Dari Kiri ke Kanan, Aris Priyanto, S.H., Reno Suseno, S.H., Iko Kurniawan, S.H., M.Hum., dan Benny Abadi, S.H. saat jumpa pers dengan sejumlah awak media di Surabaya, Kamias (12/6/2025). Ridho/Duta

SURABAYA | duta.co – Pengadilan Negeri Surabaya kembali menjadwalkan eksekusi pengosongan rumah di Jalan Dr. Soetomo No. 55 Surabaya pada Selasa, 17 Juni 2025. Eksekusi ini tindak lanjut dari putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, menyusul dua upaya sebelumnya yang gagal dilaksanakan karena kondisi lapangan yang tidak kondusif.

Kuasa hukum pemohon eksekusi, Reno Suseno, S.H., menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers pada Kamis (12/6) di Surabaya. Sekaligus menegaskan bahwa pelaksanaan eksekusi ini sepenuhnya dilakukan oleh institusi peradilan.

“Eksekusi ini adalah marwah pengadilan. Jangan sampai pengadilan kalah oleh pihak-pihak yang tidak patuh hukum. Jika putusan berkekuatan hukum tetap pun dilawan, ini akan menjadi preseden buruk,” ujar Reno.

Kasus ini bermula dari sengketa atas sebidang tanah seluas 589 m² di Kelurahan Dr. Soetomo, Surabaya, yang berdasarkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor 651 dimiliki oleh Dokter Hamzah Tedjasukmana. Riwayat kepemilikan tanah tersebut tercatat sejak tahun 1972 dan berpindah tangan beberapa kali, yakni:

Dari Bouwn- en Handel Maatschappij Tjay Hian kepada Dokter Hamzah Tedjakusuma pada 19 September 1972. Dari Hamzah Tedjasukmana kepada Tina Hinderawati Tjoanda (12 September 1992). Dari Tina Hinderawati Tjoanda kepada Rudianto Santoso pada 17 Desember 2007.

Pada tahun 2022, pemohon eksekusi mengajukan gugatan perdata terhadap penghuni tanah, R.A. Tri Kumala Dewi, ke Pengadilan Negeri Surabaya. Gugatan tersebut dikabulkan sebagian melalui putusan Nomor 391/Pdt.G/2022/PN.Sby tanggal 5 Desember 2022.

Putusan tersebut menyatakan bahwa pemohon adalah pemegang sah SHGB atas tanah sengketa dan menghukum Tergugat (R.A. Tri Kumala Dewi) untuk menyerahkan tanah tersebut dalam keadaan kosong serta membayar ganti rugi sebesar Rp5.400.000.000. Selain itu, dikenakan pula uang paksa (dwangsom) sebesar Rp250.000 per hari keterlambatan.

Dari Kiri ke Kanan, Aris Priyanto, S.H., Reno Suseno, S.H., Iko Kurniawan, S.H., M.Hum., dan Benny Abadi, S.H. saat jumpa pers dengan sejumlah awak media di Surabaya, Kamias (12/6/2025). Ridho/Duta

Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Surabaya melalui putusan Nomor 41/PDT/2023/PN.SBY tanggal 1 Februari 2023, dan upaya hukum selanjutnya dari termohon, baik kasasinya oleh Mahkamah Agung (Nomor 2649K/Pdt/2023 tanggal 31 Oktober 2023), dan permohonan peninjauan kembali juga ditolak oleh Mahkamah Agung RI (Nomor 1130 PK/Pdt/2024 tanggal 29 November 2024). Dengan demikian, perkara ini telah selesai di seluruh tingkatan peradilan.

Meski putusan telah inkrah, eksekusi yang semestinya dilaksanakan pada 13 Februari dan 4 Juni 2025 sempat tertunda karena kondisi lapangan yang tidak memungkinkan, yang diduga kuat melibatkan tindakan premanisme. Tim kuasa hukum menyesalkan hal ini dan berharap proses eksekusi mendatang dapat berjalan lancar tanpa hambatan.

“Indonesia ini adalah negara hukum, bukan negara preman. Putusan pengadilan adalah bentuk kepastian hukum yang harus dihormati dan dijalankan,” tegas Reno.

Ia juga menambahkan bahwa klien mereka, sebagai pencari keadilan, berhak atas perlindungan hukum dan implementasi keputusan pengadilan yang sah.

Tim kuasa hukum pemohon, yang terdiri dari Aris Priyanto, S.H., Iko Kurniawan, S.H., M.Hum., Benny Abadi, S.H., dan Reno Suseno, S.H., menyatakan komitmennya untuk terus mengawal proses hukum ini hingga tuntas. (*)

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry