
Oleh: Agus Wahyudi, S.Sos., M.Pd. – Dosen PGSD, FKIP
BEBERAPA tahun terakhir, dunia ritel dan UMKM di Indonesia dihebohkan dengan istilah unik: “Rojali” atau Rombongan Jarang Beli. Istilah ini menggambarkan fenomena sosial masyarakat yang ramai berkunjung ke pusat perbelanjaan, kafe, atau pasar tradisional, tapi sangat minim dalam melakukan transaksi pembelian.
Mereka datang, melihat-lihat, menikmati suasana, berswafoto, bahkan berlama-lama, tetapi kantong tetap tertutup rapat. Kondisi ini menunjukkan bahwa konsumsi masyarakat belum menunjukkan perbaikan hingga saat ini.
Bicara soal perekonomian, salah satu indikator paling penting yang mencerminkan denyut nadi kesejahteraan masyarakat adalah daya beli. Daya beli menjadi cermin sederhana, apakah masyarakat cukup mampu membeli kebutuhan pokoknya, membayar cicilan, dan menyisihkan untuk menabung?
Fenomena “rojali” bukan sekadar kelucuan linguistik atau istilah viral, tetapi mencerminkan sesuatu yang jauh lebih serius, yaitu krisis daya beli masyarakat. “Rojali” secara harfiah menunjukkan pergeseran pola konsumsi masyarakat. Kalau dulu orang datang ke mal untuk berbelanja, kini banyak yang datang hanya untuk mencari hiburan murah, ruang AC gratis, atau tempat “healing” gratisan.
Rojali bermakna rombongan jarang beli, sedangkan Rohana artinya rombongan hanya nanya. Keduanya merupakan pengunjung pusat perbelanjaan yang datang berkelompok lalu menanyakan harga serta mencoba produk, namun akhirnya tak membeli apapun.
Fenomena itu bisa disebabkan oleh faktor yang disebut hierarki kebutuhan di mana kunjungan ke pusat perbelanjaan tidak semata bertujuan membeli barang untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, tapi, untuk memenuhi kebutuhan sosial dan aktualisasi diri, seperti berkumpul, refreshing (penyegaran) atau healing (pemulihan). Manusia memiliki lima tingkat kebutuhan yakni fisiologis, keamanan, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri.
Sering kali orang berperilaku seolah ingin membeli sesuatu sebagai strategi untuk membentuk citra diri sebagai konsumen berdaya beli di hadapan pramuniaga, teman, atau bahkan dirinya sendiri. Ada pula mekanisme perlindungan harga diri, yaitu ketika seseorang tidak ingin tampak tidak mampu di mata orang lain sehingga berpura-pura tertarik untuk menghindari rasa malu atau rendah diri.
Ketika seseorang sadar bahwa dia tidak mampu membeli, tapi sangat ingin atau berada di lingkungan konsumtif, timbul konflik batin. Untuk meredakan perasaan malu, kecewa, atau tidak nyaman itu, mereka melakukan tindakan seolah-olah membeli.
Selain itu, niat membeli sering kali tidak diwujudkan menjadi tindakan nyata karena dipengaruhi oleh persepsi kontrol dan norma sosial. Ketika seseorang merasa tidak mampu membeli karena harga terlalu tinggi atau ragu akan manfaat barang tersebut, niat tersebut bisa batal dengan sendirinya.
Kebutuhan akan identitas sosial juga turut mempengaruhi. Mengunjungi tempat elite atau yang sedang tren, meski tanpa membeli, bisa menjadi bentuk penegasan diri sebagai bagian dari kelompok sosial tertentu. Hal itu juga bisa didorong oleh motif untuk mendapatkan konten media sosial, validasi sosial, atau eksistensi online. Hanya dengan melihat-lihat produk atau masuk ke toko tertentu, seseorang merasa memperoleh nilai simbolik, meskipun tidak membeli,
Di samping didorong oleh rasa gengsi atau validasi diri, Fenomena ‘Rojali-Rohana’ juga dapat didorong oleh faktor budaya. Dalam konteks budaya Indonesia yang menjunjung tinggi kesopanan, perilaku berpura-pura tertarik meski tidak berniat membeli juga dapat dipahami sebagai bentuk konformitas terhadap norma sosial. Dalam konteks budaya, terkadang pelanggan merasa harus menghargai tenaga penjual dengan berpura-pura tertarik, meski tahu tidak akan membeli.
Perilaku sekadar melihat-lihat atau bertanya tanpa membeli justru juga bisa merupakan bagian dari pencarian informasi pra-pembelian, yang merupakan proses normal sebelum seseorang memutuskan untuk membeli suatu barang. Konsumen sering melakukan pencarian informasi terlebih dahulu atau window shopping sebelum membuat keputusan pembelian. (*/bersambung)








































