Oleh : Dr. H. Sidi Alkahfi Setiawan, S.H., M.H.. C.ELA, C.MSP

BERBICARA mengenai dunia pekerja Indonesia dewasa ini, berarti berbicara tentang nasib sekitar 149.373.908 orang angkatan kerja kita yang kini secara psikologis tengah mengalami keresahan akibat tekanan krisis ekonomi yang sangat berat. Beberapa bagian dari dunia industri kita yang sedang sekarat karena terdampak revolusi industri 4.0 dan berakibat marak terjadi PHK, hal ini tidak saja telah melumpuhkan pertumbuhan ekonomi nasional, namun ia juga telah meredupkan harapan sekitar 10 juta jiwa yang terpaksa berhenti bekerja (PHK) akibat terjadinya digitalisasi. Apabila rata-rata korban PHK tersebut menanggung hidup 2-3 orang, maka bisa dipastikan antara 20-30 juta saudara kita terancam terpuruk dalam jurang kemiskinan.

Bergulirnya Era reformasi memang telah terjadi, namun harapan masa depan yang cerah bagi para pekerja dan dunia kerja nampaknya masih jauh panggang dari api. Kondisi ini harus dijadikan pelajaran penting bagi semua pihak, agar lebih berhati hati dalam membuat desain dunia kerja di Indonesia, struktur masyarakat bisnis Indonesia di era reformasi terbukti rapuh dan tidak kompetitif, Budaya KKN hampir disegala lini ini, terkesan terlalu memanjakan para elite bisnis untuk kemakmuran kelompok tertentu merupakan salah satu biang rusuh dari seluruh persoalan ketenagakerjaan.

Penghamburan uang negara pada proyek-proyek fiktif atau yang tidak feasible telah merusak tidak hanya sendi-sendi perekonomian nasional, tetapi juga kepercayaan kepada pelaku dunia usaha. Keserakahan segelintir orang telah menyengsarakan jutaan pekerja yang menggantungkan hidupnya pada kelangsungan usaha dari berbagai bidang industri. 

Kita juga melihat begitu maraknya aksi-aksi demo para buruh di antero negeri pada peringatan hari buruh 1 Mei 2024 lalu, pekerja/buruh yang menuntut perhatian yang lebih layak dan adil dari para majikan atau pengusaha, mulai dari tuntutan kenaikan gaji/upah, tunjangan-tunjangan, pesangon bagi mereka yang terkena PHK, sampai penolakan omnimbus law. Terkesan seolah-olah para pengusaha selama ini tidak atau kurang memperhatikan kesejahteraan para pekerjanya. Atau yang lebih parah, pengusaha itu masih sering menahan, menghapus atau mengurangi hak-hak yang seharusnya diberikan kepada mereka, Dari sini tampak jelas betapa masih buruknya hubungan antara pekerja dan pengusaha kita di tanah air. Tanggung jawab dan kesadaran pengusaha akan nasib pekerjanya dirasa masih sangat rendah, 

Agama Islam diturunkan di muka bumi bagi manusia untuk menjadi rahmatan Ill alamin (rahmat bagi seluruh alam), Keluasan konsep-konsep ajaran Islami yang bersumber dari Al Ouran dan As Sunnah, seharusnya terus digali untuk diterapkan sebagai upaya mencari solusi dari berbagai masalah yang muncul, termasuk dalam dunia kaum pekerja/buruh, sikap keseharian Nabi sebagai sosok pekerja keras, ulet, jujur dan loyal kepada majikan merupakan karakter dasar yang harus dipahami oleh setiap mukmin. Demikian pula seruannya kepada kaum hartawan untuk selalu mencintai dan mengayomi para pekerjanya, menganggapnya sebagai keluarga dan melindungi hak-hak mereka secara total, juga menjadi cambuk bagi para pengusaha yang masih sering berlaku zalim dan bertindak sombong terhadap kaum buruh. 

Ketegasan Islam atas pembelaannya terhadap kaum buruh perlu dikedepankan, dan patut mendapatkan penghargaan, mengingat dewasa ini semakin beratnya ujian dan cobaan yang tengah mendera kaum buruh, dikhawatirkan dapat menyeret mereka “menjauhi” ajaran Islam. Pembelaan tersebut harus terus digencarkan demi tetap terjaganya kelangsungan hubungan industrial yang lebih manusiawi. 

Kiprah berbagai organisasi pekerja/buruh yang berorientasi pada kesejahteraan yang berimbang, dunia dan akherat, perlu didukung demi terbinanya sosok pekerja/buruh menjadi pekerja yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, profesional, dihargai harkat dan martabatnya agar memiliki bargaining power yang berimbang, sehingga kaum buruh memiliki daya tawar yang tinggi,  terlindungi hak-hak dan kepentingannya secara adil, terpenuhi kesejahteraannya dengan baik, yang pada akhirnya akan menjadi harmonisasi hubungan industrial yang Islami, antara buruh dan majikan, antara buruh dengan buruh yang mengikatkan diri sebagai  kawan seperjuangan dan saudara sepenanggungan, endingnya ketika semua berjalan dengan baik, hakekatnya yang tersejahtaran bukan hanya kaum buruh tetapi sang majikan/pengusahanya juga otomatis akan ikut tersejahterakan.

Dengan mengangkat tema Islam diatas kepala buruh dan majikan, Insya Allah akan terwujud harmonisasi hubungan industrial yang diinginkan, bukankah sesungguhnya missi kita di alam semesta : sebagai khalifah di muka bumi adalah membangun kerjasanya antara Allah, majikan, buruh dan alam semesta dengan landasan iman, ilmu dan cinta, guna menciptakan peradaban industrial yang kreatif dan harmonis.

Sudut Pandang Islam tentang Harta Kekayaan

Islam tidaklah apriori dalam memandang harta kekayaan. Sebaliknya, harta dipandang sebagai alat yang dapat menciptakan kondisi surga dan neraka, baik di dunia dan akhirat. Dari pintu harta, manusia seringkali terjebak pada fatamorgana, dikiranya harta kekayaan mampu mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan, ternyata malah menjerumuskan manusia ke lembah kehinaan dan kenestapaan yang tiada henti, (OS. An Nur 24:39). 

Lewat pintu yang sama, dengan harta kekayaan manusia dapat menaikkan harkat, martabat dan kemuliaannya. Harta bagi kaum beriman merupakan instrumen untuk menyejahterakan kaum yang miskin, menegakkan kebenaran, melawan musuh Allah dan menjadi sponsor perdamaian. 

Adalah Musa bin Sulaiman Al Hasyimi, seorang majikan agung di era dinasti Abbasiyah, wajahnya tampan menawan, kulitnya putih bersih, dan matanya berkilat laksana mata seekor kijang. Dia dikaruniai oleh Allah “kehidupan yang sempurna”. Ia seorang wiraswastawan muda yang memiliki banyak perkebunan luas. Kedekatannya dengan keluarga dinasti Abbasiyah melambungkan namanya sebagai “Manusia Dinar”, Yang mengelilingi beliau adalah ahli agrobisnis, akuntan, tukang pukul, tukang pijat, koki dan administrator bisnis. 

Konon, dia memiliki vila peristirahatan super mewah, berada di dataran tinggi, sehingga ia dapat memandang areal perkebunannya dan lalu lalangnya para musafir. Vila tersebut dihiasai segala jenis batu mulia. Kubah vilanya dibuat dari gading gajah Afrika, penutup kubahnya terbuat dari sutera warna hijau. Agar nampak gebyarnya, Musa bin Sulaiman Al Hasyimi menghiasi kubahnya dengan rantai emas bertahta berlian dan mutiara dan batu mulia lainnya.

Suatu hari, Allah menghentakkan kesadarannya. Ditengah malam yang yang sunyi nan sahdu, tiba-tiba terdengar alunan suara yang merdu, kadang keras, kadang lembut, kadang menggembirakan kadang memilukan, ditelan angin malam, suara ini memasuki telinga Musa bin Sulaiman Al Hasyimi dan atas seijin Allah SWT tembus ke relung hatinya. Diputuskannya untuk mencari sumber suara tersebut.

Ternyata setelah dicari suara itu berasal dari sebuah masjid, dimana nampak seorang pemuda kurus dengan pakaian sederhana sedang menegakkan qiyamul lail, saat bertatap muka Musa bin Sulaiman Al Hasyimi bertanya “Wahai anak muda Siapa namamu, apakah yang sedang kamu baca tadi?” anak muda ini menjawab dengan mantap “Saya Muhammad bin Sama’ yang saya baca Kalam Allah” Musa bin Sulaiman Al Hasyimi tercekat sejenak, hatinya bergetar lalu diperintahkannya anak muda ini untuk membaca ulang ayat-ayat yang berhasil menggetarkan jiwanya tadi.

Pemuda sederhana ini dengan vokal sempurna lalu membaca Surat Al Muthafifin, dirangkai dengan Ar-Rahman, Al Waqi’ah, Al Haqqah dan Al Ghasysyiyah, yang ditutup dengan membacakan surat Al-Hijr ayat 48: “Dia (kapitalis feodal) mengumpulkan (harta benda) dengan ketekunan dan susah payah. Sementara juga ia mendapatkan siksa yang pedih dan mendapatkan kemurkaan dari Tuhan alam semesta (akibat kebakhilannya). Mereka tidak akan dikeluarkan dari api neraka”. 

Mendengar kalam tersebut, Musa bin Sulaiman Al Hasyimi lupa bahwa dirinya adalah orang terhormat, ia lantas bangkit dari duduknya dan merangkul pemuda tersebut sambil terguguk menangis. Dia pun meratapi dirinya telah berbuat banyak kezaliman. Ia memohon kepada pemuda miskin itu tinggal semalam di vilanya, mengajari tentang dien Islam yang sebenarnya. Selama ini Musa bin Sulaiman Al Hasyimi hanya tahu Islam dari contoh penguasa dinasti Abbasiyah, yang menghalalkan sistem feodalisme dengan bermegah-megahan.

Dengan tulus ikhlas pemuda miskin itu mengajari Musa bin Sulaiman Al Hasyimi tentang Al Ouran dan Sunnah Rasulullah. Menjelang Subuh, keduanya menjalankan sholat subuh, memohon ampun kepada Allah. Kemudian, Musa bin Sulaiman Al Hasyimi memerintahkan kepada sekretarisnya agar menjual seluruh harta niaganya, pakaian mewah, emas permata dan memerdekakan seluruh budak yang dimiliki. Dia hanya mempergunakan kain wol yang kasar.

Dari vila yang super mewah, Musa bin Sulaiman Al Hasyimi pergi ke Baitullah, menunaikan haji. Perjalanan itu ditempuhnya dengan berjalan kaki sambil membawa tenda dan perbekalan secukupnya. Ketika masuk ke dalam Hijr Ismail, ia menyerahkan raga dan jiwanya “dibunuh” oleh Allah, ia meratapi dirinya telah menyalahgunakan nikmat-Nya untuk berpesta pora dalam maksiat. Ia menerima apa pun sanksi yang dijatuhkan oleh Allah kepadanya. 

Sepanjang malam dia senantiasa menegakkan shalat dan meratapi dirinya, seakan-akan dosa seluruh manusia tertumpuk padanya. Ia tak sempat lagi memikirkan vilanya yang indah dan keuntungan panen perkebunannya. Ia telah bersiap menghadap Allah, dengan rasa lapar, dahaga dan dzikir. 

Keesokan harinya, di saat matahari bergerak ke atas kepala, menjelang shalat Zuhur, tiba-tiba berkerumun banyak orang berhamburan menuju ke arah Shafa. “Ada jenazah asing”, teriak seseorang yang menyaksikan mayat seorang pria muda tergeletak. Namun tak satu pun mengenal mayat misterius itu, terkecuali Muhammad bin Sama’, penasehat spiritualnya. 

Mantan majikan termasyhur itu telah tiada, menghadap Allah dengan penuh kepasrahan. la mati tanpa meninggalkan warisan, kecuali pakaian ihram, sebuah tenda untuk wukuf di Arafah. Semoga ruh Musa Al Hasyimi diterima oleh Allah atas taubat dan kepasrahannya. 

Turunnya Al Ouran memperingatkan manusia akan bahaya fitnah harta dunia, Betapa banyak manusia berhasil diuji dengan kemiskinan, namun pada akhirnya gagal ketika diuji dengan harta kekayaan yang melimpah ruah. Sebagaimana yang terjadi pada Oarun dan Tsa’labah bin Hathib. Hakikat harta kekayaan ibarat kalung yang melingkar di leher wanita muda nan cantik, tanpa kalung pun kecantikan wanita akan senantiasa tersemburat indah. Demikian juga dengan manusia, tanpa memiliki harta yang berlimpah ruah masih nampak memancarkan kemuliaan, yang lahir dari ketakwaannya. 

Dalam surat Al Hadid ayat 20, Allah SWT. melukiskan keberadaan harta kekayaan sebagai berikut:  “Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan. Perhiasan (dunia) dan bermewah-mewah serta berbang gabanggaan antar kalian tentang banyaknya harta dan anak, (kondisi demikian) laksana hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan petani, kemudian tanaman itu menjadi kering (di musim kemarau) dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur”. 

Allah menciptakan bumi sebagai tempat bagi terselenggaranya kehidupan ekonomi kaum beriman dalam mencapai prestasi ibadah, sebagaimana firman-Nya pada surat Al Mulk (67) ayat 15: “Dialah (Allah) yang menjadikan bumi itu berbagai kemudahan bagi kehidupan kalian, maka berjalanlah ke segala penjuru (bidang) dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya dan hanya kepada-Nyalah kalian dibangkitkan”. 

Dari ayat di atas, tersimpul satu konsepsi bahwa berbisnis dan mengonsumsi sebagian rezeki Allah merupakan satu perintah yang secara simultan harus dilakukan sebagai wujud pengejawantahan dari tugas mengabdi kepada ajaran Allah. 

Di ayat lain dalam suara yang senada, Allah berfirman: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi dan carilah karunia Allah dan hidup sadarlah (dengan Al Ouran menurut Sunnah Rasul) secara kontinyu, supaya kalian hidup beruntung”. (O.S. Al Jumu’ah: 10)

Pandangan positif terhadap nilai harta juga dikemukakan oleh Nabi Muhammad dalam doanya: “Ya Allah, lindungilah dan tolonglah saya untuk menghindari ketidakmampuan dan kemalasan, ketakutan dan ketamakan (terhadap harta). Lindungi dan tolonglah saya untuk menghindari kemiskinan, kekufuran dan perilaku yang salah. Ya Allah, saya berharap kiranya Engkau memberi petunjuk kepada saya ke jalan-Mu, memberikan rasa cinta kepadaku dan takut kepadaMu, membuat saya puas dengan apa yang Engkau berikan kepadaku dan berikanlah saya kecukupan”. 

Doa Nabi tersebut menunjukkan sikap positif terhadap harta dan sikap negatif terhadap kemiskinan. Karena itu Islam tidak membatasi usaha-usaha untuk mencapai kemajuan material, seiring dengan peningkatan kualitas spiritual.

Al Ouran mendorong setiap individu muslim untuk melakukan semua upaya progresif yang mampu memakmurkan bumi dan menyejahterakan rakyat, dengan asas iman, keseimbangan dan keadilan universal. 

Moralitas dan spiritualitas tidaklah memenjarakan pengusaha dan buruh yang mengejar ambisi dan berhenti untuk mendapatkan sesuatu yang sederhana. Sebaliknya, Al Ouran justru mendorong “ambisi” mendirikan perusahaan dengan landasan iman dan berorientasi kesalehan. Jalan menuju kesempurnaan iman hanya bisa diterobos melalui berbagai suasana dan gegap gempitanya persaingan kehidupan yang berduri dan menyengat, namun bagi mereka yang beriman baja, sengatan kehidupan tersebut malah menambah manisnya iman. 

Iman (pandangan dan sikap hidup) merupakan landasan gerak dan motivasi manusia Islam untuk mengkreasikan peradaban. Jika iman dipararelkan dengan stasiun kapitalistik, maka harta kekayaan akan menjelma menjadi tuhan baru di alam semesta, namun jika iman dipararelkan dengan stasiun sentral Allah, maka ia akan menjadi darah transfusi bagi kaum papa dan kemuliaan bagi yang pandai menggembalakannya. 

Manfaat Religiusitas terhadap Kesehatan KerjaL

DB Larson seorang dokter dan peneliti yang memiliki nama besar, memaparkan beberapa penelitian yang telah dilakukannya pada pertemuan tahunan 145-th APA Annual Meeting tahun 1992, berjudul: “Religius Commitment and Health” menyimpulkan bahwa:  pertama, Manusia yang non religius angka kematiannya dua kali lebih besar daripada yang  religius.  Kedua, Manusia yang religius penyembuhan penyakitnya lebih cepat daripada yang non religius. Beberapa kasus mengungkapkan shalat dan dzikir yang dilakukan dengan konsisten mendatangkan mukjizat hilangnya penyakit berat. Dan ketiga, Manusia yang religius lebih kuat dan tabah menghadapi stres daripada yang kurang religius, sehingga gangguan mental emosional jauh lebih kecil.

Karya ilmiah DB. Larson dalam topik sejenis, dikemukakan dalam tulisannya berjudul “Religion : A Research and Clinical Overview” menyimpulkan sebagai berikut:  Pertama, Komitmen agama dapat mencegah dan melindungi seseorang dari penyakit. Kedua, Komitmen terhadap agama meningkatkan kemampuan mengatasi penyakit.  Ketiga, Komitmen agama mempercepat pemulihan kesehatan dari penyakit. Keemoat, Agama lebih bersifat protektif dan preventif daripada problem producing., dan kelima, Komitmen agama mempunyai hubungan signifikan dan positif dengan perawatan kesembuhan penyakit. 

Alangkah baiknya, jika para industriawan mendorong karyawannya berkomitmen terhadap agama yang dipeluknya, sebagai solusi efektif dalam menyejahterakan kehidupan buruh, yang pada gilirannya akan membangkitkan kesadaran beriman dan bekerja secara produktif dan efisien. 

Hubungan Industrial Ideal dala. sudut Pandang Al Quran

Topik paling menarik dari pertemuan ini mesti direnungkan oleh para majikan, yang menggambarkan hubungan romantis dan dinamis antara pelaku ekonomi dengan para pekerja. Peristiwa industrial dengam nuansa religi termaktub dalam surat Saba’ ayat 10-11, dengan tafsir mikro kurang lebih berbunyi: Ayat 10: “Dan sesungguhnya telah Kami (Allah) anugerahkan (melalui Zabur) kepada Nabi Dawud fadilah dari Kami (Allah). (Allah berfirman): “Wahai gunung-gunung (simbol teknokrat) dan burung-burung (simbol teknolog) bertasbihlah bersamanya!” dan Kami (Allah melalui Zabur) telah melunakkan baginya biji besi”. 

Ayat 11 : “Buatlah baju besi (busana anti peluru) yang besar dan ukurlah anyamannya dan bekerjalah secara saleh (tepat guna dan berdaya guna)! Sesungguhnya Aku (Allah melalui Zabur menurut Sunnah Nabi Dawud) adalah Pemberi pandangan (Maha Umiah) terhadap apa yang kalian lakukan”. 

Dua ayat tersebut mendefinisikan hubungan Industrial antara Allah sebagai Penganugerah fadilah, Nabi Dawud sebagai manajer sedangkan teknokrat dan teknolog sebagai pelaksana operasional. Pada ayat 10 surat Saba’ Allah tidak membentuk citra Nabi Dawud sebagai majikan atas buruh-buruhnya, bahkan Allah menempatkan Nabi Dawud sejajar dengan anak buahnya sebagai hamba Allah, sebagaimana teks kalimat “wahai gunung-gunung dan burung-burung bertasbihlah bersamanya (Nabi Dawud)!” Pada kalimat tersebut siapakah yang paling mendominasi hubungan industrial? Allah! Sedangkan Nabi Dawud dan umatnya dalam kondisi didominasi atau sebagai obyek di hadapan Allah, Pemilik perusahaan jagad raya. 

Nilai indah yang tertuang pada ayat 10 adalah bahwa hubungan industrial hendaknya berorientasi pada siklus tasbih. Artinya aktif bergerak menurut sunnatullah, sebagaimana tasbihnya langit dan bumi menurut titah Allah. (O.S. Al A’raf 7:54) 

Poin ilmiah selanjutnya terdapat pada ayat 11 yang berbunyi: ” … Bekerjalah secara saleh!”. Kata perintah bekerjalah secara saleh menunjukkan satu pandangan bahwa bekerja secara terprogram, terukur dan profesional adalah perintah Allah, bukan perintah dari imperium hawa nafsu atau tuntunan rasionalitas bisnis. Nabi Muhammad SAW. bersabda: 

“Allah tidak menerima amal (kerja saleh) seseorang tanpa dimotivasi iman, demikian pula Allah tidak akan menerima iman seorang hamba bila tidak disertai amal saleh. ‘ 

Keduanya, iman dan amal saleh ? harus beriringan, sebagaimana yang termaktub pada surat At Tin ayat 6 yang berbunyi: “Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka upah yang tidak terputus”.

Yang jelas, Islam selalu tegak lurus menjaga keseimbangan, merepost kisah hikmah Musa Bin Sulaiman, menggambarkan betapa seorang majikan feodalis yang lama bergelimang harta kekayaan pada akhirnya disadarkan oleh Allah, dan dia pun bertaubat dan pasrah kepada Pemilik Agung alam ini. 

Perubahan sikap Musa bin Sulaiman Al Hasyimi yang berubah 180 derajat ini dapat dikatakan baik apabila dilihat dari sisi kepentingan pribadinya, akan tetapi bila dilihat dari dimensi sosial hal itu akan berdampak buruk bagi nasib para buruh dan karyawannya karena kehilangan pekerjaan. Seorang pengusaha muslim yang baik mestinya mampu menjaga keseimbangan antara urusan dunia dan urusan akhirat. Ketika ia sedang berupaya membangun rumah di negeri akhirat, bukan berarti ia harus meninggalkan urusan dunia. Begitu juga sebaliknya, ketika ia mengejar dunia, ia tidak melupakan Tuhannya. 

Wallahu Alam Bi Sawab.

*Penulis adalah Kolumnis, Dosen & Peneliti Fakultas Hukum Universitas Islam Jember, Bidang Hukum dan HAM Sarbumusi Wilayah Jawa Timur Bidang Hukum dan HAM PC ISNU Jember, dan Ketua Bidang Pengembangan Anggota DPC IKADIN Jember.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry