Oleh Sad Praptanto Wibowo, SH, MH *

Mendagri harus paham bahwa tugas kedua jenderal polisi yang akan dijadikan Pejabat Gubernur itu sangat berat, terutama dalam mengamankan Pilkada serentak. Pemerintah harus memastikan netralitas Polri yang bertanggung jawab terhadap keamanan negara, memiliki netralitas dan  tidak ditarik ke dalam politik praktis oleh penguasa sipil.

JAGAD politik kita diramaikan soal polemik kembalinya ‘Dwifungsi Polri’. Suasana politik dalam negeri langsung memanas begitu Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahyo Kumolo mewacanakan nama Asisten Operasi (Asops) Kapolri Irjen Mochamad Iriawan menjadi penjabat Gubernur Jawa Barat dan Kepala Divisi Propam Polri Irjen Martuani Sormin menjadi penjabat Gubernur Sumatera Utara.
Pro dan kontra di masyarakat menggelinding bak bola liar. Sejumlah aksi penolakan pun dilakukan. Terbaru aksi ‘kartu kuning’ yang diacungkan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) Zaadit Taqwa kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), saat momen Dies Natalis yang digelar di Kampus UI.
Namun  Jokowi belum juga bergeming. Spekulasi soal netralitaspun berkembang setelah wacana tersebut bergulir. Kemunculan tudingan Dwifungsi Polri mengemuka dan banyak kalangan berspekulasi menganggap  Mendagri dan Presiden mengkhianati perjuangan reformasi yang menjatuhkan Orde Baru dengan hasilnya menghapuskan Dwifungsi ABRI semakin meliar.
Publik seakan tidak mau tahu, bahwa jauh sebelum rencana itu menggelinding dan menjadi bola liar seperti  sekarang ini, sebenarnya sudah ada dua jenderal TNI dan Polri yang menjadi penjabat gubernur. Pada Tahun 2016 lalu Irjen Pol Carlo Brix Tewu sebagai pejabat gubernur Sulawesi Barat dan Mayor Jendral TNI AD Sudarno sebagai Plt Gubernur Aceh.
Jauh sebelum itu, ada petinggi TNI-Polri yang mengisi kekosongan jabatan di daerah di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu pemerintah melantik jenderal aktif TNI menjadi Plt Gubernur pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2008.
Namun penunjukan kala itu tidak banyak  menimbulkkan polemik. Tahun politik saat ini rupanya mengubah semuanya. Namun demikian sistem demokrasi justru memberikan keterukuran, kejelasan dan kepastian serta bisa dipertanggungjawabkan dari sisi etika pemerintahan.  Sehingga selayaknya kritik publik yang mempertanyakan wacana rekruitmen Irjen Polisi jadi Pejabat Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara itu perlu diakomodasi.
Terlepas apakah Mendagri merasa memiliki yurispridensi politik terkait dengan hal itu, namun seharusnya Mendagri  berusaha mengabaikan yurisprudensi itu dengan mencermati kembali pada aturan hukum yang ada.
Bahwa dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada (UU Pilkada) Pasal 201 ayat (10) disebutkan bahwa posisi Penjabat Gubernur berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jabatan pimpinan tinggi madya ini merupakan Aparatur  Sipil Negara (ASN) yang berasal dari Kemendagri atau daerah yang bersangkutan.
Selanjutnya UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN menyebutkan dalam Pasal 1 angka 7 dan angka 8 bahwa jabatan pimpinan tinggi adalah sekelompok jabatan tinggi pada instansi pemerintah dan pejabat pimpinan tinggi adalah pegawai ASN yang menduduki jabatan pimpinan tinggi.
Jadi dengan posisi seperti itu sebenarnya anggota TNI-Polri yang boleh menduduki jabatan dalam ASN telah diatur pula dalam UU ASN  yang disebutkan dalam Pasal 20 ayat (1) Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN, Pasal 20 ayat (2) Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari, a. prajurit Tentara Nasional Indonesia dan b. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Namun sekali lagi, jabatan ASN yang dapat diisi oleh anggota Polri adalah sebatas jabatan ASN tertentu. Dijelaskan dalam Pasal 147 Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2017, Jabatan ASN tertentu di lingkungan instansi pusat tertentu dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri sesuai dengan kompetensi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan jabatan ASN tertentu yang dapat diisi oleh anggota Polri adalah hanya berada di instansi pusat.
Artinya Perwira Polri yang dapat menjadi Penjabat Gubernur harus terlebih dahulu telah menduduki jabatan pimpinan tinggi madya di instansi pusat, bukan jabatan ‘setingkat’ yang bisa diambil secara langsung dari Polri, karena jabatan ‘setingkat’ tidak dibolehkan oleh UU cq konstitusi.
Pertanyaannya saat ini, apakah perwira tinggi Polri yang sedang menduduki jabatan di Kepolisian itu tergolong jabatan pimpinan tinggi madya seperti yang diamanatkan UU? Jawabannya adalah tidak. Karenanya, jika wacana ini betul-betul dilaksanakan maka keputusan untuk pengangkatannya adalah inkonstitusional.
Penjabat Gubernur dari unsur kepolisian bertentangan dengan UU Pilkada dan konstitusi serta bisa  berdampak pada pudarnya netralitas Polri sebagai amanat dari reformasi. Sekali lagi wacana yang tidak berdasarkan hukum ini yang justru telah mencederai dan menerobos semangat reformasi.
Seharunyalah pemerintah  bisa menjaga independensi dan profesionalisme Polri dan jangan berusaha menarik Polri ke wilayah politik praktis. Apalagi hendak menciptakan “Dwifungsi Polri”?. Sebab upaya itu akan merusak citra Polri, membuat Polri tidak profesional dan akan menimbulkan kecemburuan TNI dimana “Dwifungsi  TNI/ABRI” sudah dihapuskan kala itu, sehingga jangan kembali memunculkan “Dwifungsi Polri”.
Mendagri harus segera membatalkan gagasannya tersebut. Mendagri harus paham bahwa tugas kedua jenderal polisi yang akan dijadikan Pejabat Gubernur itu sangat berat, terutama dalam mengamankan Pilkada serentak. Pemerintah harus memastikan netralitas Polri yang bertanggung jawab terhadap keamanan negara, memiliki netralitas dan  tidak ditarik ke dalam politik praktis oleh penguasa sipil.
Pertanyaan ikutan yang bisa saja dimunculkan adalah: Apakah wacana penugasan Polri ke dalam jabatan sipil tersebut nantinya bermuara pada peletakan posisi lembaga Polri dibawah Kemendagri? Hal ini perlu kajian lebih dalam dan tentu saja banyak regulasi yang perlu dibenahi.
* Dosen FH Untag Surabaya dan Pengurus Daerah Asosiasi Pengajar HTN-HAN Jatim

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry