JOMBANG | duta.co – Buku ‘Aswaja An-Nahdliyah’, Ajaran Ahlussunnah wa-al-jamaah yang berlaku di lingkungan Nahdlatul Ulama versi PDF (portable document format), terbitan Tim PWNU (Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama) Jawa Timur yang, menyamakan Jamaah Tabligh dengan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) serta MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), dinilai tidak benar.
“Penyamaan itu tidak benar. Mungkin mereka hanya melihat sebagian kecil, ada kesamaan. Tetapi, tidak melihat substansi yang sesungguhnya dari kegiatan kami,” demikian disampaikan Gus Huda, salah seorang pengasuh Pondok Pesantren Midanutta’lim, Mayangan, Jogoroto, Jombang, notabene pengasuh Jamaah Tabligh wilayah Jombang, Mojokerto, Gresik dan Kediri kepada duta.co, Kamis (3/6/2021).
Menurut cucu almaghfurlah KH Minhaj Manshur ini, banyak orang yang salah melihat Jamaah Tabligh atau sering disebut jaulah ini. Kesalahan itu bisa dimaklumi karena mereka hanya melihat dari sisi luar, atau casing belaka. Misalnya, cara berpakaian yang sedikit cingkrang, memelihara jenggot. “Padahal sunnah-sunnah seperti itu juga diamalkan oleh para masyayikh kita, para kiai kita di Nahdlatul Ulama,” tegasnya.
Meski demikian, tegas Gus Huda, dirinya tidak ingin melakukan klarifikasi atau tabayyun perihal adanya salah persepsi tersebut. Karena, diyakini, kesalahan persepsi itu akan hilang dengan sendirinya. “Cuma kita kepingin (ingin) sowan, silaturrahim ke PWNU Jawa Timur. Dan ini yang kita lakukan kalau ada pihak-pihak yang salah memaknai kegiatan dakwah kita,” tambahnya.
Seperti diketahui, dalam buku ‘Aswaja An-Nahdliyah’, Ajaran Ahlussunnah wa-al-jamaah yang berlaku di lingkungan Nahdlatul Ulama versi PDF (portable document format), terbitan Tim PWNU ini, di halaman 4 tertulis, bahwa, latar belakang diterbitkannya Buku Aswaja NU ini, antara lain karena munculnya berbagai kelompok di tengah masyarakat Islam yang mengaku sebagai golongan Ahlus Sunnah wa-al-Jama’ah. “Contohnya seperti MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), FPI (Front Pembela Islam), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Lasykar Jihad Ahlussunnah wa al-Jama’ah, Salafi, Jama’ah Tabligh atau Jawlah,” demikian tulis buku tersebut.
Sementara dalam versi cetak, dalam pantuan duta.co, tidak ditemukan penyebutan Jama’ah Tabligh atau Jawlah. Kalimatnya berhenti pada kata Salafi. “Latar belakang diterbitkannya Buku Aswaja NU ini antara lain karena munculnya berbagai kelompok di tengah masyarakat Islam yang mengaku sebagai golongan Ahlus Sunnah wa-al-Jama’ah. Contohnya seperti MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), FPI (Front Pembela Islam), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Lasykar Jihad Ahlussunnah wa al-Jama’ah, Salafi,” demikian versit cetak.
“Kami husnuddzon saja. Mungkin saking semangatnya melindungi Ahlus Sunnah wa-al-Jama’ah. Atau merasa paling Ahlus Sunnah wa-al-Jama’ah sehingga meragukan yang lain. Yang jelas, kegiatan Jama’ah Tabligh tidak akan pernah bersinggungan dengan masalah khilafiyah, masalah politik, bahkan semaksimal mungkin untuk tidak sampai menganggu orang lain,” tegasnya.
Kegiatan inti Jamaah Tabligh atau Jaulah, ujarnya, adalah untuk mengajak umat Islam lebih mengingat Allah swt, menyintai Rasulullah. “Tidak lebih dari itu. Misalnya, bagaimana makan-minum cara Rasulullah, tidur cara Rasulullah, berbicara cara Rasulullah. Ingat! Jama’ah Tabligh tidak boleh masuk ke dalam ranah fikh, halal haram. Karena setiap umat sudah ada gurunya, ustad dan kiainya. Maka, soal fikh, kita kembalikan kepada tokoh umat setempat,” pungkasnya. (sov)