Tampak pelukan erat Erick Thohir kepada Sandi dalam pertemuan singkat. (FT/KOMPASTV)

SURABAYA | duta.co – Dalam pertemuan singkat,  dua kali Erick Thohir memeluk rapat Sandiaga Uno. Keduanya tersenyum lepas, seperti punya kata sepakat. Maklum, tak terduga, keduanya menjadi orang penting dalam Pilpres 2019. Jika Sandi menjadi Cawapres Prabowo, Erick menjadi ketua tim sukses Jokowi.

Penunjukan Erick Thohir sebagai ketua tim kampanye Jokowi-Ma’ruf Amin mendapat apresiasi dan tanggapan beragam dari masyarakat. Karena dia bukan politisi, tetapi, lebih dikenal sebagai sosok profesional bisnis.

Menurut pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM)  Surokim Abdus Salam, sebagai profesional bisnis, Erick pasti akan menghadapi situasi yang berbeda 180 derajat. Sebab politik kadang bisa menjepit, memaksa profesional untuk kompromi dalam banyak hal yang sesungguhnya berbeda dengan urusan bisnis.

Untungnya, kata Dekan FISIP UTM, sekarang ini pertempuran masih dalam tataran udara, sehingga posisi Erick yang telah sukses menjadi ketua penyelenggara Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang, masih memperoleh respek positif.

Di sisi lain, sudah lama Erick punya hubungan erat dengan Sandi dan keluarganya, serta dekat dengan Prabowo Subianto. Dalam posisi ini Erick tetap menghadapi pertentangan batin. “Karena Pak Erick diendors sebagai professional, maka, sebagai Timses dia harus berada pada posisi itu dan tidak terlampau jauh masuk,” jelas Surokim Abdus Salam Sabtu (8/9/2018).

Ditegaskan Surokim, sebagai timses Erick bisa elegan memainkan peran dan tidak membabi buta di hadapan lawan, apalagi dengan Pak Prabowo dan Sandi. Dia tahu persis semua itu akan menjadi investasi dan bekal politik yang berharga, karena saat ini banyak politisi yang memperoleh distrust dari publik.

“Masuknya para pebisnis dalam politik kontestasi, sesungguhnya akan menambah harapan untuk menjadikan politik lebih bersih dan bermartabat. Jadi  politisi pebisnis seperti Pak Erick harus bisa elegan bermain dan itu akan menguntungkan posisinya tidak hanya dari yang didukung, tetapi, juga dari lawan, itu penting bagi Erick Thohir,” bebernya.

Sikap elegan diyakini akan bisa meminimalisasi respons negatif dari pemilih Indonesia, makanya sikap profesional tetap harus jadi pegangan utama. Terlebih, sejauh ini respons publik sangat negatif terhadap banyak jubir pasangan capres-cawapres Jokowi dan Ma’ruf, ini menjadi tugas Erick yang tidak ringan untuk pertarungan udara kali ini.

“Erick Thohir  jangan sampai sering membikin  blunder dan besar mulut yang akan mereduksi dukungan dari pemilih Indonesia yang high context culture,” harap Surokim Abdus Salam.

Ia tak sepakat dengan sebagian pendapat yang memposisikan  Erick dan Sandi saling berhadapan atau head to head, karena posisi keduanya jelas berbeda. Posisi Sandi adalah sebagai cawapres,  sedangkan Erick hanya sebagai ketum timses, sehingga posisi ini sesungguhnya menjadi test case bagi Erick apakah bisa profesional masuk politik yang selalu sulit menerapkan profesionalitas di dalamnya.

Surokim Abdus Salam

“Ingat! Banyak pebisnis gagal memasuki wilayah kerja politik karena medan yang dihadapi berbeda, terlalu rumit pola relasi dan jaringan politik serta distrust antaraktor, itu semua butuh jam terbang dan pengalaman,” jelas peneliti senior Surabaya Survey Center ini.

Kendati demikian, Surokim berani memprediksi jika Erick berhasil memenangkan Jokowi-Ma’ruf di Pilpres 2019, maka peluang Erick melejit bahkan bisa menjadi modal berharga untuk maju sendiri di Pilpres 2024.

“Erick Thohir sesungguhnya sedang berada dalam ujian penting dan juga berbahaya masuk wilayah kerja politik, kendati jika sukses dia berpeluang besar ikut meramaikan Pilpres 2024,” dalihnya.

Terpisah, pengamat komunikasi politik dari Unair Surabaya, Dr Suko Widodo menyatakan bahwa pemilihan Erick Thohir sebagai ketua tim pemenangan Jokowi-Ma’ruf tentu dengan pertimbangan yang bersangkutan  mampu mengelola manajemen komunikasi modern.

“Saat ini pemilih sudah melek informasi  yang bisa mengakses informasi secara langsung dan menggunakan informasi sebagai rujukan dalam memilih. Di era dimana “everyone goes digital“, “everyone goes online” maka manajemen  politik memerlukan sosok seperti Erick,” jelas Suko.

Ia juga optimis Erick mampu menjadi pengatur strategi marketing politik yang baik. Kekuatan media komunikasi dengan teknologi modern akan menjadi andalan untuk melakukan pengaruh politik. Karena  selama ini parpol dianggap tidak cukup memiliki pengalaman dalam mengelola komunikasi politik modern, sementara masyarakat telah bergeser sebagai masyarakat digital.

“Yang penting lagi, manajemen pemenangan yang dipimpin Erick Thohir harus berseiring dengan politisi yang punya jaringan jika ingin berhasil. Karena Erick tak punya pengalaman mengelola jaringan politik sebaiknya manajemen yang dipegang hanya bertugas di wilayah persebaran informasi, dan pengelolaan brand saja,” ungkap pria bergelar doktor ini.

Suko Widodo

Terkait hubungan Erick dengan Sandiaga, lanjut Suko sebagai sama-sama orang profesional bisnis, Erick justru tahu kunci strategi Sandi. Sama-sama mengerti. Terlebih kamus profesional itu mengabdi pada bagaimana tugas dilaksanakan. Tak ada ewuh pakewuh atau kesungkanan.

“Erick Thohir akan profesional. Jadi tidak akan sungkan kalaupun harus melawan Sandi meski punya hubungan dekat. Erick diambil karena Jokowi butuh ahli strategi marketing politik. Sedangkan untuk jaringan atau relasi Jokowi tetap akan andalkan Parpol pengusung,” pungkas Sukowidodo.

Skenario Gusti Allah!

Ada analisa menarik yang beredar di medsos. Erick dan Sandi diyakini, tahu itu. Adalah skenario Gusti Allah yang memporak-porandakan skenario politisi.

Mulanya Sandi diremehkan, dipandang sebelah mata. Bahkan kubu Prabowo sendiri sempat gamang, Sandi dianggap kurang mendukung elektabilitas. Tampilnya Sandi, awalnya, membuat Jokowi senang, Sandi dianggap belum matang.

Tapi apa yang terjadi? Prabowo terpesona, bangkit, kaget menyaksikan dalam sekejap Sandi menjadi fenomenal. Kubu Jokowi pun bingung dan tersentak.

Sandi ternyata dengan mudah merebut perhatian emak-emak. Lahir banyak kumpulan emak-emak yang mengorganisir diri untuk mendukung Prabowo-Sandi. Medsos sudah gegap gempita dengan suara emak-emak. Ini membuat Jokowi khawatir.

Maka, Sandi dituduh memanipulasi urusan dapur emak-emak.  Apa kata Sandi? “Saya bersama Pak Prabowo berkomitmen untuk menjaga harga kebutuhan pokok yang terjangkau. Emak-emak ini yang pertama kali merasakan kalau ekonomi negara bermasalah, kalau harga kebutuhan pokok naik.”

Emak-emak angkat jempol. Dan, ternyata, tak hanya emak-emak. Kalangan milenial ikut terbius. Sandi banyak menerima undangan memberi kuliah umum di kampus-kampus.

Di sebuah perguruan tinggi Bandung sampai meja nara sumber dipenuhi emak-emak. Panitia kewalahan. Antusiasme mahasiswa pecah. Sandi disambut luar biasa meriah. Kemudian di Universitas Muhammadiyah Hamka, Jakarta, juga begitu. Auditoriumnya dipadati ribuan mahasiswa dengan bola mata kekaguman.

Yang paling dahsyat di Universitas Islam Riau. Ruang Balairung dipenuhi seluruh civitas akademika yang ingin menyimak kuliah umum Sandiaga.

Nah, menyaksikan fenomena itu, kubu sebelah sewot. Sandi dituduh bawa-bawa politik ke dalam kampus. Mereka minta Bawaslu menindak. Apa kata Sandi? “Saya diundang ngasih kuliah umum tentang kewirausahaan.”

Lalu apa kata Bawaslu? Tidak masalah Sandi memberi kuliah umum. “Jokowi juga boleh kalau mau beri kuliah umum boleh.”

Nah, dari sini, orang baru tahu, mengapa Erick harus terima jabatan ketua timses Jokowi.  Ada yang menduga, Erick sesungguhnya tak ingin berpolitik, apalagi harus berhadapan dengan Sandi, teman sendiri. Tetapi, kuatnya sinyal hukum yang bisa dimainkan, akhirnya membuat Erick ‘pasrah’.

Erick tak mau karier bisnisnya diobrak-abrik. Satu-satunya jalan, menerima tugas tersebut. Banyak kasus hukum selesai dengan baik gegara dekat dengan kekuasaan. Atau sebaliknya, masalah kecil bisa membuat terjungkal, jika ‘melawan’ kekuasaan. Waallahu’alam. (ud)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry