KELUARGA BESAR: Dr DB KH M Muzammil Basyuni (tiga kiri) bersama keluarga besarnya, terlihat Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang KH Mustofa Bisri (Gus Mus), yang merupakan kakak iparnya. KH Muzammil Basyuni adik dari mendiang Hj Fatmah binti Basyuni, istri Gus Mus. (ist)

JAKARTA | duta.co – Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Kabar duka menyelimuti warga nahdliyin. Grup WA duta.co menerima berita bahwa telah berpulang ke rahmatullah Dr DB KH M Muzammil Basyuni, ketua Badan Pelaksana Masjid Istiqlal (BPPMI), Rabu (28/3/2018) pukul 09.35 WIB, di Rumah Sakit Siloam Semanggi, Jakarta.

Selanjutnya, jenazah almarhum disalatkan di Masjid Istiqlal, pukul 13.00 WIB, dibawa ke rumah duka di Pondok Aren Jakarta, dan dimakamkan di pemakaman Tanah Kusir Ba’da Salat Ashar.

“Saudaraku yang baik hati dan selalu tersenyum, DR. M. MUZAMMIL BASYUNI, hari ini berpulang ke RahmatuLlãh menyusul adiknya St. Fatma Basyuni. Semoga husnul khatimah. Mohon doa dan Fatihah Anda sekalian.” Demikian komentar KH A Mustofa Bisri (Gus Mus), saudara ipar Muzammil Basyuni, di akun Facebook-nya. Kakak dari Muhammad Muzammil Basyuni, Ny Hj Fatmah binti Basyuni, diperistri Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang tersebut.

Kiai Muzammil Basyuni pernah menimba ilmu di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, Kulliyatul Mu’allimin Al Islamiyah Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, dan Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijogo Yogyakarta (1966/1967), serta Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1967/1968). Kiai Basyuni adalah lulusan Fakultas Adab dan Syariah, Universitas Baghdad Irak tahun 1972.

Kiai Muzammil Basyuni merupakan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia di Republik Arab Suriah periode 2006-2010. Sebagai diplomat yang berangkat dari santri tulen, Kiai Muzammil Basyusni memiliki prinsip tentang kemandirian yang kuat.

Menurut Kiai Basyuni, pondok tidak memberikan ikan kepada santrinya, melainkan kail, untuk mencari ikannya sendiri. Apa yang diterima santri di Gontor adalah ‘kail’, bukan ‘ikan’. Pendidikan 24 jam dalam lingkup kelas, asrama, masjid dan setiap sudut, dimaksudkan untuk mempersiapkan alumni-alumni yang mumpuni dalam segala bidang keilmuan, beserta mengembangkan keilmuannya sembari terjun ke masyarakat nanti.

Berikut wawancara dengan Kiai Muzammil Basyuni yang dikutip duta.co, Rabu (28/3), dari media resmi Pondok Modern Tazakka, Batang, Jawa Tengah. Wawancara dilakukan di sela-sela kegiatan pembekalan pesantren mahasiswa di Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta beberapa waktu lalu.

 

Bisa cerita tentang perjalanan karir Bapak dari Santri hingga menjadi seorang Duta Besar?

Menjadi Santri adalah pilihan saya, bukan karena bujukan orang tua, bukan juga karena ajakan teman-teman saya. saya menyaksikan sendiri keindahan hidup di pesantren. Semuanya serba mandiri, ditangani sendiri oleh santri, mulai mengurus kebutuhan hidupnya sehari-hari, termasuk mencuci pakaian sendiri, bisa survive, dan bisa menyiasati keterbatasan yang   ada.

Memberikan motivasi kepada santri-santrinya. Dan itulah yang mengantar saya akhirnya bisa sampai ke negeri Arab.

Saya berbekal dari pondok pesantren salaf, Krapyak, Yogyakarta, belajar ilmu nahwu dan shorf didukung dan diperkuat pendidikan yang saya dapat dari Gontor selama 3 tahun. Sebelum di Gontor saya tidak mampu berbicara bahasa Arab meskipun banyak pengetahuan ilmu alat yang kuat, kitab Alfiyyah ibnu Malik dan seterusnya saya hafal. Dengan bekal ilmu alat tadi saya bisa menilai percakapan seseorang yang menggunakan Bahasa Arab, benar atau salah.

Namun demikian saya tidak bisa berucap/berdialog dengan menggunakan Bahasa Arab. Itulah yang mendorong saya untuk belajar ke Gontor, saya ingin tahu metodenya. Sesungguhnya Gontor mengajarkan saya untuk benar walau kadang harus salah dulu dalam berbahasa.

Setelah selesai pendidikan di Gontor saya kembali lagi ke Krapyak, dan dengan restu dan ridlo kiai saya melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Bagi saya, restu dan ridlo kiai  sangat penting, dan saya selalu sum’an wa tho’atan terhadap titah guru (mendengar dan mentaati perintah guru), makanya dimanapun saya berada tidak pernahjauh dari suhbah ustadz (bergaul dan dekat dengan guru), akhirnya ya mengalir saja, irtijal (Arab) dan sampailah seperti sekarang ini.

Belajar diplomasi sebenarnya sudah saya mulai semasa di pondok melalui keorganisasian pesantren, dan kalau diceritakan tentang kesulitan mendapatkan apa yang diinginkan waktu di pondok adalah untuk melatih diri saya.

 

Santri identik dengan keterbelakangan, tradisional dan perannya hanya  di  pinggiran  saja, bagaimana menepis anggapan ini?

Jalan paling mudah adalah cukup buktikan pada dunia bahwa santri bisa seperti saya, sudah jelas bahwa santri itu modern. Pelajaran penting yang pernah didapat santri khususnya di Gontor waktu belajar berbahasa adalah siap salah untuk benar, kalau takut salah kapan bisa benar.

 

Bagaimana seorang santri bisa menjadi agen perubahan? Nilai-nilai pesantren yang seperti apa yang bisa mendorong santri mengambil peran strategis pembangunan bangsa?

Khoirukum an fa ‘ukum linnas demikian yang saya kutip dan sering saya dengar dari salah seorang pendiri Pondok Modern Gontor KH Imam Zarkasyi (sebaik-baik kalian adalah yang paling bermanfaat bagi umat manusia). Saya masih terngiang-ngiang seruan kiai Gontor “bukan untuk tujuan tertentu belajar di Gontor, manfaat apa belajar di Gontor? Bukan untuk jadi presiden, miliarder, pejabat, pegawai, tetapi “jadi orang”. Ini jelas sebagai peran seorang santri dalam hidupnya. Apa pun dan di mana pun seseorang santri pasti dibutuhkan, tidak mencari pekerjaan tapi dicari pekerjaan. Sebagai contoh waktu itu ribuan orang yang ikut seleksi menjadi calon Dubes, saya justru dapat daulat dari Adam Malik (sembari menceritakan saat berpapasan dengan Adam Malik saat pulang dari kantor waktu itu), Adam Malik yang mendaulat saya untuk menjadi Dubes.

 

Apa pengalaman yang berkesan selama Bapak menjadi Dubes?

Yang paling berkesan adalah mimpi yang menjadi kenyataan, dalam doa dan mimpi saya agar ada dari Syiria yang tahu persis tentang Indonesia secara langsung. Bukan cuma tahu mengenai TKI dan TKW-nya. Alhamdulillah Grand Mufti Syiria dua kali datang ke Indonesia. Mereka tahu bahwa kita adalah muslim mayoritas yang berpotensi. Ada juga cerita pengalaman yang berkesan saat pertama kali saya ke Mesir, saya naik mobil carteran, saya melihat ke indikator bensin tidak bekerja/tidak bergerak saya curiga dan bilang kepada sopir “syuf ha ma ta’mal ibroh!! fadhi bitrul?? (lihat jarum indikator tidak bergerak, apa bensinnya kosong? “la., mali dza..” jawab orang Mesir (sopir).

Akhirnya saya minta mampir di tempat pom bensin ternyata benar kosong. Seandainya benar kehabisan di tengah gurun pasir, tidak ada sinyal, bisa bahaya. Padahal ini kali pertama saya menginjak bumi Mesir. Allahu musta’an. Juga pernah suatu ketika saya dalam perjalanan, mobil yang saya tumpangi dikelilingi kambing, seperti thowaf mengitari mobil. Setelah sampai di tujuan, si sopir bertanya, tadi temannya siapa kok turun di jalan, saya bingung dan sopir bilang bahwa tadi ada yang turun di jalan yang duduk di samping saya, padahal saya tidak bersama seorang pun, man huwa? (siapa dia?)

 

Apa hobi Bapak?

Hobi saya diplomasi dan profesi saya mengaji. Diplomat adalah hobiku, ngaji adalah profesiku.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry