
Oleh : Agus Wahyudi, S.Sos., M.Pd.
Dosen PGSD, FKIP
SETIAP tahun, ratusan ribu mahasiswa di Indonesia berhasil menamatkan studi dan meraih gelar sarjana dengan harapan dapat segera memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahlian mereka.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan kondisi yang tidak selalu ideal. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 mencatat jumlah pengangguran terbuka mencapai 7,28 juta orang atau sekitar 4,76% dari total angkatan kerja.
Di antara angka tersebut, lulusan perguruan tinggi (D4, S1, S2, dan S3) menyumbang tingkat pengangguran sebesar 6,23%, dengan jumlah sekitar 1.010.652 orang lulusan universitas yang masih belum mendapatkan pekerjaan (Kementerian Ketenagakerjaan, 2025).
Sementara itu, jenjang pendidikan dengan tingkat pengangguran tertinggi masih ditempati oleh lulusan SMK dengan persentase mencapai 8,00%. Fakta ini menunjukkan bahwa gelar akademik tidak selalu menjadi jaminan untuk memperoleh pekerjaan yang sesuai, terutama di tengah ketidakseimbangan antara dunia pendidikan dan kebutuhan pasar kerja yang terus berubah.
Pengangguran sebagai Stigma Sosial
Salah satu hambatan besar yang dihadapi para lulusan baru adalah adanya stigma sosial terhadap pengangguran. Dalam budaya masyarakat Indonesia, pekerjaan kerap dianggap sebagai tolok ukur harga diri dan keberhasilan seseorang. Akibatnya, lulusan perguruan tinggi yang belum memperoleh pekerjaan sering dipandang sebagai individu yang gagal atau kurang berusaha.
Stigma tersebut tidak hanya muncul dari masyarakat luas, tetapi juga dari keluarga yang sering menaruh harapan tinggi terhadap anak setelah menamatkan pendidikan tinggi. Tekanan ekspektasi ini dapat menimbulkan beban psikologis bagi para lulusan baru, terutama bagi mereka yang sebenarnya telah berupaya mencari pekerjaan namun belum mendapatkan peluang yang sesuai.
Dalam beberapa kasus, desakan dari keluarga dan lingkungan sekitar justru memperburuk keadaan, membuat mereka kehilangan kepercayaan diri serta enggan untuk mencoba kembali. Hasil penelitian dari Universitas Indonesia mengungkapkan bahwa tekanan sosial berpotensi memperbesar risiko munculnya stres dan kecemasan pada para lulusan baru yang belum memperoleh pekerjaan (Setiawan, 2020).
Ilusi Prestise dan Resistensi Memulai Dari Bawah
Rasa gengsi dan keengganan untuk memulai dari posisi bawah menjadi salah satu persoalan yang kerap dihadapi para lulusan baru. Banyak di antara mereka memandang pekerjaan yang tidak sejalan dengan bidang studi sebagai sesuatu yang “kurang layak” untuk dijalani.
Setelah menempuh pendidikan tinggi dengan waktu dan biaya yang tidak sedikit, mereka merasa berhak memperoleh pekerjaan bergengsi yang relevan dengan gelar akademik yang dimiliki. Akibatnya, tidak jarang mereka menolak kesempatan kerja yang tersedia karena dianggap tidak sesuai dengan harapan atau standar yang telah mereka tetapkan sendiri. Padahal, dunia kerja tidak selalu tentang gelar, tetapi lebih kepada keterampilan, pengalaman, dan kemauan untuk belajar. Banyak orang sukses yang memulai karier mereka dari posisi rendah sebelum akhirnya berkembang ke tingkat yang lebih tinggi.
Dalam realitas dunia kerja, perusahaan lebih menghargai keterampilan dan pengalaman dibandingkan sekadar ijazah akademik (Hidayat, 2021). Sayangnya, banyak lulusan yang terlalu berfokus pada status, sehingga kehilangan banyak peluang berharga yang bisa menjadi batu loncatan bagi karier mereka.
Ekspektasi yang Utopis
Dalam dunia psikologi, ada sebuah fenomena yang dikenal sebagai efek Dunning-Kruger, yaitu kecenderungan seseorang yang memiliki kemampuan rendah untuk melebih-lebihkan kemampuannya sendiri. Banyak lulusan baru yang merasa sudah memiliki keterampilan yang cukup hanya karena mereka memiliki IPK tinggi, aktif di organisasi, atau pernah mengikuti berbagai seminar.
Namun, ketika mereka masuk ke dunia kerja, mereka baru menyadari bahwa standar industri jauh lebih tinggi dari yang mereka bayangkan. Sebaliknya, orang-orang yang benar-benar kompeten justru cenderung merasa kurang percaya diri karena mereka menyadari betapa kompleksnya bidang yang mereka geluti.
Fenomena ini menjelaskan mengapa banyak lulusan baru merasa pantas mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi, tetapi pada kenyataannya mereka masih harus banyak belajar dan beradaptasi dengan dunia kerja yang sebenarnya (Rahmawati, 2022). (*/Bersambung)








































