Para kuasa hukum keluarga korban saat menunjukkan salinan surat laporan polisi kepada awak media, terkait dugaan malapraktik yang menewaskan Bhagas Priyo usai operasi amandel di RS Islam Siti Hajar Sidoarjo. Dari kiri: perwakilan BBH Damar Indonesia Muhammad Nailul Amani, ibu korban Anju Vijayanti, dan perwakilan LBH Nurani, Indri. (FT/gal)

SIDOARJO | duta.co – Dugaan tindak pidana malpraktik medis kembali mencuat. Seorang pemuda berusia 28 tahun, Bhagas Priyo, warga Desa Spande, Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo, meninggal dunia usai menjalani operasi tonsilektomi (pengangkatan amandel) di Rumah Sakit Islam Siti Hajar, Sidoarjo, pada Sabtu, 21 September 2024 lalu.

Pihak keluarga yang merasa janggal dengan kematian Bhagas, kemudian melaporkan kasus tersebut ke Polresta Sidoarjo pada 2 Oktober 2024, sebagaimana tertuang dalam Tanda Bukti Lapor Nomor: LPM/1019/IX/2024/SPKT/POLRESTA SIDOARJO POLDA JATIM.

Kuasa hukum keluarga korban, Muhammad Nailul Amani dari BBH Damar Indonesia, menjelaskan bahwa sejak laporan dibuat, proses penyelidikan justru berjalan sangat lambat. Bahkan, mereka mendapatkan informasi bahwa pihak kepolisian tengah mempertimbangkan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas kasus ini.

“Kami sangat menyayangkan sikap Polresta Sidoarjo yang terkesan tidak serius. Padahal kasus ini menyangkut nyawa manusia. Pasien datang ke rumah sakit dalam kondisi sehat, namun pulang dalam kondisi tidak bernyawa. Keluarga ingin tahu penyebab pasti dan siapa yang bertanggung jawab,” tegas Nailul dalam konferensi pers, Selasa (29/7/2025).

Nailul menambahkan, berdasarkan laporan polisi, dugaan pidana yang disangkakan yaitu pelanggaran Pasal 440 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang mengatur sanksi terhadap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kealpaan (kelalaian) yang mengakibatkan pasien meninggal dunia. Selain itu, laporan juga mengacu pada Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian.

Pihak keluarga sendiri menyatakan bahwa almarhum Bhagas Priyo sempat menjalani prosedur operasi dengan diagnosa amandel, namun dinyatakan meninggal dunia akibat gagal jantung pasca operasi. Pihak rumah sakit disebut tidak memberikan penjelasan yang memadai mengenai penyebab pasti kematian pasien.

Ibu korban, Anju Vijayanti, mengaku sangat terpukul dan kecewa dengan proses hukum yang tidak berjalan sesuai harapan.

“Saya tidak terima anak saya meninggal dalam ruang operasi, lalu dikatakan itu hanya takdir. Betul itu takdir, tapi kami berhak tahu prosesnya. Kenapa bisa sampai anak saya meninggal. Sampai sekarang, baik dari pihak rumah sakit maupun kepolisian, tidak ada penjelasan yang memuaskan,” ujarnya lirih.

Pihak kuasa hukum Indri dari LBH Nurani juga mengeluhkan sulitnya mendapatkan akses terhadap dokumen medis dan administrasi penting dari rumah sakit, termasuk informasi persetujuan tindakan medis (informed consent) dan rekam medis lengkap korban. Mereka menduga ada indikasi upaya menutupi fakta hukum dan medis terkait kejadian tersebut.

“Sampai sekarang pihak kepolisian tidak pernah meminta tambahan bukti kepada kami, bahkan tidak pernah mengonfirmasi perkembangan apapun. Kami khawatir ada tekanan atau intervensi terhadap penyidik agar kasus ini tidak diproses lebih lanjut,” tambah Indri.

Tim kuasa hukum menyatakan keprihatinan mendalam terhadap lambannya penegakan hukum, serta mendesak Polresta Sidoarjo untuk bersikap profesional, independen, dan transparan.

“Sudah satu tahun keluarga korban berjuang mencari keadilan. Jika benar Polresta akan menerbitkan SP3, itu artinya bukan hanya mengabaikan rasa keadilan, tapi juga memberi preseden buruk terhadap perlindungan hak-hak pasien,” tandasnya.

Hingga berita ini ditulis, pihak Rumah Sakit Islam Siti Hajar maupun Polresta Sidoarjo belum memberikan tanggapan resmi atas desakan keluarga dan kuasa hukum korban. (gal)

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry