dr Hafid Algristian, Sp.KJ – Dosen Fakultas Kedokteran (FK)

SEJAK 2003 Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO bersama Asosiasi Internasional untuk Pencegahan Bunuh Diri atau IAD menetapkan 10 September sebagai hari Pencegahan Bunuh Diri.

Berdasarkan data dari WHO kasus bunuh diri beberapa negara setiap tahunnya telah mengalami penurunan. Meskipun begitu, narasi dan stigma masyarakat terkait bunuh diri masih perlu diluruskan.

Seringkali orang-orang yang ingin mengakhiri hidupnya itu dianggap lemah atau bahkan kurang iman jika merujuk pada budaya kita. Pada dasarnya mereka membutuhkan empati dari orang-orang disekitarnya.

Mengutip kata-kata dari pasien saya, sebenarnya orang yang ingin mengakhiri hidupnya itu adalah orang yang paling ingin hidup namun bukan cara yang seperti ini.

Keputusasaan yang dialami oleh para penyintas menjadi faktor yang mendorong mereka untuk mengakhiri hidupnya. Hal itu timbul karena ada pemantik yakni trauma yang dialami sebelumnya. Seperti pengalaman KDRT, perundungan, hingga tekanan sosial ekonomi.

Adanya ketidakpastian dalam hidupnya membuat mereka memiliki pemikiran yang disebut dengan tunnel vision. Di mana para penyintas melihat ujung akhir hidup mereka hanya dengan cara bunuh diri. Ini karena mereka tidak dapat menemukan solusi yang tepat dalam menghadapi kesulitan yang mereka hadapi, meskipun sudah mencoba berbagai solusi penyelesaian.

Kehadiran kita sebagai orang terdekat ini begitu penting dalam membantu para penyintas untuk bisa keluar dari pemikiran tersebut. Empati dan perhatian yang diberikan dapat memberikan makna hidup bagi mereka. Menurutnya yang dibutuhkan para penyintas adalah kebermaknaan dari hidup yang mereka jalani.

Namun di dunia yang serba cepat ini, kita dihadapkan dengan waktu. Sedangkan memberi empati memerlukan waktu. Bertemu dan mendengarkan mereka (para penyintas, red) itu memerlukan waktu.

Di tengah tantangan ini, kita sebagai orang terdekat masih bisa memberikan empati dengan keterbatasan waktu yang kita miliki. Misalnya ketika penyintas butuh sosok untuk tempatnya bercerita, kita bisa tetap ada dan memberikan pengertian terhadap keterbatasan waktu yang kita miliki.

Kita bisa berikan penjelasan bahwa untuk saat ini, aku masih memiliki waktu sekian misal 15 menit untuk mendengar, tapi besok atau lusa aku punya banyak waktu. Bukan hanya kita yang perlu meraih mereka, namun para penyintas juga perlu menerima uluran tangan orang disekitarnya untuk bisa membantunya menemukan berbagai alternatif solusi yang dia butuhkan. Lantaran, pada dasarnya kita bisa melihat dan merasakan empati seseorang. Namun yang perlu digaris bawahi adalah sebagai pendengar kita tidak boleh terburu-buru memberi nasehat kepada mereka (para penyintas, red).

Ibarat gelas yang terisi air penuh, jika diisi dengan air lagi maka akan meluap. Seperti nasehat, sebaik-baiknya nasehat ketika kondisi seseorang sedang ‘penuh’ maka tidak ada artinya. Akan tetapi dari sisi penyintas juga perlu adanya dorongan dari diri sendiri untuk terus mencari alternatif solusi yang sesuai dengan standar mereka.

Karena tidak semua orang punya kapasitas yang sesuai dengan standar kita, misal orang tua itu memberi nasehatnya ‘ya sudah dikencengi sholatnya, ditambah sedekahnya’ bisa jadi karena memang itu kapasitas orang tua kita.

Sehingga peran kedua pihak dalam kondisi ini sangat penting, kesediaan kita sebagai orang terdekat dengan segala keterbatasan waktu untuk bisa mendengarkan dan merangkulnya. Juga keinginan penyintas untuk bisa menemukan alternatif solusi yang tepat untuk mengatasi masalahnya. *

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry