BENSIN: Penjualan BBM Premium di SPBU. (ilustrasi)

JAKARTA | duta.co – Pemerintah segera merevisi Peraturan Presiden (Perpres) nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian Dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM). Tujuannya, pasokan BBM jenis Premium terpenuhi di seluruh Indonesia. Dalam Perpres tersebut diatur soal pendistribusian Premium hanya diwajibkan di luar Jawa, Madura, dan Bali (Jamali). Artinya, Premium bukan BBM penugasan untuk wilayah Jamali. Belakangan ini memang ramai di Medsos protes masyarakat atas langkanya premium, BBM ‘termurah’.

“Yang sudah akan berjalan ini menunggu ditandatangani Pak Presiden (Joko Widodo) adalah Perpres yang akan direvisi yang intinya untuk Premium itu tidak saja di luar Jamali (Jawa Madura dan Bali),” kata Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar dalam konferensi pers di kantor Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Senin (9/4).

“Nanti dalam waktu dekat dan sesegera mungkin juga untuk Jamali,” lanjut Arcandra.

Menurut Arcandra, lewat revisi Perpres itu, pasokan Premium di Jamali maupun luar Jamali aman. Berdasarkan arahan Presiden Jokowi, pasokan Premium harus benar-benar terpenuhi dan tidak langka.

Arcandra menambahkan, selain Perpres, Permen atau Peraturan Menteri soal distribusi Premium juga akan direvisi. “Satu menyangkut ketersediaan Premium, Pak Presiden instruksikan dalam rapat kabinet terbatas untuk ada ketersediaan Premium di seluruh wilayah RI. Kalau ada peraturan baik Permen atau Perpres yang diperlukan untuk laksanakan ini maka akan segera diterbitkan aturannya atau direvisi,” tambah Arcandra.

Di tempat yang sama, Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Fanshurullah Asa menyatakan bakal mengatur ulang kuota jenis BBM khusus penugasan (JBKP) yang ditetapkan ke PT Pertamina (Persero). Sebelumnya Pertamina ditetapkan menyalurkan 7,5 juta kiloliter (kl) di luar Jawa, Madura dan Bali (non-Jamali).

Fanshurullah menyampaikan, angka itu akan diubah menyusul direvisinya Perpres Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM. Dengan direvisinya Perpres ini, Jamali bakal jadi wilayah penugasan juga. Artinya PT Pertamina wajib menjaga pasokan BBM jenis Premium di wilayah tersebut. Dengan begitu, dia memastikan akan ada tambahan kuota Premium yang harus disalurkan Pertamina.

“Yang jelas sudah ditugaskan oleh BPH Migas untuk disalurkan kan gitu (7,5 juta kl). Sudah ada SK-nya (Surat Keputusan). Kalau nanti ada revisi Perpres 191 bahwa nanti Jamali itu masuk JBKP maka ada tambahan kuota (Premium),” katanya.

Namun untuk angka pastinya penyaluran yang bakal ditetapkan ke Pertamina, harus dibicarakan dalam sidang komite BPH Migas bersama Pertamina. “Itu harus sidang komite nanti. Sidang komite akan rapat. Kita panggil Pertamina memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dan kemampuan masyarakat,” lanjutnya.

Setelah Perpres terbit, segera ditetapkan berapa jumlah tambahan pasokan yang harus disalurkan perseroan. “Nanti nunggu perpresnya dulu dong. Perpresnya diubah, JBKP itu termasuk seluruh NKRI, baru nanti BPH mesti melaksanakan sidang komite untuk melakukan tambahan penugasan di wilayah Jamali,” tambahnya.

 

Premium Tak Disubsidi

Sebelumnya, Manager External Communication PT Pertamina Pusat Pertamina Arya Dwi Paramita, mengungkapkan, sebagaimana ditetapkan dalam Perpres 191/2014, Premium bukan lagi BBM yang disubsidi yang sudah diterapkan sejak 31 Desember 2014.

“Tapi kondisinya saat ini masyarakat masih belum bisa move on dari Premium dan banyak belum tahu kalau sekarang kondisinya sudah tidak disubsidi pemerintah,” jelasnya saat Media Values Day dengan jurnalis asal Sumbagsel di RM Sasanti Jogjakarta, Jumat (6/4).

Sedangkan menurut Perpres Nomor 191 Tahun 2014, ada 3 jenis BBM yang didistribusikan. Pertama, Jenis BBM Tertentu (JBT) yang terdiri dari Solar dan Minyak Tanah.

Arya melanjutkan, kalau minyak tanah sekarang kondisinya masih ada tapi sudah tidak terlalu banyak. Dan, untuk Solar pemerintah hanya memberikan subsidi tetap Rp 500/liter. “Jadi untuk sisa selisih dari harga jual solar dan harga pasar solar? Ya, Pertamina yang tanggung,” ujarnya.

Selanjutnya, kedua Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) yaitu Premium yang sudah tidak diberi subsidi oleh pemerintah. “Sejak munculnya Perpres 191/2014 Premium sudah tidak lagi disubsidi pemerintah,” tegasnya.

Premium dalam Perpres 191/2014 itu sudah ditetapkan sebagai BBM Khusus Penugasan yang tidak lagi mendapat subsidi dari Pemerintah. Posisi Pertamina sebagai perusahaan energi yang diberi tugas sebagai operator, tentunya mengacu kepada penugasan dan volume distribusinya ditetapkan pada Perpres 191/2014.

Selanjutnya kandungan sulfur premium, bisa merusak kadar kualitas udara jangka panjang yang akan memberi dampak buruk kesehatan. Kalau dibandingkan dengan negara lain, standar minimal bbm digunakan RON 91 dan BBM RON 88 hanya dipakai untuk operasional tank bekas. Bayangkan kalau masuk ke kendaraan jenis baru di Indonesia, efek ketahanan mesinnya dipastikan akan cepat bermasalah.

Sebelumnya Jamali Dikurangi

Selanjutnya pendistribusiannya tertera dalam Perpres No 191/2014 masih ke seluruh Indonesia kecuali wilayah Jawa, Madura dan Bali (Jamali). Dan, untuk JBKP harga masih ditetapkan pemerintah yang akan dievaluasi setiap 3 bulan sekali.

“Tetapi kondisinya saat ini Pertamina masih mendistribusikan karena agar tidak terjadi ketimpangan konsumsi Premium meski volumenya tidak sebesar di luar wilayah Jamali,” ujarnya.

Jenis BBM ketiga yaitu jenis BBM Umum (JBU). Diluar jenis Solar dan Premium, berarti termasuk dari JBU. Seperti Petralite, Pertamax, Pertamax Dex, Solar Dex dan lainnya. Karena bukan termasuk JBKP untuk pendistribusiannya dilakukan ke seluruh Indonesia. Dan, untuk harga BBM jenis JBU ditetapkan oleh Pemerintah.

 

Negeri Kaya Minyak Jadi Kenangan

Indonesia yang di era tahun 1990-an menyandang status negara kaya minyak bumi ternyata kini tinggal kenangan semata. Karena negara yang disebut kaya minyak atau menyandang predikat produsen adalah negara dengan angka produksi di atas angka konsumsinya.

“Kalau dulu benar Indonesia negara kaya minyak. Sebab di era 1990-an dulu kita ekspor minyak. Karena total produksi di tahun tersebut di angka 1,6 juta barrel dengan angka konsumsl 800 ribu barrel saja. Artinya produksi kita berlimpah,” kata Arya Dwi.

Kenapa sekarang fakta itu menjadi mitos, begini penjelasan dari Arya Dwi Pramita. Tingginya pertumbuhan penduduk, pesatnya pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan akan minyak mendorong tingginya konsumsi minyak.

“Benar pada 2003, angka konsumsi lebih tinggi dari produksi. Namun, muncul sebuah fakta baru angka produksi minyak kita terus turun didorong kebutuhan yang semakin tinggi. Di tahun 2018 kebutuhan akan minyak 1,6 juta barrel sementara produksinya 800 ribu barrel degan kata lain kita sudah jauh dari angka produksi. Artinya kondisi realnya Indonesia sudah tidak kaya minyak lagi,” tegasnya.

Kondisi di era 1990-an dengan tahun 2018 sekarang ini berbanding terbalik. Menurut Arya Dwi Pramita, itu mitos yang pertama. Mitos kedua, premium sudah tidak disubsidi pemerintah. hud, der, era

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry