Banyak anak putus sekolah. Ini harus menjadi perhatian bersama. (ft/dok)

“Anak tahan banting ialah anak yang diuji dengan ‘bantingan’ bukan yang dikhotbahi tentang tahan banting. Rumah harus menerapkan kurikulum ‘tega’ yang terukur agar anak terdidik mandiri..”

Oleh: Mulyanto*

KONSEP pendidikan anak menurut sahabat Nabi Muhammad SAW, Ali bin Abi Thalib ada tiga. Yaitu, Pertama, di usia tujuh tahun pertama, didik anakmu laksana raja. Kedua, di usia tujuh tahun kedua didik anakmu laksana tawanan perang. Ketiga, di usia tujuh tahun ketiga dan seterusnya didik anakmu laksana seorang sahabat.

Para ahli di banyak literature, menerangkan, anak di usia tujuh tahun kedua atau anak yang berada di usia sekolah dasar dan menengah pertama adalah masa untuk membentuk pribadi anak seutuhnya. Ini menentukan anak menjadi kokoh dan sukses di masa depan atau tidak.

Masa itu yang menurut konsepsi Sayyidina Ali, berada pada periode pendidikan anak laksana ‘tawanan perang’. Di masa ini, orangtua sejak di rumah harus mampu ‘membereskan’ anak-anaknya untuk menyiapkan masa depan yang gemilang.

Orangtua pada masa inilah yang berkeharusan membentuk dan memberi arti kesuksesan bagi anak untuk masa depannya. Jika orangtua sepenuh hati mendidik anak dengan visi misi kesuksesan yang jelas, di rumah dan di sosialnya (di sekolah), maka anak akan memaksimalkan seluruh potensi menuju itu.

Orangtua menjadi lentera penyemangat bagi anak untuk mencapai hari depan yang lebih cerah. Bukan sebaliknya. Karena itu, tidak boleh orangtua abai dalam pendidikan anak di rumah. Semua harus maksimal.

Orangtua di fase pendidikan anak yang berada dalam ‘tawanan perang’ ini tetap mendasarkan pada cinta yang dahsyat kepadanya. Bukan dasar kebencian. Tak hanya mencintai, kata Meline M. Kevorkian, pakar pendidikan dasar hingga universitas di Florida Selatan, orangtua harus menjadi mentor sekaligus satpam mereka. Menjadi psikolog mereka, dan pengritik terbaik mereka.

Karena dasarnya dengan cinta, maka orangtua saat mendorong anak menjadi sekuat macan, buatlah suasana itu adalah seolah mengelus kepalanya. Kemudian saat orangtua mengritik dengan pedas anak, agar menjadi lebih baik, buatlah anak merasa itu adalah nasihat yang lembut bagi mereka. Apapun yang akan membuat anak sukses, pastikan orangtua selalu ada di sisi anak yang peduli dan menyayangi mereka.

Orangtua harus menjadi faktor penyebab anak sukses. Orangtua yang terus menggiring anak ke arah cahaya tanpa lelah. Selalu menjadi suri tauladan mulia, tak hanya menceritakan dongeng ketauladanan. Mencontohkan dirinya yang tak mudah menyerah, penyabar, ikhlas, dan sebagainya.

Orangtua yang memberi contoh telah bekerja keras dan melakukan yang terbaik maka anak pun pasti tak akan mudah menyerah, selalu bersemangat, dan ikhlas atas usaha dan doanya –yang meski Tuhan menganugerahkan hasil akhirnya bagaimanapun– menuju kesempurnaan hidupnya.

Ingat, anak tahan banting ialah anak yang diuji dengan ‘bantingan’ bukan yang dikhotbahi tentang tahan banting. Rumah harus menerapkan kurikulum ‘tega’ yang terukur agar anak terdidik mandiri, bertanggungjawab, dan percaya diri.

Itu syarat penting menjadi anak gemilang. Untuk itu orangtua jangan mudah menggampangkan atau terburu-buru mengambil alih kesulitan yang dihadapi anak.

Biarkan ia menyelesaikan sendiri persoalan yang dihadapi hingga sukses –berdasar imbangnya persoalan dengan usia anak. Kalau orangtua mau ‘tega’ dalam mendidik anak, maka cita-cita mewujudkan anak gemilang akan terwujud.

Kalau mau jujur melihat fenomena saat ini, jamak orangtua terlalu memberikan fasilitas yang mewah dan memanjakan anak. Itu menyebabkan anak tak mandiri. Padahal jika kurikulum ‘tega’ dihadirkan di rumah, insya Allah impian menjadikan anak sholeh akan tercapai.

Sebuah misal, di waktu shalat subuh, orangtua harus tega membangunkan anak dan mengajaknya ke masjid, ini sedikit ‘tega’ tapi dampaknya sangat baik. Contoh lainnya, selalu berlapang dada dan suka memberi maaf saat didholimi orang lain. Nilai positifnya, anak lebih mengerti, penyabar, dan berusaha meminimalisir berbuat salah pada orang lain. Jiwa pemaaf baik karena hidup tak selalu menjadi pemenang atas segala situasi, serta lebih dapat bersikap rendah hati.

Orangtua hebat bukan orangtua yang bergelar panjang atau bergelimang hartanya. Tidak. Tapi dia yang selalu dibanggakan anak-anaknya karena karya dan kebermanfatannya sangat tak terbilang. Dan yang anak-anaknya selalu berkata: Aku ingin seperti ayah, aku ingin seperti ibu.

Semoga kita semua tidak lalai dalam mendidik anak yang tangguh dalam hidup. Tangguh badan dan tangguh hatinya. Semoga berguna. (*)

Mulyanto adalah Staf SD Muhammadiyah 4 Pucang Surabaya.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry