SURABAYA | duta.co – Direktur Utama PT Buana Lautan Indah, Sanjaya Sundjoto, mendesak Polda Jawa Timur untuk segera melimpahkan berkas perkara tersangka Anthony Setiawan Teodorus kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Desakan ini mengacu pada putusan praperadilan Pengadilan Negeri Surabaya yang menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap Anthony sah secara hukum sesuai putusan perkara Nomor 17/Pid.Pra/2024/PN.Sby.
Kuasa hukum Sanjaya Sundjito, Yakobus Welianto mengungkapkan kekecewaannya terhadap lambannya penanganan perkara yang telah berjalan lebih dari tiga tahun tanpa kejelasan. Laporan Polisi LPB/297/V/RES.19/2021/UM/SPKT POLDA JATIM yang ia ajukan sejak 17 Mei 2021 dianggap belum mendapatkan penanganan yang sesuai dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum.
“Sudah lebih dari tiga tahun kasus ini berjalan, tetapi tidak ada perkembangan signifikan. Penundaan ini mencederai rasa keadilan dan kepastian hukum bagi korban,” tegas Yakobus Welianto, Senin (9/12/2024).
Pada 1 Oktober 2024, Pengadilan Negeri Surabaya menolak permohonan praperadilan tersangka Anthony Setiawan Teodorus. Dalam putusannya, pengadilan menegaskan bahwa penetapan tersangka oleh Polda Jatim telah memenuhi syarat hukum, termasuk adanya dua alat bukti sah, seperti keterangan saksi, dokumen, dan pengakuan tersangka terkait dugaan pemalsuan dokumen.
Meski demikian, hingga saat ini, Polda Jatim belum melimpahkan berkas perkara tahap I kepada Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Penundaan ini memicu spekulasi adanya dugaan intervensi yang dapat menghambat proses hukum.
“Putusan praperadilan itu final dan mengikat. Tidak ada alasan hukum untuk menunda pelimpahan berkas perkara ini,” kata Yakobus.
Anthony Setiawan Teodorus diduga melakukan tindak pidana pemalsuan dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP. Salah satu dokumen yang diduga dipalsukan adalah Akta Notaris Nomor 67, yang mencantumkan tanggal tidak sesuai fakta dan digunakan dalam proses perdata di Pengadilan Negeri Situbondo hingga tingkat Peninjauan Kembali (PK). Akibatnya, pelapor mengalami kerugian besar, termasuk biaya hukum yang signifikan.
Sanjaya juga menyoroti adanya kejanggalan dalam proses penyidikan, seperti pengulangan gelar perkara yang dinilai tidak relevan setelah adanya putusan praperadilan.
“Kami menduga ada upaya penghambatan yang bertentangan dengan asas penegakan hukum yang adil dan transparan,” ujar Yokubus.
Sanjaya Sundjoto meminta aparat penegak hukum untuk menjunjung tinggi asas keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum. Ia berharap bahwa gelar perkara khusus yang akan dilakukan oleh Biro Wassidik Mabes Polri pada 10 Desember 2024 dapat memberikan solusi konkret dengan segera melimpahkan berkas kasus ini kepada JPU.
“Kami percaya Mabes Polri akan mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan perkara ini sesuai dengan aturan hukum yang berlaku,” ujar Yakobus.
Kasus ini telah menjadi perhatian publik sebagai ujian bagi integritas dan independensi aparat penegak hukum di Indonesia. Sanjaya berharap tidak ada intervensi yang mencederai proses hukum, baik terhadap korban maupun pelapor.
“Penegakan hukum yang berlarut-larut hanya akan memperlemah kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum,”ungkapnya.
Kasus Anthony Setiawan Teodorus diharapkan menjadi momentum untuk memperkuat komitmen bersama dalam menegakkan hukum yang adil, transparan, dan tanpa pandang bulu.
Berdasarkan analisis di atas, tindakan tersangka memenuhi unsur-unsur tindak pidana pemalsuan surat sesuai Pasal 263 KUHP. Pembuatan surat dengan tanggal yang dimundurkan dan mencantumkan informasi yang belum ada pada tanggal tersebut menunjukkan adanya pemalsuan materiil.
Penggunaan surat tersebut dalam persidangan perdata untuk menguatkan posisi hukum juga memenuhi unsur penggunaan surat palsu yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Oleh karena itu, unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 263 KUHP terpenuhi dalam kasus ini.
Masih pernyataan Yakobus, setelah penetapan tersangka dinyatakan sah melalui putusan praperadilan, proses hukum terhadap tersangka berlanjut sesuai dengan tahapan dalam sistem peradilan pidana Indonesia. “Mengenai upaya hukum yang tersedia, norma hukum, asas, dan teori hukum yang relevan, serta prosedur pelimpahan perkara ke Jaksa Penuntut Umum (JPU),” paparnya.
Upaya Hukum Setelah Putusan Praperadilan bersifat final dan mengikat, sehingga tidak ada upaya hukum lanjutan seperti banding atau kasasi terhadap putusan tersebut.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 45A ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang menyatakan bahwa terhadap putusan praperadilan tidak dapat diajukan kasasi.
Selain itu, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2016 menegaskan bahwa peninjauan kembali terhadap putusan praperadilan tidak dapat diajukan.
Dalam Norma Hukum yang Mengatur Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 77, mengatur kewenangan praperadilan oleh Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan, serta permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi.
“Didalam Pasal 82 ayat (1) juga disebutkan bahwa pemeriksaan praperadilan dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya. Sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, Memperluas objek praperadilan, termasuk sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan,” pungkasnya. (gal)