
CATATAN PINGGIR Dr Romadlon Sukardi
DI TENGAH pusaran krisis kepemimpinan PBNU hari-hari ini, persoalan sejatinya tidak terletak pada isu-isu pinggiran yang diembuskan ke publik—tuduhan-tuduhan liar, insinuasi politik, atau kegaduhan yang sengaja dibesarkan.
Inti badai ini justru lebih sederhana, namun jauh lebih fundamental: apakah tindakan Rais Aam mengeluarkan ultimatum dan mengancam pemecatan terhadap Ketua Umum PBNU itu sah secara hukum organisasi? AD/ART NU, terutama Pasal 74, telah berdiri seperti pilar kokoh yang tak bisa disurvei ulang: pemberhentian Ketua Umum hanyalah wewenang Muktamar Luar Biasa, bukan keputusan sepihak dari satu figur, meskipun figur itu adalah Rais Aam.
Dengan demikian, langkah tersebut secara konstitusional cacat prosedur dan otomatis batal demi hukum. Di era tata kelola modern, posisi Rais Aam lebih menyerupai Dewan Pengawas dalam korporasi: ia diberi otoritas moral, teguran, nasihat, dan penjagaan arah; namun tidak membawa palu eksekusi untuk memecat Chief Executive. Di NU, palu itu tidak pernah diserahkan kepada individu, tetapi kepada forum tertinggi yang kolektif.
Masalah semakin meruncing ketika ditilik dari aspek due process. Tidak ada panggilan resmi, tidak ada klarifikasi, tidak ada tahapan peringatan, tidak ada ruang pembelaan, tidak ada prinsip right to be heard — sebuah prinsip dasar yang bahkan lingkup RT atau forum warga kampung pun menjunjungnya. Jika proses hukum organisasi diloncati begitu saja, maka keputusan apa pun yang muncul hanya akan berdiri di atas fondasi rapuh yang tidak memiliki legitimasi.
NU selama ini diwarisi tradisi besar—fatwa ulama, mauidzah masyayikh, dan nasihat para kiai sepuh. Namun tradisi, dalam organisasi modern, tidak boleh dipakai sebagai “alat eksekusi”. Tradisi adalah kompas moral, bukan instrumen pemecatan. AD/ART adalah hukum; hukum mengikat semua, termasuk Rais Aam. Ketika fatwa dan prosedur saling bertabrakan, maka, NU sedang mengguncang dirinya sendiri.
Di seberang itu, Ketua Umum masih memegang mandat sah dari Muktamar untuk menuntaskan periode kepengurusannya. Paket kewenangannya jelas: menjalankan program, melakukan rotasi, mengangkat dan mengganti pengurus—semuanya diatur AD/ART dan dilindungi secara konstitusional.
Ketika ancaman pemecatan sepihak dilemparkan, dan ketika tensi semakin meninggi tanpa arah, Ketua Umum pun rupanya ada tanda “greneng-greneng” membawa persoalan ini ke jalur hukum negara. Pertanyaan besar pun berdiri tegak: siapakah yang berwenang mengadili dugaan pelanggaran konstitusi ini? AD/ART menjawab tanpa keraguan: hanya Muktamar Luar Biasa (MLB). Bukan individu, bukan forum terbatas, bukan keputusan emosional. NU kini berada di tikungan sejarah: apakah ia memilih menjadi organisasi modern yang tunduk pada konstitusi, atau kembali pada pola lama di mana keputusan personal dapat melampaui hukum organisasi?
Jika ditarik lurus, sebenarnya problem pelanggaran dapat dibaca dalam tiga simpul: pertama, tata cara pemanggilan dan peringatan yang tidak sesuai mekanisme AD/ART. Kedua, penggunaan kewenangan secara sepihak tanpa forum kolektif Pleno Syuriyah-Tanfidziyah PBNU. Ketiga, ancaman pemberhentian di luar jalur resmi MLB. Dalam bingkai hukum organisasi, pelanggaran paling berat justru jatuh pada pihak yang mengeluarkan ancaman tanpa prosedur, karena cacat proses menghasilkan cacat keputusan. Inilah titik di mana bobot pelanggaran menjadi terang, bukan karena siapa yang lebih tua atau lebih alim, tetapi karena siapa yang keluar dari koridor konstitusi.
Namun NU bukan hanya organisasi hukum. NU adalah rumah besar yang dibangun oleh cinta para masyayikh, tempat kesabaran dan kewibawaan menjadi ruh. Maka jalan keluar sejatinya tidak terletak pada adu otot kewenangan, melainkan pada keberanian untuk kembali kepada akhlaq jamaah.
Opsi solusi sebenarnya tersedia: Pertama, membuka majelis islah yang melibatkan para sesepuh dan pakar AD/ART untuk menilai tindakan secara objektif. Kedua, menghentikan seluruh langkah sepihak demi mencegah spiral konflik. Ketiga, membentuk tim etik independen yang membaca dokumen-dokumen secara jernih, bukan mendengar bisikan politik. Keempat, meneguhkan kembali prinsip bahwa marwah NU bukan milik satu pihak, tetapi milik jamaah dan ulama yang menjaga keseimbangan Syuriyah–Tanfidziyah secara kolektif.
Pada akhirnya, sejarah NU selalu memihak mereka yang menjaga prinsip: manhaj berpikir yang jernih, akhlak yang halus, dan hormat pada aturan yang disepakati bersama. Pelanggaran terbesar dalam sejarah NU bukan sekadar salah langkah prosedural, tetapi ketika prinsip-prinsip itu ditinggalkan demi kepentingan sesaat.
Jika kearifan kembali ditegakkan, krisis ini akan menjadi pelajaran emas. Namun jika dibiarkan mengalir tanpa kendali, generasi mendatang akan mengingat bahwa yang merusak bukan musuh dari luar, tetapi api ketergesaan dari dalam. Dan itu, dalam sejarah organisasi sebesar NU, adalah luka sunyi di jantung NU yang tidak boleh terulang. Wallahu A’lamu Bisshawab. (*)





































