapkan di seluruh sekolah. Mengingat, kultur anak pedesaan dengan perkotaan jauh berbeda. “Kalau full day school, anak-anak tidak dapat mengaji di kampungnya. Mengaji itu juga bagian dari adaptasi dengan orang sekitarnya,” imbuhnya.
Full day school sangat cocok diterapkan bagi masyarakat urban, atau perkotaan. Mengingat, masyarakat perkotaan tidak banyak ikut mencari nafkah, seperti anak pedesaan. Di sisi lain, full day school di perkotaan dapat mencegah terjadinya perbuatan negatif.
“FPDIP DPRD Jatim berharap agar mendikbud mengkaji ulang rencana penerapan full day school bagi seluruh sekolah. Full day school sebaiknya diterapkan bagi sekolah di perkotaan, atau sekolah keluarga menengah ke atas,” pungkas perempuan yang menjabat sekretaris DPD PDIP Jatim ini.(ud)