“Kita tunggu saja sikap Istana saat merilis hasil pertemuan Prabowo dengan Jokowi dan SBY, sepulang dari Merauke. Akankah menyinggung soal ‘bola liar’ Lembong tersebut?”
Oleh M Sholeh Basyari*
KEJAKSAAN Agung didesak nitizen, politisi serta kalangan civil society untuk mempresentasikan dasar hukum dan reasoning pengambilan Lembong, pemilik nama Thomas Trikasih Lembong atau dikenal dengan nama Tom Lembong.
Sejauh ini, Kejagung dinilai ‘berhasil’ menghadirkan data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang kebijakan importasi gula tahun 2015-2016. Tapi, menariknya, BPK menolak bahwa data itu dari institusi berlambang Tri Dharma Arthasanthosa itu.
Parahnya, Kejagung juga gagal menemukan kerugian faktual (factual lose) Lembong. Karena kerugian yang ada sifatnya adalah potential lose. Benarkah Lembong tidak bersalah? Benarkah penahannya karena “order“? Dua pertanyaan itu terus menggelinding di lantai publik.
Dua ‘Kesalahan’ Lembong?
Sebagai semacam country manager telik sandi, Lembong bisa jadi ‘bersalah’ ketika dia menerima penunjukkan Jokowi sebagai Menteri Perdagangan (2015-2016). Masa dinas Lembong persis hanya satu tahun, atau tepatnya mulai 12 Agustus 2015 sampai dengan 27 Juli 2016. Lembong adalah menteri perdagangan ke 30 sepanjang republik ini berdiri.
Sementara ‘kesalahan kedua’ Lembong adalah bersedia menjadi co-captain pencalonan Anies Baswedan sebagai Capres. Disebut kesalahan, sebab Lembong gagal memenangkan Anies. Ini adalah satu-satunya kegagalan operasi Amerika di Indonesia sejak tahun 1965. Andai saja menang, tidak seperti itu nasib Lembong.
Lembong Pemain Shadow?
Sebagai telik sandi, apalagi sekelas country manager, cover area Lembong idealnya shadow power, kekuasaan bayangan. Justru dengan posisi sebagai shadow power, Lembong bisa powerful, tidak tersentuh dan sulit ditemukan jejaknya.
Sebaliknya, ketika Lembong berada pada struktur kekuasaan, peran, jejak dan kesalahan Lembong mudah di-track. Baik kesalahan-kesalahan sewaktu berada di shadow dan lebih-lebih saat mengisi struktur kekuasaan.
Shadow power yang bekerja di wilayah operasi tertentu, beda karakter dengan kegiatan dan agenda struktur kekuasaan yang bersifat programatik. Operasi-operasi telik sandi umumnya “tanpa SOP”. Telik sandi hanya mengenal operasi berhasil atau gagal.
Sementara struktur kekuasaan cara kerjanya secara hierarkis diatur oleh UU, peraturan hingga juklak juknis. Serangkaian perangkat kerja ini, tampaknya kurang familier, tidak dimiliki apalagi digunakan oleh Lembong sebagai telik sandi. Kenapa? Karena sifat kerja-kerja telik sandi yang senyap, cepat dan “mematikan”. Ini yang tidak terbaca..
Antara Struktur dan Shadow Power
Sebagai Mendag, posisi Lembong dalam importasi gula yang disoal Kejagung, sangat sentral. Benar bahwa impor era Lembong nilainya ‘sedikit’. Tetapi dengan melihat daya tahan gula yang hingga sepuluh tahun, dan dengan posisi Lembong yang hanya satu tahun sebagai Mendag, setelah itu ‘kembali’ ke habitat aslinya sebagai shadow power (telik sandi), maka, kabarnya dia terus bermain gula. Informasinya Lembong terus mendatangkan gula dari Thailand dan Vietnam setelah dia lengser. Ini yang akan menjadi bola liar.
Pola ini ‘aman’ dengan sejumlah strategi dan trick. Gula-gula itu dikirim ke Indonesia tidak melalui pelabuhan-pelabuhan utama seperti Priok Belawan atau Perak. Gula-gula itu di-delivery ke pelabuhan-pelabuhan tikus sepanjang garis pantai yang kita punya.
Di saat lain, gula-gula itu secara bergelombang di pindah ke gudang-gudang milik induk koperasi korp berseragam seperti Pramuka, maupun lini usaha korp berseragam mirip Banser.
Nah? Kenapa Lembong disebut “Menghancurkan” Program Tebu untuk Bioetanol? Ini juga menarik dicermati. ‘Operasi’ yang dilakukan Lembong secara invisible hand terkait gula, menyebabkan kerugian nyata (factual lose). Kerugian itu terkonfirmasi oleh menurunnya produksi gula kita akibat banjirnya gula impor.
Ketika mesin-mesin giling gula kita tidak terpakai maksimal di musim giling, otomatis limbah tebu sebagai bahan baku bioetanol, tidak tersedia.
Mata rantai tebu-mesin giling-limbah tebu dan produk turunan tebu, tidak beroperasi secara linier, ini menjadi pertanyaan serius. Minimnya limbah tebu akibat rendahnya aktivitas pabrik gula, mengakibatkan proyek bioetanol berbahan limbah tebu, gagal.
Jadi Bola Liar
Publik sekarang menunggu ‘closing statement’ Kejagung tentang Lembong. Apakah ‘bola liar’ Lembong ini tetap dipelihara di bidak catur politik kita? Jika ini pilihannya, besar kemungkinan Sang Paman akan “mengusik’ atau bahkan memanggil kembali (me-recall) kolega Lembong, yang saat ini pemegang kas negara. Jika ini terjadi, turbulensi bisa menerpa Kabinet Merah Putih.
Rasanya, kita tunggu sikap Istana saat merilis hasil pertemuan Prabowo dengan Jokowi dan SBY, sepulang dari Merauke. Mungkinkan bicara ‘bola liar’ Lembong tersebut? Waallahu’alam.
M Sholeh Basyari adalah Doktor Hukum HAM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Aktivis NU dan Direktur Ekskutif CSIIS, Jakarta.