“Sebagai gantinya, kedaulatan rakyat diarahkan pada upaya pengawasan ketat jalannya pemerintahan. Ini penting, sehingga berbagi kebijakan dapat dikawal untuk mengurangi kebocoran anggaran yang konon sampai 30-40 peresen.”

Oleh Mukhlas Syarkun*

AJAKAN Presiden Prabowo Subianto, agar politisi kita mengevaluasi sistem pemilu (demokrasi) yang selama ini dianggap menimbulkan berbagai penyimpangan dan pemborosan, lalu berefek ke tatanan sosial — seperti adanya keterbelahan masyarakat di bawah akibat perbedaan dukungan – sangat menarik dicermati.

Ini mengingatkan kita pada isi pidato iftitah (pembukaan) almaghfurlah KH Sahal Mahfudz, Rais Aam PBNU, pada acara Munas (Musyawarah Nasional) Alim Ulama Nahdlatul Ulama (2012) di Pondok Pesanten Kempek, Cirebon, Jawa Barat. Menurut Kiai Sahal, dalam berbangsa dan bernegara, kita harus mengakui adanya tahapan sejarah yang telah mewarnai pasang surut dalam kehidupan berdemokrasi di negeri ini.

Kiai Sahal kemudian mengutip sejarah perjuangan merebut kemerdekaan, masa orde lama, masa orde baru, sampai pada masa era reformasi. “Kita wajib mengakui bahwa kehidupan di era reformasi telah terbukti membawa kemajuan yang berarti. Kehidupan politik bangsa semakin demokratis, kebebasan pers, kebebasan berorganisasi, menyalurkan aspirasi politik, mengembangkan pendidikan dan dakwah tanpa pembatasan-pembatasan, semakin dirasakan oleh rakyat,” kata beliau.

Tetapi, harus diakui, jelas Kiai Sahal, bahwa di sana sini masih terdapat berbagai kekurangan, baik karena hal itu belum tersentuh oleh upaya reformasi, maupun dikarenakan sebagai ekses dari reformasi itu sendiri. “Sebagaimana kita ketahui reformasi, yang `terlalu` bersemangat kadang-kadang harus membawa dampak yang kurang baik bahkan kontra produktif,” begitu pandangan Kiai Sahal.

Rais Aam PBNU yang dikenal dengan istilah ‘politik tingkat tinggi’ ini, kemudian mengutip ungkapan Al- Imam Hujjatul-Islam Abu Hamid al-Ghazali, bahwa, segala sesuatu yang melampaui batas akan kembali kepada hal yang sebaliknya. Beliau juga menyitir pendapat khalifah ke 2 Sayyiduna Umar ibnul-Khaththab RA: Bahwa: Kembali kepada yang benar, itu lebih baik daripada berlarut-larut mempertahankan yang salah.

Hal ini, ada korelasinya dengan sistem demokrasi kita yang masih sangat ‘mengerikan’. Mobilisasi besar-besaran (suara rakyat – yang dianggap suara tuhan) semula merupakan penguatan tentang kedaulatan masyarakat khususnya dalam hak pilih, berubah total, dan mengikis kedaulatan itu sendiri. Ini dipicu oleh money politik, yang kemudian kita anggap lumrah, padahal berbahaya. Sehingga muncul istilah politik ‘wani piro’. Padahal, diharamkan agama.

Walhasil, opini yang dominan adalah streaming dan pencitraan. Akibatnya mayoritas masyarakat kita kehilangan kemandirian untuk menentukan pilihan yang ideal, karena aspek-aspek eksternal begitu kuat dan memberikan daya pikat, sehingga hilanglah kemandirian politik.

Ini semua disebabkan rendahnya pendidikan politik ditambah problem ekonomi di kalangan mayoritas pemilih kita yang masih berkubang masalah. Oleh karena itu, ajakan Presiden Prabowo untuk menerangi sistem kepemiluan, menjadi sangat relevan, apalagi kepemimpinan yang dihasilkan tidak memenuhi ekspektasi ideal, bahkan memiliki cacat etika dan moral.

Poin penting dari ajakan Presiden Prabowo ini, menyadarkan kepada kita, bahwa, dana yang begitu besar sebaiknya dialihkan  untuk mengatasi berbagai persoalan masyarakat yang belakang ini daya belinya turun drastis. Sekarang, kelas menengah harus terjun bebas, ikut terpuruk  menjadi kelas bawah.

Arah pemikiran Presiden Prabowo ini, dapat dipahami mayoritas masyarakat berdasarkan realitas tersebut di atas, yaitu mengembalikan lagi sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi kita (sebelum amandemen) yaitu rekrutmen melalui mekanisme perwakilan yang tercermin dari sila ke 4.

Sebagai gantinya, kedaulatan rakyat diarahkan pada upaya pengawasan ketat jalannya pemerintahan, sehingga berbagi kebijakan dapat dikawal untuk mengurangi kebocoran anggaran yang konon sampai 30-40 peresen.

Bukankah suara rakyat itu suara Tuhan? Ya! Anggota DPRD dan DPR RI juga representasi suara rakyat. Suara mereka juga suara rakyat, suara Tuhan. Jika Pilkada bisa dikanal pada perwakilan yang dipilih oleh rakyat, maka, risiko kerusakan yang lebih luas bisa kita hindari. Masalahnya: Bagaimana rakyat memiliki pintu lebih terbuka untuk mengawasi para wakilnya. Bukankah begitu? (*)

H Mukhlas Syarkun adalah Ketua Umum Majelis Dzikir Nurul Wathan Al-Hambalangi.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry