“Kasus ini adalah alarm keras: kebijakan publik itu bukan sekadar angka dan tanda tangan, tapi soal rasa keadilan dan logika rakyat.”

Catatan Cak AT*

DI Pati, hingga 13 Agustus 2025, ribuan warga masih tumpah ruah di jalanan. Spanduk terbentang, toa meraung, lempar batu ke arah percok, sebutan untuk polisi, membabi-buta. Bendera putih bertuliskan Aliansi Santri berkibar di atas mobil bak terbuka.

Kali ini, muncullah seorang pria bersarung ungu, berkemeja putih, peci hitam, membaca lantang sebuah surat “pengunduran diri” Bupati Pati, H. Sudewo. Adegan itu direkam, disebar, dan boom — headline pun lahir: “Bupati Pati Mundur!”

Problemnya, itu cuma _plot twist_. Orang yang orasi dengan suara bariton itu bukan Sudewo. Namanya Cak Ulil, wakil dari Aliansi Santri. Suratnya pun tidak bertanda tangan bupati, apalagi bermaterai. Jelas ini tak bisa dianggap mundur resmi. Tak sah secara hukum.

Seandainya pun Sudewo benar-benar ingin mundur, mekanismenya tidak semudah berdiri di atas mobil pick-up, baca teks, lalu pulang dan mengunci ruang kerja. Dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dirinci mekanisme pengunduran bupati.

Pengunduran diri resmi itu mesti diajukan sang bupati ke pihak DPRD dan disetujui Mendagri. Pemberhentian juga mesti beralasan, misalnya karena pelanggaran hukum, ada proses pemakzulan lewat hak angket, atau putusan pengadilan.

Ihwal pemakzulan bupati, yang diusulkan oleh Partai Gerindra yang jadi wadah politik Sudewo, mekanismenya diatur dalam UU yang sama. Prosesnya dimulai dari hak angket DPRD, yang akan mencari pelanggaran berat — seperti melanggar sumpah jabatan, melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman minimal lima tahun, atau kebijakan yang merugikan daerah secara signifikan.

Kalau pihak DPRD menemukan pelanggaran berat tadi, mereka pun dapat merekomendasikan pemberhentian kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Presiden kemudian memutuskan pemberhentian tersebut. Tanpa mekanisme ini, bupati tidak bisa dicopot hanya karena tekanan massa, meski unjuk rasa sebesar apa pun.

Tidak ada pasal yang berbunyi: “Bupati dapat berhenti apabila dibacakan suratnya oleh orang lain di depan massa.” Jadi meski warga sudah mengarak “pernyataan mundur” versi Cak Ulil, secara hukum Sudewo masih duduk manis di kursinya. Wakilnya tidak otomatis naik jabatan, kecuali mekanisme resmi selesai.

Inti masalah pemicu demo memang serius, dan bukan cuma pajak, tapi cara bupati menaikkan pajak. Dia membuat kebijakan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 250 persen. Angka yang bikin warga terbelalak — bukan seperti “kenaikan inflasi wajar”, tapi lebih mirip “harga tiket konser internasional” dibanding harga hajatan desa.

Memang, seperti di pusat, pajak daerah bisa dinaikkan. Tapi bupati tidak berhak asal menaikkan seenaknya. Ada prosedur: pembahasan bersama DPRD, pertimbangan dampak ekonomi, dan sosialisasi. Kenaikan PBB 250 persen, dalam logika publik, bukan kebijakan —itu penamparan, itu perampokan.

Sudewo memang akhirnya membatalkan kebijakan ini setelah protes meledak. Tapi amarah sudah jadi bara. Warga merasa ini bukan sekadar soal angka pajak, melainkan simbol arogansi kekuasaan: menaikkan tarif seperti menekan tombol “upgrade” di game tanpa memikirkan pemain yang masih level satu.

Yang menarik, demonstrasi ini sudah menelan korban di kedua pihak: pendemo dan aparat. Dan meski ada “pengumuman mundur” versi panggung rakyat, massa tidak bubar. Justru mereka semakin yakin bahwa ini bukan hanya soal pajak, tapi tentang hubungan retak antara rakyat dan penguasanya.

Ada yang menyabut ini “Reformasi ala Pati”. Mungkin terdengar hiperbolis, tapi polanya sama: Ada kebijakan yang memicu amarah. Ada orasi dramatis. Ada tuntutan mundur. Ada keraguan publik terhadap proses politik resmi. Bedanya, kalau Reformasi 1998 berujung pada lengsernya Soeharto, drama Pati ini masih gantung.

Kalau bupati dan DPRD mau belajar, kasus ini adalah alarm keras: kebijakan publik itu bukan sekadar angka dan tanda tangan, tapi soal rasa keadilan dan logika rakyat.

Menaikkan pajak bisa, tapi harus jelas tujuannya, transparan penggunaannya, dan disosialisasikan sebelum ketok palu.
Di sisi lain, publik juga perlu paham bahwa perubahan pemimpin harus lewat jalur hukum yang sah, bukan sekadar lewat viral video.

Walhasil, mungkin Pati sedang memberi pelajaran kepada kita semua: politik itu memang sering seperti panggung. Ada aktor utama, figuran, naskah, dan penonton. Tapi di Pati, penontonnya bosan, naik ke panggung, rebut mikrofon, lalu menulis adegannya sendiri.

Bedanya, kali ini penonton belum berhasil mengganti aktor, tapi sudah membuat seluruh negeri menoleh dan bertanya: “Jadi, ini mundur beneran atau cuma latihan?” Setelah cek fakta, dengan hati kecewa mereka berkata, “wah ini cuma drama dunia.”

*Cak AT adalah Ahmadie Thaha. Pengasuh
Ma’had Tadabbur al-Qur’an.

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry