Tampak (dari kiri) KH Abdul Hakim Mahfudz, Ibu Nyai Salahuddin Wahid, KH Salahuddin Wahid (GUs Solah), H Ahmad Zayadi, M Lutthfillah Habibi dan KH Abdul Halim Mahfudz Ketua Panitia Harlah 120 Tahun Pesantren Tebuireng. (FT/MKY)

JOMBANG | duta.co – Seminar Nasional dengan tajuk ‘Peran Pesantren dalam Mencerdaskan Bangsa’ yang digelar dalam rangka ‘120 Pesantren Tebuireng’, di Gedung KH Yusuf Hasyim Lt III, Jombang, Jumat (23/8/2019), menarik disimak.

Ratusan peserta yang datang dari berbagai pesantren di Pulau Jawa, tampak  serius, tercengan bahkan tak jarang memberikan standing applause kepada narasumber yang tampil blak-blakan. Begitu juga peserta, dengan leluasa menyampaikan kritiknya.

H Ahmad Zayadi, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, menyuguhkan berbagai macam peluang dan tantangan pesantren masa kini. Lelaki yang sempat ‘digoda’ peserta lantaran besarnya potongan bantuan ke pesantren ini, secara apik membeber posisi pesantren dalam makalahnya.

Menurut Zayadi, kini sudah terbentang lebar ‘pagung’ untuk para santri. Bahkan sekarang, dunia usaha merasa lebih nyaman mendekat ke wilayah riligi. “Kekuatan moral, akhlaq santri, keteladanan, kesahajaan serta profesionalisme membuat dunia usaha tertarik. Dunia usaha tak suka ribut. Dan bukan model santri kalau sedikit-sedikit demo,” demikian Zayadi disambut tepuk tangan peserta.

Masih menurut Zayadi, pemerintah — dalam hal ini Kemenag RI — serius untuk melindungi kemurnian pesantren. UU Pesantren yang sebentar lagi disosialisasikan, adalah bagian penting untuk memperkuat pesatren agar tetap dalam fungsinya. Bukan sekedar lembaga pendidikan, tetapi dakwah dan pemberdayaan umat.

Karenanya, tambahnya, ke depan, pondok pesantren harus terus gigih memberikan inovasi-inovasi baru untuk menjawab tantangan ke depan. Hari ini pesantren sudah berada di mainstream pendidikan nasional (dari pinggir bergerak ke tengah lapangan).  “Ini harus kita dorong (maju) terus. Jangan kalah dengan Rumah Makan Padang,” tegasnya.

Dalam analisanya, pesantren bukan saja sekedar menjadi lembaga pendidikan, tetapi sudah menjadi sub-kultur. Kekuatan pesantren terletak pada kepemimpinan dan kharismanya. Kuatnya dukungan masyarakat, sistem pembelajarannya 24 jam, memiliki kekuatan yang luar biasa soal hubungan guru dengan murid.

“Konsep full day school, boarding school itu, aslinya meniru pesantren,” jelasnya disambuk tepuk tangan.

Zayadi juga memberikan catatan tebal soal kelemahan pesantren. Misalnya, menejemen yang sentralistik, penataan administrasi yang lemah, delegasi kewenangan yang belum jelas, serta keterbatasan sarana.

Diakui, munculnya RUU Pesantren sempat dicurigai sebagai intervensi berlebihan dari pemerintah. “Padahal, itu justru sebagai jaminan penyelenggaraan pendidikan pesantren. Mengapa? Karena pesantren tengah menghadapi persaingan dengan satuan pendidikan nonformal lain. Dengan demikian fungsi pesatren sebagai sentral dakwah, pemberdayaan umat semakin kuat,” urainya.

Paparan H Ahmad Zayadi ini disampaikan setelah narasumber M Luthfillah Habibi dari PP Sidogiri yang tampil membedah kajian ayat 11 surat al-Mujadalah. Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Ikatan Alumni Santri (PP IASS) Sidogiri ini memberikan juga kritik internal yang tajam, termasuk kepada pemerintah sebagai regulator dana bantuan (Baca: Mengapa Sidogiri Menolak Bantuan (Syubhat) Pemerintah, Ini Rekomendasinya).

Hadir dalam seminar ini KH Halim Mahfudz, MA (Ketua Panitia Harlah ‘120 Tahun Pesantren Tebuireng’), KH Abdul Hakim Mahfudz (Wakil Pengasuh Pesantren Tebuireng), KH Salahuddin Wahid (Gus Solah) Pengasuh Pesantren Tebuireng, Prof Dr KH Nasihin Hasan, KH Suyuthi Thoha, Dr Mif Rohim dan ratusan perwakilan dari berbagai pondok pesantren di Pulau Jawa. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry