Sekretaris MUI Jatim, Ustadz Ainul Yaqin (dua dari kiri). (FT/IST)

SURABAYA | duta.co – Warganet sedang sibuk membahas sikap Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur (MUI Jatim) yang mengkritisi hasil penelitian lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) yang menyatakan bahwa 41 dari 100 masjid milik pemerintah/BUMN di DKI Jakarta, terindikasi radikalisme. Ada yang menyebut, MUI Jatim tidak gaul. “Ini penelitian di Masjid Jakarta, kenapa loe Jatim yang ribut?,” demikian salah satu komentar di media sosial.

Sekretaris MUI Jatim, Ustadz Ainul Yaqin, SSi, MSi, Apt menjelaskan, bahwa, hasil penelitian P3M yang tendensius itu, direlease secara nasional, dampaknya tidak hanya di Jakarta. Efek tulisan itu ke mana-mana, padahal, penelitian ini jelas-jelas tendensius dan diskriminatif, karena hanya diorientasikan kepada rumah ibadah dan kegiatan umat Islam.

“Itu dugaan yang terlalu premature untuk dirilis, sehingga yang terjadi bukan menyelesaikan masalah, sebaliknya, malah memicu masalah baru. Terbukti telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat,” tegas Ustadz Ainul Yaqin, kepada duta.co, Jumat (20/7/2018).

Masih menurut Ainul Yaqin, ironisnya, mereka yang gembar-gembor soal perbedaan, yang selalu bilang pro-kontra itu biasa, tiba-tiba menjadi ‘marah’ ketika membaca sikap MUI Jatim. Belum lagi mereka sendiri yang menyebut penelitian yang dilakukan hanyalah warning, indikatif. Mereka lupa, bahwa, yang disebut hasil penelitian, ini bisa menjadi kesimpulan, dianggap benar.

“Jadi, ini memang harus dikritisi. Apalagi mereka mengaku biasa berbeda, biasa menyaksikan pro kontra. Kalau begitu, ngapain ribut ketika MUI Jatim bersikap. Kalau sekarang mereka ribut soal sikap MUI Jatim, ini juga masalah,” tambahnya.

Seperti diberitakan, MUI Jatim telah mengkritisi hasil penelitian lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) yang menyatakan bahwa 41 dari 100 masjid milik pemerintah/BUMN di Jakarta terindikasi radikalisme. MUI Jatim menyatakan, hasil survei tersebut terlalu premature untuk dirilis, sehingga yang terjadi bukan menyelesaikan masalah, tetapi malah memicu masalah baru.

Survei P3M tersebut, menurut MUI Jatim, secara akademik dipertanyakan karena metode pengambilan datanya tidak mencukupi. Data yang dipetik terlalu sedikit sehinggga tidak cukup untuk generalisasi, hanya mengambil sampel dari materi khutbah Jumat selama empat kali. “Padahal, kegiatan di masjid yang lain sangat amat banyak,” jelas Ainul Yaqin.

Memperkeruh Suasana

Selain itu, MUI Jatim menilai, penetapan kriteria dan batasan tentang radikalisme dalam penelitian itu sangat bias. Cara seperti ini hanya akan memunculkan stigmatisasi dan kecurigaan pada kelompok/golongan tertentu, sehingga kontra produktif dalam upaya membangun ukhuwah Islamiyah. Memperkeruh suasana.

Semestinya, ukhuwah Islamiyah yang perlu dipupuk karena hal ini menjadi salah satu sendi dasar dalam memperkokoh kesatuan bangsa. Sibuk membangun kerukunan, bukan sibuk menstigma buruk orang lain.

“Inilah yang kita sebut penelitian tendensius dan diskriminatif. Bukan menyelesaikan masalah, malah menambah masalah. Justru menimbulkan kekecewaan bagi umat Islam yang jika tidak terkendali akan memicu permasalahan lain seperti adanya reaksi yang tidak diinginkan,” pungkasnya.

Wakapolri Komjen Syafruddin, yang juga Wakil Ketua Dewan Masjid Indonesia, pun merasa perlu meluruskan. Ia meminta kepada siapa pun tidak menuduh ada masjid yang terpapar radikalisme. Sebab, masjid itu suci. “Masjid itu benda tempat suci, tidak mungkin radikal itu. Kalau toh ada radikal, pasti orang, pasti bukan masjid. Makanya hati-hati, jangan sampai dilaknat oleh Allah, menuduh-nuduh masjid radikal,” tegas Syafruddin kepada wartawan.  (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry