“Pesan ini sungguh memukul hati kita semua, sebagai insan yang beriman mengingat masyarakat kita memiliki spirit ibadah yang sangat tinggi terutama di bulan suci.”

Oleh: Dr Muhammad Fahmi Hidayatullah MPdI*

KONDISI corona yang kian melanda negara dan bangsanya, membuat masyarakat bertanya-tanya, mengapa terjadi demikian? Bahkan beberapa orang ketakutan karena kekhawatiran akan terpapar wabah yang mematikan.

Pada akhirnya, pemerintah mengambil berbagai langkah dalam usaha melakukan pencegahan penyebaran Covid-19 dengan memunculkan berbagai instruksi dan kebijakan pada masyarakat maupun pemerintah daerah di seluruh nusantara.

Diawali dengan instruksi  social distancing artinya pembatasan interaksi dengan orang yang berada di sekitar, penggunaan masker, alat pelindung diri dan lain sebagainya. Selanjutnya physical distancing merupakan pembatasan jarak fisik dengan orang lain yang ditentukan batas minimalnya antara 1-2 meter. Dan terakhir per tanggal 31 Maret 2020 pemerintah mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020.

Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dapat diberlakukan dengan syarat peningkatan jumlah kasus, angka kematian maupun penyebaran yang signifikan ke beberapa wilayah disertai memiliki keterkaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain.

Sementara untuk dapat diterapkannya PSBB, gubernur atau pemerintah kota/kabupaten mengusulkan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang kesehatan dengan memperhatikan pertimbangan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Penanganan Covid-19.

Fenomena di beberapa daerah terdampak baik tingkat RT/RW telah menerapkan physical distancing semi PSBB dengan skema penutupan akses keluar masuk jalan desa maupun keluruhan pada waktu tertentu.

Bahkan daerah yang tidak terdampak pun telah melakukan langkah antisipatif khususnya wilayah perkotaan dengan menerapkan langkah tersebut dimulai pada jam-jam tertentu, seperti di waktu pagi menjelang siang dan sore menjelang malam. Termasuk keluarnya himbauan untuk melaksanakan ibadah di rumah saja dan tidak melaksanakan berjama’ah di masjid maupun musholla.

Kondisi demikian, tentu, membuat masyarakat dilema dengan tidak diperbolehkannya berjamaah di tengah mewabahnya virus corona. Sementara bulan suci hadir di tengah-tengah mereka. Kehadiran bulan suci dari tahun ke tahun terbukti telah membawa keberkahan tersendiri yakni, bangkitnya kekuatan ekonomi masyarakat dan momentum perekat ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama muslim) melalui berbagai kegiatan yang menjadi perantara seperti shalat berjamaah wajib maupun sunnah, tadarus al-Qur’an dan kajian keilmuan berisi nasehat hidup agar menjadi beRkah dan bermanfaat untuk semua orang.

Namun bukan berarti kondisi sekarang membatasi manusia untuk berhubungan dengan Rabbnya dalam melakukan amalan ibadah bulan suci. Ada ibroh yang dapat diambil dalam perpektif pesan para sufi tentang #ibadahdirumahsaja pada bulan suci, yakni transformasi ibadah dari quantity menuju quality sebagaimana disampaikan oleh KH Luqman Hakim direktur sufi center.

Pesan ini sungguh memukul hati kita semua, sebagai insan yang beriman mengingat masyarakat kita memiliki spirit ibadah yang sangat tinggi terutama di bulan suci.

Kita semua perlu mengetahui apa makna tranformasi ibadah dari quantity menuju quality? Yaitu perubahan cara beribadah masyarakat dari aspek banyak jamaah menuju mutu/kualitas berjamaah.

Jika kita menggunakan cara pandang para sufi, bahwa selama ini masyarakat melakukan ibadah luar biasa khususnya di bulan suci, hampir setiap masjid dan musholla penuh. Akan tetapi, ada khawatiran ibadah yang dilakukan seseorang yakni, i’timad kepada amal (mengandalkan amal), bahkan mengandalkan jama’ah yang banyak tetapi kualitasnya dipertanyakan. Justru hal ini lebih mengkhawatirkan umat Islam sendiri karena dapat meruntuhkan hati nurani dan pondasi keimanannya.

Fakta di kalangan masayarakat, mereka berbondong-bondong melaksanakan jama’ah pada bulan tertentu saja, temasuk mengeluarkan harta yang dimilikinya hanya dilakukan karena sebuah kewajiban bukan karena hati yang tergetak melihat mereka yang sedang membutuhkan diluar kewajibannya.

Sementara ketika kondisi seperti saat ini, kita merasa ada yang kurang ketika dibatasi dalam melaksanakan ibadah bulan suci. Padahal kondisi demikian sebenarnya Allah sedang menguji diri kita dimana perlu sekali melakukan husnudzan (berprasangka baik) kepada Allah.

Berprasangka baik kepada Allah dengan dasar wanabluwakum bisysyarri wal khoiri fitnatun wa ilainaa turjauun (al-Anbya’: 35), artinya “dan kami akan mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai fitnah (gangguan), dan hanya kepada kamilah kamu kembali.”.

Pentingnya berprasangka baik kepada Allah terhadap setiap ujian yang di berikan-Nya. Kerena jika tidak demikian, maka kita akan merasa memikul beban berat yang disertai tertutupnya hati nurani. Sehingga mengakibatkan terbentuknya pribadi yang kufur nikmat, baik nikmat kesenangan maupun kesusahan karena kondisi hati yang keruh.

Sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat al Baqarah ayat 286, bahwa Allah tidak membebani orang di luar kemampuannya. Selain itu, sabda Rasulullah SAW, inna rahmati tsabaqat ghadabi artinya sesungguhnya kasih sayang-Ku (rahmat-Ku) lebih kuat dari pada amarah-Ku. Artinya kasih sayang Allah mendahului dari amarah-Nya. Sehingga, tidak perlu kita memandang bahwa ujian yang didatangkan Allah bukan karena kasih sayang-Nya melainkan amarah yang diturunkan kepada manusia karena perilakunya.

Oleh karena itu, umat Islam dalam keadaan wabah, perlu melakukan perubahan cara beribadah dari ibaadah yang disebut dengan anta’budahu artinya hendaknya engkau menyembah Allah, misalkan karena takut dosa, takut tidak mendapatkan pahala, bahkan karena takut siksa neraka dan lain sebagainya, menuju ubudiyyah antaqshudahu artinya hendaknya engkau ibadah menuju Allah.

Makna menuju tentu lebih mendalam dibandingkan hanya sekedar menyembah Allah atau menggugurkan kewajiban sebagai hamba Allah. Sebagai insan yang beriman, perlu melakukan perubahan cara beribadah dengan menuju bukan sekedar menyembah Allah.

Diawali dengan ishlahul bawadih menata hati, menata iman, dan termasuk menata amal. Sehingga ketika ketiganya telah tertata, maka saat manusia diberikan cobaan dengan kondisi apapun tidak mudah gundah/gelisah, karena hatinya sedang menuju Allah.

Menuju Allah tidak ditentukan dengan jumlah banyak jamaah. Apalagi banyaknya jamaah hanya dilakukan pada bulan puasa dan hanya melaksanakan ibadah sunnah. Sementara shalat lima waktu di bulan puasa tidak sebanyak shalat sunnah yang dilakukan di malam harinya.

Hal inilah yang perlu dipertanyakan kepada diri kita sendiri, mengapa kita tidak siap menghadapi ujian dan anjuran melaksanakan #ibadahdirumahsaja? Padahal shalat tarawih yang dilakukan secara berjamaah mengikuti jejak para sahabat Umar bin Khattab r.a. berdasarkan hadits-hadits yang telah diriwayatkan terdahulu.

Salah satunya, kekhawatiran umat Islam tidak melaksanakan amalan bulan suci jika dilakukan sendiri di rumah. Bahkan Rasulullah pun pernah tidak datang ke masjid untuk melaksanakan shalat terawih karena ke khawatirannya ibadah terawih diwajibkan Allah. Hadits tersebut diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a. artinya:

“Dari Aisyah Ummil Mu’min radliyallahu ‘anha, sesungguhnya Rasulullah pada suatu malam shalat di masjid, lalu banyak orang shalat mengikuti beliau. Pada hari ketiga atau keempat, jamaah sudah berkumpul (menunggu Nabi) tapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru tidak keluar menemui mereka. Pagi harinya beliau bersabda, ‘Sunguh aku lihat apa yang kalian perbuat tadi malam. Tapi aku tidak datang ke masjid karena aku takut sekali bila shalat ini diwajibkan pada kalian.” Sayyidah ‘Aisyah berkata, ‘Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan’.”

Dengan demikian berdasarkan hadits di atas, keadaan seperti sekarang lah merupakan kondisi yang tepat untuk melakukan perubahan pada amaliyah kita di bulan suci. Kualitas ibadah menjadi prioritas utama untuk dibangun dalam masa wabah. Memulai kembali menata hati nurani, untuk menyempurnakan iman dan amal. Merasa seakan hanya diri kita yang berada di hadapan Allah, tanpa ada yang lain kecuali pribadi sendiri sebagai hamba lemah makhluk ciptaan Allah.

Pada akhirnya, kita tak mudah terjebak oleh kondisi yang memaksa diri untuk melaksanakan ibadah sebagaimana mestinya, serta menghadap Allah dengan hati yang merdeka, lega, ridho, dan dibalut dengan cinta-kasih sayang mendalam. Wallahua’lam bis shawab!

*
Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry