Direktur LBH Surabaya, Abd Wachid Habibullah, SH, MH. (FT/IST)

SURABAYA | duta.co – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya tidak akan membiarkan Anindya menghadapi urusan polisi sendirian. Direktur LBH Surabaya, Abd Wachid Habibullah, SH, MH, menegaskan, bahwa, lembaganya siap mendampingi mahasiswan Papua yang dipolisikan terkait insiden  6 Juli 2018 di Asrama Kamasan III Jl. Kalasan, Surabaya.

“Kita akan dampingi. Pertama kita pertanyakan legal standing pelapor (IKBPS, Ikatan Keluarga Besar Papua Surabaya) itu dari mana? Apakah dia korban atau mewakili pemerintah?  Karena saya lihat mereka berseragam. Ini penting, karena terkait kedudukan pelapor, harus jelas, punya legal standing termasuk konten yang dilaporkan, pasal berapa, tentang apa?,” tegasnya kepada duta.co, Jumat (13/7/2018)

Kedua, lanjut  Wachid, kejadian di Asrama Mahasiswa Papua itu fakta, bena-benar terjadi dan kita banyak sekali saksi-saksi, bukti-bukti. “Itu bukan karangan , ini fakta. Makanya kita akan hadapi laporan tersebut. Dengan demikian, justru publik menjadi tahu, apa sesungguhnya yang terjadi. Tidak boleh ada pelecehan, intimidasi, kekerasan atas nama apa pun. Inilah yang menimpa mereka,” jelas anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) ini.

Masih menurut Wachid, mahasiswa Papua butuh pendampingan. Tidak boleh dibiarkan sendiri. “Pengacara LBH Surabaya siap menjadi kuasa hukum sdr Anindya. Kita akan dampingi ketika diperiksa kepolisian dengan mengumpulkan dan membawa bukti-bukti, karena kejadian diskriminasi terhadap mahasiswa Papua sering kali terjadi dan, kami (LBH Surabaya red.) sudah sering mendampinginya,” tegasnya.

Sikap LBH ini menjawab laporan IKBPS (Ikatan Keluarga Besar Papua Surabaya) yang tidak terima dan melaporkan Anindya  ke Polrestabes Surabaya, Kamis (12/7/2018) siang.

Insiden menegangkan antara aparat keamanan dan mahasiswa Papua di Surabaya. (FT/ANDI)

Seperti diberitakan duta.co, Ketua IKBPS Piter Rumasep mengatakan, pihak IKBPS menyoal postingan Anindya di medsos sebagai bentuk  provokasi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, yang nantinya dapat menimbulkan konflik dan kebencian mahasiswa Papua maupun Warga di Papua terhadap aparat keamanan dan Pemerintah di wilayah Jawa Timur.

Menurutnya hasil pertemuan IKBPS dengan mahasiswa Papua pasca kejadian pada tanggal 6 Juli 2018, terkait dengan postingan di medsos tentang tindakan aparat keamanan yang telah melakukan tindakan rasis dan pelecehan seksual, adalah tidak benar dan tidak sesuai dengan kronologi di TKP.

“Kami sudah melapor ke Polrestabes terkait permasalahan tersebut dan mengenai pemasangan bendera merah putih akan kami lakukan. Namun kami masih menunggu Sekda Papua yang akan hadir ke Asrama Kamasan untuk meminta ijin pendataan mahasiswa Papua, apabila bukan mahasiswa yang benar-benar belajar, maka, kami akan mengeluarkan mahasiswa/kelompok tersebut,” tegas Pieter kepada duta.co Kamis (12/7/2018) kemarin. (and,mky)