
SURABAYA | duta.co – Renita, sebut saja demikian. Ibu dua anak berusia 45 tahun itu selalu bergegas ke apotek di dekat rumahnya ketika anak gadisnya sebut saja Alia (17) mengaku sakit tenggorokan, tidak bisa menelan.
Renita membelikan obat antibiotik dengan merek tertentu. Harganya tidak mahal, karena generik, sekitar Rp 10 ribuan, sepuluh biji. Dan dengan obat itu, katanya, bisa mengatasi sakit tenggorokan anaknya. “Ya tidak harus ke dokter. Dimakan sampai habis, sakit anaknya bisa diatasi,” katanya.
Apa yang dilakukan Renita ini, hampir dilakukan sebagian besar masyarakat Indonesia. Cara mudah untuk bisa sembuh dari sakit dan juga murah, karena tidak harus ke dokter atau layanan kesehatan.
Namun penggunaan antibiotik yang sembarangan, tanpa resep dokter dan tanpa pemeriksaan dokter, tidaklah dibenarkan. Karena dikhawatirkan jika terus dilakukan akan terjadi resistensi terhadap bakteri. Bakteri akhirnya tidak bisa dimatikan dengan antibiotik yang dulu bisa dimatikan oleh antibiotik.
Mantan Ketua Komite Pengandalian Resistensi Antimikroba (KPRA), Kementerian Kesehatan, Dr dr Hari Paraton,SpOG(K) membenarkan bahwa resistensi terhadap bakteri atau mikroba itu sangat tinggi di Indonesia. Dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Pada 2017 angka AMR (Antimicrobial Resistance atau resistensi antimikroba ) di Indonesia sekitar 60 persen dan sekarang sudah mencapai 68 persen.
“Peningkatan inilah yang harus kita atasi karena dia memberi dampak yang negatif pada sistem pelayaran kesehatan, kualitas pelayanan kesehatan, biayanya menjadi membengkak kemudian pastinya sembuhpun pasien tidak sempurna lagi, akan ada kecacatan dan lain sebagainya sehingga produktivitas kerja juga menurun. Dampak dari hal ini memang luar biasa,” jelasnya.
Keterlibatan semua pihak penting untuk menekan angka AMR ini. Tak heran, Indonesia Health Observer (IHO) Jawa Timur sebagai mitra dari pemerintah merasa perlu untuk duduk bersama dengan organisasi profesi dan pemegang kepentingan agar masalah ini bisa diatasi.
Seperti dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Dinas Kesehatan, Fakultas Kedokteran dan sebagainya. Bahkan dari Kementerian Kesehatan juga turut hadir.
Ketua IHO Jatim, Prof Dr dr Budi Santoso, SpOG(K) mengatakan dengan duduk bersama ini bisa menghasilkan rumusan yang bisa menjadi rekomendasi untuk pemerintah agar bisa mengambil keputusan yang tepat.
Karena nanti dikhawatirkan kondisi resistensi itu terjadi sama seperti tahun sebelum antibiotik itu ditemukan. “Peran serta semua pihak itu penting sehingga benar-benar ini bisa berjalan dengan baik,” ungkap Prof Bus, panggilan akrab Prof Budi Santoso.
Surabaya Diharapkan jadi Percontohan
Salah satu provinsi di Indonesia yang berhasil menekan penggunaan antibiotik adalah Daerah Istimewa Yogyakarta. Di DIY itu bisa menekan penggunakan antibiotik terutama mulai dari puskesmas.
Sehingga IHO Jatim berharap, Jawa Timur bisa menyontoh DIY. Dan Pemprov Jatim melalui Dinas Kesehatan bisa menunjuk salah satu kabupaten atau kota untuk bisa menjadi percontohan atau pilot project.
Untuk itu, IHO meminta beberapa pihak untuk bisa mewujudkan hal itu. Karena sinergi berbagai pihak ini akan membuat suksesnya program ini.
Karena di Jatim sendiri sebenarnya sudah pernah memiliki program pengendalian itu. Pada 2015 lalu, Jatim sudah mempelopori gerakan SADAR (Sikap, Arif dan bijak Atasi Resistensi Antimikroba). Ini digaungkan setiap November.
Selain itu ada gerakan Jatim Semarak (Semangat Mengatasi Resistensi antimikroba). Namun semua itu tidak berkelanjutan dengan dilakukannya aksi. Karena dukungan semua pihak mutlak harus dilakukan.
“Di beberapa negara, itu berhasil menekan penggunaan antibiotik. Harusnya di Indonesia juga bisa berhasil,” tandas dr Hari Paraton.
Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Jawa Timur juga mendukung langkah itu. Dikatakan Ketua IAI Jatim, Adi Wibisono mengatakan saat ini ada 800 apoteker di Jatim yang menjadi agent of change untuk penggunaan obat secara benar. Itu tersebar di 38 kabupaten/kota. Mereka memberikan edukasi dan literasi tentang apa yang sudah menjadi komitmen bersama.
“Karena sebenarnya apotek itu tidak sepenuhnya milik seorang apoteker. Ada yang punya pemilik modal. Sehingga terkadang kebutuhannya memang bisnis. Itu tidak bisa dipungkiri. Tapi kami sebagai apoteker mendukung adanya regulasi penggunaan obat yang benar. Kalau tidak, tentunya harus ada punishment,” tuturnya.
Selain itu dukungan rumah sakit juga penting dilakukan. RSU dr Soetomo sebagai pusat rujukan pasien di Indonesia Timur sangat ketat menerapkan pemakaian antibiotik.
Dr Hari Paraton menyebut, angka AMR (antimikroba resisten) di bawah angka nasional. “Ya antara 30 – 35 persen. Kenapa begitu, karena Soetomo itu menangani pasien rujukan. Dari darahnya sudah resisten, sehingga harus menangani pasien yang sudah resisten itu,” tukasnya.
Salah satu rumah sakit di Surabaya yang sudah mulai bisa menekan pemakaian antibiotik adalah RSAL Dr Ramelan.
Diakui Ketua Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) RSAL Dr Ramelan, Dr dr Wayan Suryajaya, SpAn KiC mengatakan RSAL selama setahun terakhir ini menerapkan penggunaan antibiotik dengan sistem rotasi setiap tiga bulan.
Selama tiga bulan itu, pasien yang masuk pertama kali ke RSAL akan diberikan jenis antibiotik yang sama walau penyakit yang diderita berbeda.
Dari satu jenis itu, selama tiga hari pemberian akan dilakukan pemantauan pada pasien. Apakah kondisinya membaik atau tidak. Kalau membaik akan dilanjutkan pemberian antibiotik yang sala. selama tujuh hari, kalau tidak membaik maka akan diganti dengan jenis lain.
“Nanti kalau sudah tiga bulan, jenis antibiotik itu akan diganti yang lain dengan kekuatan yang hampir sama,” tukasnya.
Dari program satu tahun yang sudah dijalankan RSAL kata dr Wayan sudah bisa menekan penekan penggunakan antibiotik hingga satu persen.
“Jangan di lihat angka satu persen.satu persen itu sangat bermakna. Karena itu progres dari sebuah kerja nyata kami. Makanya kami akan evaluasi lagi hingga angkanya bisa terus meningkat penurunannya,” jelasnya.
Karena keberhasilan yang dilakukan RSAL ini, IHO Jatim berharap nantinya dr Wayan dan timnya bisa memberikan contoh dan menularkan program itu pada rumah sakit lain, minimal ke rumah sakit milik TNI. Namun ke depan bisa meluas hingga ke rumah sakit lainnya. end