SURABAYA | duta.co – Kembalikan NU Pada Khitthahnya! Inilah yang akan diperjuangkan dzurriyah pendiri Nahdlatul Ulama (NU) — KH Hasyim Asyari dan KH Wahab Chasbullah —  setelah menyaksikan politisasi organisasi NU yang, semakin hari semakin masif.

Diyakini, biang kerok, perusak berat NU selama ini adalah nafsu politik. Mereka ingin mengeruk suara nahdliyin sebanyak-banyaknya dengan merusak tatanan organisasi. Nafsu politik itu menjadi sempurna, ketika dibingkai dengan ideologi (ekstrem kanan dan kiri). Dari kanan warga NU ditakut-takuti isu PKI, dari kiri warga NU dibujuki dengan bahaya khilafah dan wahabi. Hari ini, ancaman benturan itu sudah di depan mata.

“Sudah emergensi, kondisinya sudah gawat! Karena itu, kami, anak cucu pendiri NU, berusaha semaksimal mungkin untuk ‘mengembalikan’ NU pada jalan yang benar. Jalan yang bersih dari kepentingan politik praktis, NU jangan sampai jadi alat untuk merebut kekuasaan,” demikian disampaikan Gus A’am Wahib panggilan akrab KH Agus Solachul A’am Wahib Wahab kepada duta.co, Selasa (23/10/2018).

Rabu, 24 Oktober 2018, sekitar Pukul 10 Pagi, bertempat di PP Tebuireng, Jombang, para kiai yang masih memiliki kepedulian terhadap khitthah NU, bersama dzurriyah Mbah Hasyim dan Mbah Wahab menggelar Halaqah Ulama Nahdliyin dalam rangka Menjaga Marwah NU.

Sejawaran NU, Drs H Choirul Anam, menyambut baik rencana halaqah tersebut. Menurut Cak Anam, panggilan akrabnya, politisasi NU tidak boleh dibiarkan. “Seperti diketahui, setelah KH Ma’ruf Amin melepas amanah sebagai Rais Am PBNU, memilih jadi Cawapres berpasangan dengan Capres Joko Widodo, wajah NU menjadi politis. Ini musibah bagi NU,” jelas Cak Anam.

Hari ini, pengurus NU di semua tingkatan, seakan lupa, bahwa NU sudah kembali ke khitthah. Bahwa NU tidak lagi berorientasi pada politik praktis, politik kepartaian dan/atau perebutan kekuasaan. Warga NU bebas menentukan pilihan dengan dibekali Sembilan Pedoman Politik. Ini Keputusan Muktamar ke-28 di Krapyak,  November 1989.

Kini, ikhtiar para kiai NU seperti al-maghfurlahum Kiai As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), Kiai Acmad Siddiq (Jember), Kiai Machrus Aly (Lirboyo), Kiai Aly Ma’shum (Krapyak), Kiai Masjkur (Malang), Kiai Munasir Aly (Mojokerto), Kiai Saifuddin Zuhri (Jakarta) bersama sejumlah tokoh muda NU yang dipimpin KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sejak muktamar ke-26 di Semarang (Juni 1979), kemudian dipertegas di muktamar ke-27 di Situbondo (Desember1984), yang dengan susah payah mengembalikan NU ke khitthah asalnya, seakan sirna, terciderai oleh pengurus NU itu sendiri.

“Maka, upaya dzurriyah Mbah Hasyim dan Mbah Wahab, ini harus didukung demi menjaga marwah NU dari kepentingan politik praktis.

“Para kiai sepuh telah melihat secara cermat realitas politik praktis, politik kepartaian dan perebutan kekuasaan, tidak hanya dengan mata kepala yang disebut ‘ainun. Tetapi juga dengan nalar kritis dan mata hati yang bernama bashiratun,” tegas Cak Anam.

NU Tidak Ada Urusan Menang-Kalah

Para ulama besar itu kemudian berkesimpulan, bahwa paradigma politik jauh berbeda dengan paradigma NU. Alat ukur politik adalah menang-kalah dan condong menjadi Macheavellian, menghalalkan segala cara, jika perlu, boleh berbohong, menipu, meneror atau menggunakan kekerasan sekalipun, asal kekuasaan bisa dipertahankan atau direbut.

“Jadi, seseorang yang terjun ke arena politik praktis, yang alat ukurnya menang-kalah itu, secara tidak disadari martabat kemanusiaannya turun satu strip,” tambahnya.

Sedangkan paradiqma NU adalah moral, etika, akhlaq dan pertimbangan agama yang terukur dalam tindakan baik-buruk, benar atau salah. Karena itu, ulama NU seluruh Indonesia sepakat kembali ke khitthah. Petinggi NU dilarang berurusan dengan politik praktis, politik kepartaian dan perebutan kekuasaan.

“Mudah-mudahan upaya para dzurriyah Mbah Hasyim, dan Mbah Wahab  ini berhasil, Amin,” tutupnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry