
Dosen Fakuktas Kedokteran
Psikiater RSI Surabaya Jemursari
LENGKUNG pita merah menghias di tanggal 1 Desember tiap tahunnya. Kita memperingati Hari AIDS Sedunia dengan satu narasi stop stigma: menjauhi penyakitnya, bukan orangnya. Ini adalah satu narasi besar.
Sebagai seorang psikiater dan pendidik, saya berdiri di garis depan kampanye ini. Di balik jas putih dan ruang praktik, ada kegelisahan yang sering tak terucap—sebuah dilema etis yang membayangi upaya kami dalam menghadapi epidemi ini.
Wajah Epidemiologi Hari Ini
Mari kita bicara data, bukan sekadar asumsi. Laporan UNAIDS (2023) menunjukkan bahwa meskipun ada penurunan angka kematian, dunia masih mencatat sekitar 1,3 juta kasus infeksi HIV baru per tahun.
Yang perlu menjadi perhatian kita adalah pola penularannya. Secara global, populasi kunci (termasuk laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki/LSL atau gay, pekerja seks, dan pengguna narkoba suntik) beserta pasangan seksual mereka, menyumbang persentase yang sangat signifikan terhadap infeksi baru. Di Indonesia, data Kementerian Kesehatan seringkali menunjukkan tren yang memilukan: lonjakan kasus pada ibu rumah tangga.
Mengapa? Karena mereka tertular dari suami yang melakukan perilaku seks berisiko di luar rumah. Fakta ini menegaskan bahwa HIV bukan sekadar masalah virus; ini adalah masalah perilaku.
Spektrum Pasien: Antara Korban dan Pelaku
Di sinilah letak pergulatan batin saya sebagai tenaga kesehatan. Saya disumpah untuk melayani tanpa membedakan, untuk melawan stigma yang sering kali membunuh pasien lebih cepat daripada virusnya itu sendiri. Faktanya, realitas klinis menghadapkan saya pada dua spektrum pasien yang sangat kontras.
Di satu sisi, hati saya teriris melihat pasien perempuan—seorang istri yang taat, tidak tahu apa-apa, yang tiba-tiba mendapati dirinya positif HIV karena perilaku suaminya. Atau anak-anak yang lahir dengan HIV tanpa pernah meminta dilahirkan dalam kondisi demikian. Bagi mereka, empati kami tumpah ruah tanpa syarat.
Di sisi lain, kami berhadapan dengan pasien yang memiliki same-sex attraction (SSA) aktif atau individu heteroseksual yang gemar berganti pasangan (selingkuh). Secara sadar, mereka memahami risiko medisnya. Sayangnya, sebagian dari mereka terus melakukan perilaku berisiko tinggi tanpa mempedulikan dampaknya bagi pasangan sah mereka di rumah.
Sebagai dokter, kami tetap merawat. Namun sebagai manusia dan psikiater yang memahami struktur keluarga, ada rasa geram yang harus saya redam. Mengajak masyarakat untuk tidak men-stigmatisasi ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) adalah kewajiban, tetapi memvalidasi perilaku berisiko yang menghancurkan orang lain adalah hal yang berbeda.
Pedang Bermata Dua Pengobatan Modern
Kemajuan sains memberi kita Antiretroviral (ARV) dan Pre-Exposure Prophylaxis (PrEP). Obat-obatan ini adalah mukjizat medis yang mengubah HIV dari vonis mati menjadi penyakit kronis yang dapat dikelola. Konsep U=U (Undetectable = Untransmittable) membuktikan bahwa ODHA yang berobat teratur tidak akan menularkan virusnya.
Ternyata kemudahan ini membawa dilema baru. Apakah rasa aman karena adanya obat ini justru menjadi “angin segar” bagi perilaku menyimpang?
Dalam praktik psikiatri, kita mengenal konsep moral hazard. Ketika risiko fisik dimitigasi oleh obat, ketakutan akan konsekuensi menghilang. Ada kekhawatiran valid bahwa ketersediaan pengobatan yang mudah justru melonggarkan rem kendali diri seseorang untuk kembali melakukan seks bebas atau hubungan sesama jenis, karena mereka berpikir, “Toh, ada obatnya.”
Menata Ulang Narasi
Melawan stigma adalah mutlak, karena stigma membuat orang takut berobat. Namun, perlawanan terhadap stigma tidak boleh diartikan sebagai normalisasi perilaku seks berisiko.
Kita perlu menggeser narasi dari sekadar “obat menyembuhkan fisik” menjadi “tanggung jawab memulihkan perilaku”. Bagi rekan sejawat dan masyarakat awam, mari kita bersikap adil. Kita rangkul ODHA sebagai manusia yang butuh pertolongan medis dan psikologis. Namun, kita juga harus tegas mengatakan bahwa membahayakan nyawa pasangan melalui ketidaksetiaan atau perilaku seksual menyimpang adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab.
Obat bisa membunuh virus, tetapi hanya integritas dan kesetiaan yang bisa memutus mata rantai penularan perilaku. Selamat Hari AIDS Sedunia. Mari peduli, mari bertanggung jawab. *







































