“Seorang anak buahnya bercerita, selama menjadi Komandan Group di Serang, dia menolak setoran dan pemberian para pengusaha.”

Oleh Hersubeno Arief

“WAN AJAK mas Hersu makan yang enak ya,” ujar Kolonel Pramono Edhie Wibowo kepada Lettu Inf Iwan Setiawan.

“Siap!” jawab  Lettu Iwan sambil tersenyum.

Iwan langsung mengajak saya keluar Ksatrian Gatot Subroto  Markas Group I Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD. Letaknya  tak jauh dari pintu tol Serang Barat, Banten.

Kami menuju salah satu restauran yang banyak tersebar di sepanjang jalan Kota Serang-Cilegon. Makan enak seperti “diperintahkan” Sang Kolonel.

Edhie sendiri memilih melanjutkan kerja dan kemudian makan bersama dengan staf dan pasukannya. Dia tampaknya tak enak hati kalau harus mengajak saya makan ransum, jatah prajurit.

Siang itu saya baru saja menemui Edhie yang menjabat sebagai Komandan Group 1  Kopassus TNI AD di Serang, Banten (1998).

Kami membahas detil akhir rencana penerbitan buku  dokumentasi keberhasilan para pendaki Kopassus TNI mencapai puncak gunung tertinggi di dunia Himalaya ( 8.848 meter).

Setahun sebelumnya (26 April 1997) dua orang pendaki Kopassus Pratu Asmujiono dan Sertu Misirin berhasil mencapai puncak Himalaya.

Tim ini dipimpin oleh Lettu Iwan Setiawan yang kini menjadi Komandan Korem 173/PVB di Biak, Papua dengan pangkat Brigjen.

Ketiganya menjadi pendaki  pertama di Asia Tenggara yang berhasil mencapai puncak impian pendaki gunung di seluruh dunia.

Buku berjudul “Di Puncak Himalaya Merah Putih Kukibarkan” itu rencananya akan diterbitkan pada tanggal 17 Agustus 1998 bersamaan dengan HUT Kemerdekaan RI ke 53.

Sebagai anggota tim penulis,  saya sering menemui Kolonel Edhie untuk konsultasi, mengecek akurasi data, dan berbagai teknis lainnya.

Sewaktu masih berpangkat Letkol dan menjabat sebagai Wakil Komandan Group 1 Kopassus, Edhie  ditunjuk oleh Komandan Jenderal Kopassus Mayjen TNI Prabowo Subianto sebagai Koordinator Umum Tim Ekspedisi Himalaya.

Dia memimpin ekspedisi, bekerjasama dengan sejumlah pendaki sipil dari berbagai klub pendaki antara lain  Mapala UI dan Wanadri.

Dalam penyusunan dan penulisan buku Edhie menjadi koordinator pelaksana.  Prabowo sebagai penanggung jawab.

Berbarengan dengan jatuhnya kekuasaan Presiden Soeharto, dan karir militer Prabowo terhenti, Edhie juga mengambil peran sebagai penanggung jawab.

Sebagai komandan, Edhie punya kebiasaan unik. Dia makan jatah ransum yang juga dimakan anak buahnya. Tak ingin dibeda-bedakan.

Sederhana, dekat dengan anak buah adalah sifat yang menonjol putra legenda Kopassus Letjen TNI Sarwo Edhie Wibowo.

Dia tampaknya sangat meneladani, menjaga nama baik dan kehormatan ayahandanya.

Seorang anak buahnya bercerita, selama menjadi Komandan Group di Serang, dia menolak setoran dan pemberian para pengusaha.

Kebiasaan semacam itu secara bercanda disebut sebagai jatah “preman.”

Sebagai gantinya Edhie minta kepada pengusaha untuk membantu anak buahnya,  bila memerlukan. Misalnya kepada pengusaha angkutan, dia minta ketika anak buahnya naik, digratiskan.

Fasilitas-fasilitas kecil semacam itu sangat membantu para prajurit yang gajinya tidak memadai. Sikap Edhie membuat anak buah sangat respek. Menghormatinya.

Gayanya tidak berubah kendati karirnya terus meroket. Berbagai jabatan penting di TNI AD pernah diembannya.

Mulai dari Danjen Kopassus (2008–2009), Pangdam III/Siliwangi (2009–2010), dan Panglima Kostrad (2010–2011). Puncak karirnya di militer  ketika diangkat menjadi Kepala Staf TNI AD (2011-2013) dengan pangkat jenderal bintang empat.

Edhie tetap menyapa ramah dengan senyum mengembang manakala bertemu. “Eh kemana aja lu?,” sapanya.

Jenderal baik hati, ramah dan sederhana itu Sabtu (13/6) wafat dalam usia 65 tahun karena sakit jantung.

Selamat jalan Jenderal Pramono Edhie Wibowo.  Semoga Allah SWT menerima semua amal baikmu.

Allohuma firlahu warhamhu waafihi wa’fuanhu. end

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry