
“Takwa adalah supremasi paling terhormat yang ditanam sekaligus dipanen siapa saja yang berpuasa. Inilah ibadah yang sejatinya tidak dapat dideteksi manusia melalui kelekatan ekspresinya, selain Allah SWT sendiri.”
Oleh Suparto Wijoyo*
PARA pembaca Tadabbur Harian Duta Masyarakat ini ada yang gelisah, paling tidak dag-dig-dug-der hatinya, tempo hari. Titip selisik atas makmurnya masjid di hari-hari ini. Masjid di gang-gang sempit perkotaan begitu meriah. Kalau masjid besar tidak usah digalaukan. Apalagi yang dikelola dengan manajemen modern dan melibatkan institusi pemerintah. Intinya yang di bulan ini, masjid-langgar-surau tampak semarak pol.
Lantas bagaimana esok harinya? Masjid esok hari adakah semeriah Ramadan ini? Lihatlah. Penerimaan jajanan takjil untuk iftar saja membanjiri serambi-serambinya, hingga halaman muka. Riuh-reda anak-anak, remaja, dewasa, serta jamaah kaum lansia. Suasananya begitu menggembirakan. Betapa makmurnya masjid di bulan Ramadan. Inilah salah satu silang simpul betapa wulan poso itu berkah. Hanya saja sejawat itu berbisik lirih: bagaimana kemakmuran masjid kelak di kemudian hari? Akankah semakmur sekarang ini Cak? Sebuah perjumpaan festival publik yang merambah masjid. Ramadan sungguh makmurnya masjid.
Agar kelihatan tetap akademik, jawabannya saya berikan dengan mensitasi kisah-kisah di jelang peristiwa penyerbuan pasukan Abrahah di ʿām al-fīl –tahun Gajah yang kira-kira sama dengan 570 M. Saat itu Abrahah memasuki Makkah dan merampas 200 ekor unta Abdul Muthalib. Pemimpin Qurays itu pun berdiri dan menemui Abrahah. Kepada Abrahah, Abdul Muthalib datang untuk meminta Abrahah mengembalikan untanya. Abrahah di al-Mughammas agak terkejut, karena Abdul Muthalib tidak membincangkan mengenai pengamanan Kakbah yang hendak dihancurkan, melainkan sibuk mengenai pengembalian 200 ekor untanya. Abrahah lantas menghardik: … oh ternyata kamu hanya membicarakan rampasan 200 unta milikmu yang telah dilakukan pasukanku, mengapa kamu tidak merundingkan mengenai Kakbah yang menjadi simbol spiritual nenek moyangmu? Sementara aku datang ke sini bukan untuk silaturahmi, apalagi ngabuburit, melainakn hendak menghancurkan Kakbah”. Abdul Muthalib merespon dengan penuh keteduhan makna: “Sesungguhnya aku ini adalah pemilik unta, sementara Kakbah itu ada pemiliknya sendiri (Tuhan), biarlah pemiliknya yang akan menjaganya”. Maka Abrahah mengembalikan unta milik Abdul Muthalib.
Dalam ruang keimanan saya berujar untuk tetap kukuh meyakini bahwa masjid itu tempat dimana nama Allah SWT selalu disebut, tempat hamba-hambaNya menyujudkan dirinya. Oleh karenanya yang perlu kita khawatirkan adalah masa depan kita sendiri, mampukah kita menjaga diri ini tetap teguh mengahadirkan keberkahan hidup, tidak kintir atas derasnya arus zaman. Tentu dengan segala ikhtiar dan saya bentangkan kalender kehidupan keagamaan. Usai Ramadan hadirlah Syawal 1446 H. Kumandang takbir akan menggema menyemarakkan nuansa Idulfitri. Juga akan datang mas Idul Adha 1446 H. Pemberangkatan calon haji amatlah sibuk. Sambutan selanjutnya kepulangan jamaah haji. Begitulah bulan-bulan akan beranjak.
Masjid-masjid akan silih berganti menghadirkan jamahnya. Manusia kerap terpanggil dan evolusi akan terjadi. Ada yang datang, karena takdirnya ada yang pergi. Mahasiswa di kampus-kampus juga memenuhi roda pedati. Siklus dihayati karena hidup tidak berhenti dan belajar selama ada ruh di badan ini. Jadi teruslah ikhtiar menghadirkan manusia-manusia pemakmur masjid dan itu akan menjadi panggilan keagamaan sekaligus keilmuan. Saat ini saja, saya dan siapa saja yang telah memasuki dan menikmati hari-hari bulan Ramadan ini dengan peribadatan yang penuh kenang. Ada kesan, ada pelajaran, ada hikmah, ada saat-saat perenungan diri.
Para pengiman seyakin-yakinnya terpanggil dalam ruang Islam beribadah puasa. Bukankah Ramadan meluaskan areal jelajah pengabdian yang tiada tepi dan garis demarkasi, antara hamba dengan Rabbnya. Bulan yang kepadanya segala hikmah dipersembahkan. Pintu-pintu keberkahan dibuka dalam rentang melantingkan pertobatan dengan daya lenting yang gemahnya sepanjang hayat pemanggul tauhid-Nya. Pengampunan, rahmat dan kemuliaan digelar dengan segala ornamen istimewa yang melekat pada “pembelajar” Ramadan. Pembebasan dari api neraka jua disematkan. Ghalibnya, tidurnya orang yang berpuasa saja menyemaikan berberkas kebaikan dengan limpahan pahala, apalagi yang terjaga dengan lentera pemandunya. Pastilah Allah SWT melipatgandakan derajatnya. Tidak ada yang sia-sia dalam setiap detak langkah dan pijaran sinyal berpuasa. Tidakkah jiwa pemuasa mengerti betul betapa puasa itu mencapai maqom takwa.
Takwa adalah supremasi paling terhormat yang ditanam sekaligus dipanen siapa saja yang berpuasa. Inilah ibadah yang sejatinya tidak dapat dideteksi manusia melalui kelekatan ekspresinya, selain Allah SWT sendiri. Untuk memberikan bonus amaliah puasa, ternyata Allah SWT tidak dibantu “ajudan” sebagaimana pemberian “wahyu” maupun piranti takdir lainnya. Allah SWT sangat sungguh-sungguh dalam mengambil kendali langsung atas “tanda jasa” yang hendak diberikan-Nya kepada pribadi pemuasa. Termasuk malam seribu bulan.
Bagi yang lagi tadarus Al-Qur’an tentu telah sampai pada Surat At-Tawbah: 18: “Sesungguhnya hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan Termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”. Tetap optimis masjid akan dimakmurkan orang-orang beriman, jamaahnya, selagi kiamat belum tiba. Allah SWT selalu mengirimkan generasi masjid sesuai zamannya. Semua ada saatnya (sa’atan sa’atan). Masjid di esok hari tetaplah makmur dengan kita semuanya sedia memakmurkannya. Tekat kita inilah sebagai energi festival masjid. Semarak terus.(*)
*Pro Dr Suparto Wijoyo adalah Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan SDA MUI Jawa Timur, Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur dan Guru Besar serta Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga.