Agus Wahyudi – Peneliti pada Pusat Pengkajian Masyarakat dan Peradaban Islam (PPMPI)

PERSETERUAN dalam kontestasi Pilpres 2019 antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto berakhir pada Sabtu (13/7). Itu  menjadi momentum bersejarah setelah perjalanan melelahkan dalam episode pilpres 2019.

Pertemuan tersebut diharapkan menjadi akhir dari polarisasi legendaris antara ‘kubu cebong’ (pendukung Jokowi) dan ‘kubu kampret’ (pendukung Prabowo). Dengan seruan dari kedua tokoh tersebut untuk mengubur perseteruan ‘cebong’ versus ‘kampret’ dengan statement dari Jokowi “tidak ada lagi yang namanya cebong dan kampret, yang adalah adalah Garuda Pancasila” (Kompas,13/7/2019).

Entah siapa dalang dari metafora tidak mendidik ini, meski faktanya sebutan ‘Cebong’ yang lebih dulu disematkan kepada pendukung petahana lalu malah dibalas dengan sebutan Kampret untuk sang penantang seakan tak ada yang mau mengalah dan mengambil momen positif dari kondisi tersebut.

‘Cebong’ dan ‘kampret’ dalam konteks ini tidak lagi dimaknai sebagai anak kodok maupun anak kelelawar. Kedua istilah ini kini merujuk langsung pada citra imajiner yang ditujukan kepada pembelahan dukungan politik antara mereka yang merapat ke kubu Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi.

Dengan demikian, baik para ‘cebong’ (cebongers) maupun ‘kampret’ (kampreters) hanya dapat dipahami melalui pendefinisian atas identitas kelompoknya masing-masing. Mereka yang sudah mendefinisikan dirinya sebagai barisan cebongers akan sulit bertingkah layaknya kampreters.

Hal ini dikarenakan identitas kolektif yang melekat pada masing-masing kelompok akan menjadi parameter tingkah laku. Mengharapkan seorang kampreter bertindak sebagai cebonger bukan saja sulit, melainkan mustahil. Kecuali, individu yang bersangkutan sudah bersedia menanggalkan identitas kolektifnya.

Seorang cebongers akan berpikir dan bertingkah layaknya para cebongers lainnya. Sebaliknya, seorang kampreter akan bertindak menurut norma dan nilai yang berlaku bagi komunitas kampreters.

Mengapa itu bisa terjadi? Seperti telah dijelaskan di awal, karena mereka terperangkap dalam konstruksi kesadaran kolektif. Jika pikiran akan menuntun tindakan seseorang–sebagaimana anda adalah apa yang anda pikirkan–maka konstruksi berpikir sebuah kelompok akan menyediakan kerangka bertingkah atau bertindak bagi anggotanya

Kelompok elit dari kubu-kubu itu sendiri tidak secara masif menggunakan dua istilah tersebut terlebih ketika dihadapkan dalam suatu forum debat atau diskusi terbuka meski pada dasarnya kelompok-kelompok inilah yang memiliki kepentingan paling besar dalam momen pilpres yang sedang dinanti.

Terminologi menyesatkan itu justru dipatenkan oleh kalangan masyarakat akar rumput (grassroot) untuk kemudian dijadikan alat saling serang yang semakin menguatkan mundurnya etika dan moral kita dalam berdemokrasi.

‘Cebong’ dan ‘Kampret’, dua metafora ini jelas akan menjadi preseden buruk bagi kehidupan berpolitik dan berdemokrasi di masa yang akan datang, sebab apa yang dilekatkan dalam aktivitas politik setiap individu di negara ini bukan lagi sebatas menyampaikan pandangan lewat argumentasi ataupun gagasan, melainkan label negatif yang bila terus menerus direproduksi, maka akan menjelma sebagai indentitas baru bagi dua kelompok yang berbeda (baca ; vis a vis).

Padahal penyematan nama hewan (yang buruk) kepada persona seseorang jelas di larang oleh ajaran agama manapun. Tetapi realitanya tidak sedikit dari petinggi agama di negara ini malah sibuk ikut-ikutan menggaungkan dua istilah ini ke ruang-ruang dakwah mereka, menjadikan dua istilah ini seakan mendapat legitimasi spiritual yang melangkahi norma-norma agama itu sendiri.

Maka, ketika kita terlalu bangga akan proses demokrasi di negara ini dengan melihat kenyataan bahwa rakyat memilih pemimpin secara langsung, maka sebaiknya periksa dulu instrumen yang telah kita mainkan dalam fase menuju TPS. Di sana banyak kekacauan yang tanpa kita sadari telah mendegradasi kedewasaan dan budaya luhur kita sampai pada akhirnya dengan senang hati kita melucuti jubah dan eksistensi kemanusiaan itu sendiri.

Menuju Kesadaran Reflektif

Bangsa kita adalah bangsa yang suka bermain bahasa, terbiasa dengan ‘pisuhan akrab’ dan ‘gojekan’ missal ‘anjing’, ‘wedhus’, ‘munyuk’, ‘celeng’, ‘bajingan,’otak udang’ dan lain sebagainya kerap digunakan sebagai pemanis kalimat, lucu-lucuan dan bumbu percakapan dengan senda gurau. Hanya saja melihat fenomena factual saat ini begitu mudah dan kreatifnya, seperti cebongers, kampret, IQ200, kafir dan lain sebagainya sebagai deskripsi bagi kelompok yang tidak sepaham yang berujung membawa perasaan (‘baper’ istilah anak jaman now).

Jika ungkapan-ungkapan tersebut lahir dari konstruksi sinisme, amarah dan kebencian yang terpola dengan menggaungkan penghinaan dan perendahan kepada yang lain maka kita perlu waspada. Kita semua tidak menginginkan narasi keganasan dan kebencian selalu direproduksi dalam rangka membenturkan sesama anak bangsa. Ibarat kita bermain di tepi api unggun dekat rumah sendiri. Terlalu indah rumah kita bersama yang bernama Indonesia. Wallahu’alam bis shawab. *