
“Pemulihan ini menuntut keberanian kepemimpinan untuk menurunkan ego, membuka diri pada kritik, dan mengakui bahwa kekuatan NU tidak terletak pada kecakapan bermanuver, melainkan kearifan kolektif para kiai.”
Oleh Suhermanto Ja’far, Dosen Magister Filsafat Digital UIN Sunan Ampel Surabaya
DUALISME kepemimpinan yang kini mencuat di tubuh NU—antara Ketua Umum PBNU hasil mandat sah Muktamar Lampung dan figur yang kerap diplesetkan publik sebagai “Ketua Umum PBNUh”—bukanlah sekadar konflik administratif atau perbedaan tafsir organisasi. Ia adalah krisis otoritas yang telanjang, lahir dari keputusan pemakzulan sepihak terhadap Ketum PBNU dan penunjukan PJ Ketua Umum baru melalui keputusan Rais Aam. Apalagi Rapat Pleno kubu Sultan memutuskan Prof Moh. Nuh jadi Katib Syuriyah, makin menguatkan plesetan PBNUh tersebut.
Keputusan ini segera memecah organisasi ke dalam dua kubu legitimasi: satu bersandar pada mandat muktamar, yang lain bertumpu pada otoritas struktural Rais Aam. Dualisme ini menimbulkan kebingungan, merusak konsolidasi jam’iyah, dan membuka ruang spekulasi publik tentang siapa sesungguhnya yang mengendalikan arah PBNU. Langkah yang diambil Rais Aam ini, secara langsung merobek prinsip dasar jam’iyah: bahwa mandat tertinggi organisasi berada di tangan muktamar, bukan pada kehendak personal atau manuver elite struktural.
Keputusan tersebut segera memecah NU ke dalam dua kubu legitimasi yang saling bertabrakan. Di satu sisi berdiri kepemimpinan yang berakar pada mandat muktamar sebagai ekspresi kedaulatan warga NU. Di sisi lain muncul kepemimpinan baru yang bertumpu pada otoritas struktural Rais Aam, tanpa melalui mekanisme kolektif yang sah. Dualisme ini bukan hanya membingungkan warga, tetapi menghancurkan konsolidasi jam’iyah, melumpuhkan kerja organisasi, dan menggerus kepercayaan publik terhadap NU sebagai institusi ulama yang selama ini dikenal tertib, beradab, dan menjunjung tinggi musyawarah.
Lebih serius lagi, dualisme ini membuka pertanyaan mendasar yang tak bisa lagi dihindari: siapa sebenarnya yang mengendalikan arah PBNU? Ketika keputusan strategis sebesar pemakzulan Ketum dapat diambil tanpa mendengar suara kiai sepuh, mustasyar, dan mandat muktamar, maka jelas ada krisis kepemimpinan yang bersifat struktural dan moral. Otoritas Rais Aam yang seharusnya bersifat penuntun dan pengayom berubah menjadi kekuasaan yang menentukan segalanya, tanpa rem etik dan tanpa koreksi kolektif. Inilah titik di mana PBNU tidak lagi berjalan sebagai jam’iyah ulama, melainkan sebagai organisasi yang digerakkan oleh kehendak segelintir elite.
Jika dualisme ini terus dibiarkan, NU sedang berjalan menuju preseden paling berbahaya dalam sejarahnya: muktamar bisa dikalahkan oleh keputusan elit, mandat warga bisa dibatalkan oleh otoritas segelintir orang, dan kepemimpinan kolektif bisa digantikan oleh logika kekuasaan sepihak. Ini bukan hanya soal siapa Ketua Umum, tetapi soal masa depan NU itu sendiri—apakah ia tetap menjadi organisasi ulama yang berdaulat secara moral, atau berubah menjadi institusi yang mudah dibelokkan oleh kekuasaan dan kepentingan jangka pendek.
Yang membuat situasi ini semakin problematik adalah dinamika pasca keputusan yang justru memperjelas krisis otoritas di tubuh PBNU. Dalam berbagai pernyataan publik dan wawancara media, figur yang paling dominan menjelaskan arah, agenda, dan masa depan PBNU bukanlah PJ Ketua Umum yang baru ditunjuk, apalagi Rais Aam sebagai pemegang otoritas tertinggi syuriyah, melainkan Mohammad Nuh. Ini membuat publik semakin bingung. Pola komunikasi ini menimbulkan kesan kuat bahwa kepemimpinan formal hanya berfungsi sebagai etalase, sementara pusat kendali substantif berada di tangan aktor non-struktural yang aktif mengatur narasi dan strategi dari belakang layar.
Fakta bahwa Mohammad Nuh tampil sebagai juru bicara utama arah PBNU pasca keputusan memunculkan persepsi luas di kalangan warga NU bahwa proses pengambilan keputusan telah mengalami pergeseran serius. Otoritas organisasi tidak lagi mengalir melalui mekanisme jam’iyah—musyawarah ulama, syuriyah, dan mandat muktamar—melainkan melalui figur personal yang tidak memiliki legitimasi struktural maupun keulamaan.
Situasi ini menjadi semakin berbahaya karena memperlihatkan NU sedang dipimpin oleh bayang-bayang kekuasaan, bukan oleh struktur yang sah. Ketika figur di luar kepengurusan formal tampil sebagai play maker, maka PJ Ketua Umum kehilangan otoritas simboliknya, Rais Aam kehilangan fungsi pengayomannya, dan para kiai sepuh sepenuhnya tersingkir dari ruang penentu arah. PBNU pun bergerak bukan sebagai jam’iyah ulama, melainkan sebagai organisasi yang dikendalikan oleh elite teknokrat-politik yang piawai mengelola wacana, tetapi miskin legitimasi moral.
Jika pola ini terus dibiarkan, NU sedang menghadapi degradasi kepemimpinan yang serius: dari kepemimpinan berbasis hikmah ke kepemimpinan berbasis manajemen kuasa. Yang dipertaruhkan bukan sekadar citra organisasi, tetapi ruh NU itu sendiri. Sebab NU tidak pernah dibangun untuk dikendalikan oleh figur bayangan, sekuat apa pun jejaring dan pengaruhnya. NU dibangun oleh para kiai, dijaga oleh adab keulamaan, dan diselamatkan oleh kejernihan musyawarah—bukan oleh aktor di balik layar yang mengatur arah tanpa mandat jam’iyah.
Simbol Krisis Kedaulatan Jamiyah
Dalam konteks ini, istilah “PBNUh” yang disematkan nahdliyin, bukan sekadar plesetan satiris, melainkan simbol dari krisis kedaulatan jam’iyah yang sedang berlangsung di tubuh NU. Ia menandai pergeseran serius dari kepemimpinan berbasis mandat kolektif menuju kepemimpinan bayangan yang bekerja di luar struktur formal. Ketika arah organisasi lebih sering dijelaskan oleh figur yang mempunyai agenda kepentingan politik dan ekonomis, dibandingkan, maka yang terjadi sesungguhnya adalah pengosongan makna kedaulatan jam’iyah. PBNUh menjadi metafora bahwa NU tidak lagi sepenuhnya digerakkan oleh mekanisme internalnya sendiri, melainkan oleh aktor-aktor yang memiliki akses, pengaruh, dan kepentingan di luar tradisi keulamaan.
Krisis ini berbahaya karena menyentuh jantung tata kelola NU: siapa yang berhak menentukan arah organisasi. Dalam tradisi NU, kedaulatan jam’iyah bertumpu pada musyawarah ulama, mandat muktamar, dan kolegialitas syuriyah–tanfidziyah. Ketika mekanisme ini dilewati, dikooptasi, atau disubstitusi oleh figur personal yang berperan sebagai pengarah informal, maka NU kehilangan prinsip dasarnya sebagai organisasi ulama. Kepemimpinan tidak lagi lahir dari proses deliberatif, tetapi dari relasi kuasa yang tidak transparan dan tidak akuntabel kepada warga NU.
Lebih jauh, PBNUh mencerminkan normalisasi kepemimpinan bayangan dalam organisasi keagamaan. Rais Aam tampak tereduksi menjadi simbol, PJ Ketua Umum kehilangan otoritas substantif, sementara pengendali di balik layar tampil menentukan narasi dan keputusan. Dalam situasi seperti ini, kesan kuat, para kiai sepuh, mustasyar, dan pengasuh pesantren bukan hanya disisihkan, tetapi secara struktural dipinggirkan dari ruang pengambilan keputusan. Ini adalah bentuk delegitimasi keulamaan yang sangat serius, karena NU justru dibangun di atas otoritas moral para kiai, bukan pada kecakapan teknokratis atau jejaring kekuasaan.
Jika isu PBNUh dibiarkan menjadi praktik yang diterima, maka NU sedang menciptakan preseden berbahaya bagi masa depannya sendiri. Jam’iyah akan kehilangan kedaulatan, muktamar akan kehilangan makna, dan kepemimpinan ulama akan digantikan oleh logika pengendalian dari balik layar. NU akan tetap besar secara massa, tetapi rapuh secara moral dan organisatoris. Pada titik inilah, kritik terhadap PBNUh bukan soal personal atau figur, melainkan soal menyelamatkan kedaulatan jam’iyah agar NU tetap menjadi rumah ulama, bukan sekadar panggung kekuasaan yang dikendalikan oleh tangan-tangan tak terlihat.
Dalam pembacaan yang lebih struktural, situasi ini tidak bisa dilepaskan dari jejaring patronase politik dan ekonomi yang mengitari elite PBNU. Figur seperti Prof Mohammad Nuh kerap dipersepsikan berperan sebagai penghubung antara kepemimpinan Rais Aam dan kepentingan eksternal, termasuk aktor-aktor ekonomi besar seperti Chairul Tanjung. Dalam kerangka patronase, relasi semacam ini bukanlah hubungan individual belaka, melainkan jaringan kepentingan yang saling menopang: akses politik, stabilitas organisasi, dan legitimasi moral NU (kesannya) ditukarkan dengan dukungan ekonomi, jejaring kekuasaan, serta perlindungan simbolik. Ketika relasi ini menguat, batas antara kepentingan jam’iyah dan agenda eksternal menjadi kabur.
Masalahnya bukan pada keberadaan relasi itu sendiri—karena organisasi besar tak mungkin steril dari dunia politik dan ekonomi—melainkan pada dominasi relasi tersebut atas mekanisme keulamaan. Ketika jaringan patronase menjadi penentu utama arah kebijakan, maka musyawarah ulama tereduksi menjadi formalitas. Keputusan strategis tidak lagi lahir dari bahtsul masail atau syura yang jujur, tetapi dari kalkulasi elite yang mempertimbangkan dampak politik dan ekonomi di luar kepentingan umat. Pada titik ini, NU berisiko kehilangan otonomi moralnya, karena nilai-nilai keulamaan tunduk pada logika kuasa.
Dominasi patronase juga menjelaskan mengapa suara kiai sepuh dan pesantren kerap terpinggirkan. Dalam logika jaringan kepentingan, suara yang tidak kompatibel dengan peta kekuasaan akan dipersempit ruangnya, disaring informasinya, atau diabaikan sama sekali. Akibatnya, PBNU bergerak dalam orbit sempit yang dikendalikan oleh segelintir aktor dengan akses dan pengaruh, sementara basis keulamaan yang luas justru tersisih dari proses pengambilan keputusan. Ini adalah pembalikan struktur NU: dari jam’iyah ulama menjadi organisasi yang dikelola dengan nalar patron–klien.
Jika pola ini terus berlanjut, NU menghadapi bahaya laten yang serius: menjadi besar secara institusional, tetapi rapuh secara etis. Legitimasi moral yang selama ini membuat NU dihormati lintas rezim dan generasi akan terkikis, karena publik melihat keputusan organisasi lebih mencerminkan kepentingan elite daripada aspirasi ulama. Mengoreksi situasi ini menuntut keberanian struktural: membatasi dominasi patronase, memulihkan musyawarah ulama sebagai sumber keputusan, dan mengembalikan kedaulatan jam’iyah ke tangan para kiai—bukan ke jaringan kepentingan yang bekerja di balik layar.
Nah, dualisme PBNU dan PBNUh (yang sering dipakai warganet) pada akhirnya menyingkap persoalan yang jauh lebih mendasar daripada sekadar konflik figur atau perebutan posisi. Ia adalah krisis keulamaan dalam tata kelola organisasi. Ketika Rais Aam dipersepsikan mudah disetir oleh lingkaran sempit, PJ Ketua Umum kehilangan otonomi simbolik untuk memimpin secara bermartabat, dan para kiai sepuh tersingkir dari ruang penentu arah, maka NU berada di ambang perubahan identitas. Jam’iyah yang lahir dari tradisi keilmuan pesantren terancam berubah menjadi organisasi yang digerakkan oleh aktor agen patronase politik dan ekonomi dengan logika kekuasaan, bukan oleh hikmah ulama.
Krisis ini berbahaya karena merusak hierarki moral yang selama ini menjadi kekuatan NU. Dalam struktur keulamaan, kiai sepuh bukan sekadar penasehat, melainkan penjaga keseimbangan etik yang memastikan setiap keputusan tidak melenceng dari nilai maslahat. Ketika peran ini dipinggirkan, keputusan organisasi akan kehilangan kedalaman moral dan mudah terombang-ambing oleh kepentingan jangka pendek. Akibatnya, NU berisiko besar kehilangan kepercayaan warga—bukan karena perbedaan pendapat, melainkan karena runtuhnya adab dan kolegialitas yang selama ini menjadi ciri khasnya.
Karena itu, keluar dari krisis ini tidak cukup dengan rekonsiliasi elite atau penataan ulang jabatan. Yang dibutuhkan adalah keberanian struktural untuk mengembalikan otoritas moral kepada para kiai dan menghidupkan kembali mekanisme kolektif jam’iyah: musyawarah yang jujur, syura yang inklusif, dan penghormatan terhadap mandat muktamar. Kepemimpinan NU harus kembali bertumpu pada proses deliberatif yang transparan, bukan pada figur pengendali di balik layar—sekuat apa pun jejaring politik dan ekonominya.
Pemulihan NU mensyaratkan satu hal utama: pengakuan bahwa kekuatan organisasi ini terletak pada kearifan para kiai, bukan pada kecakapan mengelola kuasa. Ketika kepemimpinan berani menundukkan ego, membatasi dominasi patronase, dan membuka kembali ruang bagi suara kiai sepuh, NU akan menemukan jalannya kembali sebagai jam’iyah ulama yang berdaulat secara moral. Tanpa langkah ini, dualisme PBNU–PBNUh akan terus menjadi simbol rapuhnya kedaulatan jam’iyah—dan peringatan keras tentang masa depan NU yang dipertaruhkan.
Perumusan agenda pemulihan
Pemulihan PBNU hanya mungkin dilakukan melalui agenda korektif yang menyentuh akar persoalan, bukan sekadar merapikan permukaan konflik. Langkah pertama yang mutlak dilakukan adalah restorasi syura sebagai jantung kepemimpinan jam’iyah. Musyawarah ulama tidak boleh direduksi menjadi formalitas struktural atau legitimasi keputusan yang sudah ditentukan sebelumnya. Syura harus dikembalikan sebagai ruang deliberatif yang hidup, terbuka, dan berani menampung perbedaan pandangan para kiai sepuh, mustasyar, dan pengasuh pesantren. Tanpa syura yang otentik, kepemimpinan NU akan terus kehilangan orientasi moral dan terjebak dalam kehendak segelintir elite.
Agenda kedua adalah transparansi informasi dalam tata kelola organisasi. Krisis yang melanda PBNU menunjukkan betapa berbahayanya kepemimpinan yang diputuskan berdasarkan informasi yang disaring, dipoles, atau dimanipulasi oleh lingkaran kepentingan. Rais Aam dan struktur pimpinan harus memiliki akses langsung pada laporan yang jujur tentang kondisi jam’iyah di daerah, kegelisahan warga, serta kritik internal. Tanpa transparansi, keputusan strategis akan selalu berangkat dari ilusi, bukan realitas. NU tidak bisa dipimpin dengan narasi “semua baik-baik saja” ketika kenyataan menunjukkan sebaliknya.
Yang paling krusial adalah pembatasan patronase politik dan ekonomi dalam struktur PBNU. Relasi dengan dunia politik dan ekonomi tidak bisa dihindari, tetapi harus ditempatkan secara proporsional dan terkendali. Patronase tidak boleh menjadi penentu arah kebijakan, apalagi mengendalikan akses terhadap pemimpin dan informasi. NU harus berani menarik garis tegas antara kepentingan jam’iyah dan agenda eksternal. Tanpa pembatasan ini, NU akan terus disandera oleh jaringan kekuasaan yang menjauhkan organisasi dari mandat moralnya.
Restorasi syura, transparansi informasi, dan pembatasan patronase bukanlah agenda teknokratis semata, melainkan ikhtiar etis untuk mengembalikan NU kepada jati dirinya sebagai jam’iyah ulama. Pemulihan ini menuntut keberanian kepemimpinan untuk menurunkan ego, membuka diri pada kritik, dan mengakui bahwa kekuatan NU tidak terletak pada kecakapan bermanuver, melainkan pada kearifan kolektif para kiai. Jika agenda ini dijalankan dengan sungguh-sungguh, NU tidak hanya keluar dari krisis, tetapi akan kembali berdiri tegak sebagai penjaga moral bangsa—mandiri, berdaulat, dan berakar kuat pada tradisi keulamaan.(*)






































