Oleh Sad Praptanto Wibowo, SH, MH*

 Persoalan ASN netral atau cenderung berpihak dalam gelaran Pilkada memang menjadi dilema tersendiri. Bahwa sebagai civitas akademika berstatus ASN memang seseorang “demi hukum” harus netral, namun sebagai bagian masyarakat tak pelak acapkali sulit untuk tidak berpolitik karena berpolitik seringkali merupakan “kebutuhan” batin seseorang dalam aktualisasi intelektualitasnya.

JELANG perhelatan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur (Jatim) pada 27 Juni 2018 mendatang, publik dikejutkan dengan Survei Pilgub yang dirilis oleh Pusat Kajian Pembangunan dan Pengelolaan Konflik (Puskep) FISIP Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.

Survei Puskep menyajikan data elektabilitas dua kandidat yang berlaga di Pilgub Jatim  2018. Hasil survei Calon Gubernur, Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dan Calon Wakil Gubernur, Puti Guntur Soekarno unggul dengan hasil elektabilitas 47,25 persen dibanding duet Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elestianto Dardak sebesar 42,25 persen.

Survei yang dirilis oleh salah satu dosen FISIP Unair Putu Aditya di Cafe Tjap Pregolan Surabaya, Selasa (29/5/2018) lalu, ternyata menuai kritik karena terdapat sejumlah kejanggalan karena tidak sesuai dengan data terbaru survei di sejumlah lembaga survei.

Selain itu, survei yang mengklaim Unair dan digelar 12-19 Mei 2018 di 38 kabupaten/kota seluruh Jatim dengan jumlah responden 800 orang dan margin of error 2 persen dengan tingkat kepercayaan 98 persen terus menimbulkan perdebatan.

Sayangnya, bukan hasil survei yang diributkan melainkan keberadaan survei yang mengatasnamakan Unair membuat sang Rektor Prof Dr Moh Nasih sampai melakukan klarifikasi. Prof Nasih menegaskan survei yang mengatasnamakan Puskep FISIP Unair Surabaya itu bukan resmi dari pihak kampus, karena pihak kampus tidak pernah membuat program survei untuk Pilgub Jatim 2018.

Memang, – kalau benar – pencatutan nama Unair dalam survei itu sangatlah tidak etis mengingat survei yang diselenggarakan terkait Pilgub ini adalah opini di luar civitas akademika Unair. Sehingga terbawanya nama Unair yang sifatnya luas dan mayoritas bisa membuat masyarakat berfikir bahwa yang membuat survei itu adalah resmi dari pihak kampus. Tentu saja ini meresahkan Unair sebagai kampus prestisius yang seharusnya memang netral.

Dari kejadian tersebut di atas, bisa saja kita mengarahkan pikiran pada konsepsi netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN),  sebab dimungkinkan rilis hasil survei itu dimaknai sebagai keberpihakan kepada salah satu kontestan Pilkada Jatim yang unggul dalam survei tersebut.

Terkait dengan netralitas ASN dalam perkara itu, berdasarkan Pasal 2 huruf f UU No. 5/2014 tentang ASN menjelaskan, bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.

Lebih rinci lagi, sebagai bagian dari etika diri sendiri, Pasal 11 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 mewajibkan PNS untuk menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan. Pelanggaran atas kewajiban tersebut, selain bisa dikenakan sanksi moral, bisa juga dikenakan tindakan administratif atas rekomendasi Majelis Kode Etik PNS.

Tuntutan netralitas ASN sangat jelas dalam Undang-Undang Pilkada. Hal itu tercantum dalam Pasal 70 dan Pasal 71. Mereka yang sudah dipastikan melanggar ketentuan netralitas ASN dalam pesta demokrasi ini harus diproses secara transparan. Publik harus mengetahui seluruh prosesnya sebagai bagian dari pendidikan politik.

Persoalan ASN netral atau cenderung berpihak dalam gelaran Pilkada memang menjadi dilema tersendiri. Bahwa sebagai civitas akademika berstatus ASN memang seseorang “demi hukum” harus netral, namun sebagai bagian masyarakat tak pelak acapkali sulit untuk tidak berpolitik karena berpolitik seringkali merupakan “kebutuhan” batin seseorang dalam aktualisasi intelektualitasnya.

Mereka yang telah ditetapkan sebagai tersangka harus diproses hukum secara terbuka agar publik tahu. Pengadilanlah yang nanti menentukan apakah mereka bersalah atau tidak. Begitu juga dengan pelanggar kode etik dan administrasi terkait netralitas PNS. Mereka harus diproses dan mendapatkan sanksi sesuai dengan ketentuan.

Dan soal proses hukum terhadap ASN terkait gelaran Pilkada bukanlah hal yang baru. Pada Pilkada 2017, seperti dibeberkan Mendagri Tjahjo Kumolo, ada 1.256 laporan dan ada 878 temuan pelanggaran netralitas ASN. Dari jumlah itu, 916 kasus masuk ranah pidana sedangkan 682 kasus masuk ranah pelanggaran administrasi.

Kita berharap pelanggaran netralitas ASN dalam Pilkada 2018 kali ini akan bisa ditekan jauh lebih rendah ketimbang Pilkada 2017.

Selain dengan upaya penegakan hukum, kita juga berharap ASN bisa menjaga netralitasnya dan memberikan tauladan agar Pilkada 2018, Pemilu Legislatif, dan Pilpres 2019 bisa berjalan jujur, adil dan bermartabat.

*Dosen FH UNTAG Surabaya/Pengurus Asosiasi Pengajar HTN-HAN Jatim dan DPC PERADI Surabaya

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry