BERKAS LENGKAP (P21): Tersangka Setya Novanto didampingi kuasa hukumnya saat hendak meninggalkan Gedung KPK, Jakarta, Rabu (6/12). ist

JAKARTA | duta.co – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan status Novanto saat ini sudah menjadi terdakwa dalam perkara korupsi e-KTP. Hal itu disampaikan Kepala Biro Hukum KPK Setiadi saat membacakan jawaban KPK atas permohonan praperadilan Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksl), Jumat (8/12).

“Adapun pada faktanya pada saat perkara a quo dibacakan tanggal 8 Desember 2017, pemohon Setya Novanto tidak lagi menyandang sebagai status tersangka. Tetapi sudah berstatus terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi KTP elektronik,” kata Setiadi.

PN Jaksel melalui hakim tunggal Kusno, kembali menggelar sidang lanjutan praperadilan Novanto dengan agenda jawaban dari pihak termohon, yakni KPK.  Hal itu, kata Setiadi, didasarkan pada pengertian terdakwa dalam Pasal 1 Ayat (15) KUHAP yang menyatakan terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili oleh sidang Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

“Adapun telah beralihnya status pemohon Setya Novanto terhadap perkara a quo dari status tersangka menjadi terdakwa telah secara jelas berdasarkan surat pelimpahan atas nama terdakwa Setya Novanto yang merupakan surat pengantar dari termohon ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta,” ucapnya.

Pada intinya, lanjut Setiadi, berkas perkara Setya Novanto ditambah dengan dokumen-dokumen lainnya yang telah dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

“Berdasarkan hal tersebut, maka pelimpahan terdakwa atas nama Setya Novanto yang dilakukan termohon pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk segera memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara pemohon yangg telah berstatus terdakwa, bukan lagi tersangka, telah sesuai Pasal 137 juncto Pasal 143 Ayat (1) KUHAP,” tuturnya.

Pengadilan Tipikor Jakarta pun, lanjutnya, telah menindaklanjuti permintaan KPK dengan menetapkan hari sidang, yakni Rabu (13/12) pukul 09.00 WIB dan memerintahkan penuntut umum untuk menghadirkan terdakwa Setya Novanto.

Novanto ditetapkan kembali menjadi tersangka dalam kasus korupsi e-KTP pada Jumat (10/11). Novanto disangka melanggar Pasal 2 Ayat (1) subsider Pasal 3 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Perubahan atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

 

Per KTP Dapat Rp2.000

Dalam persidangan terdakwa kasus e-KTP, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Kamis (7/12) kemarin, fakta baru terungkap. Dalam proyek itu, Setnov disebut menerima fee 5 persen. Per satu e-KTP, Setnov mendapat jatah Rp 2.000.

Awalnya, Jaksa penuntut umum KPK membacakan pembuktian tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Andi Agustinus alias Andi Narogong, sebagai terdakwa, di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, pada persidangan dengan agenda tuntutan.

Dalam pembuktian yang dibacakan oleh jaksa penuntut umum Eva Yustisiana, konsorsium pemenang lelang mendapat jatah masing-masing untuk memberikan komitmen fee, termasuk jatah untuk Novanto. “PT Sandipala Artapura untuk Gamawan Fauzi lewat Azmin Aulia sebesar 5 persen, Quadra untuk Setya Novanto 5 persen, PNRI untuk Irman dan staf 5 persen,” ucap jaksa Eva, Kamis (7/12).

Persentase jatah telah ditetapkan, Novanto sebagai pihak yang mendapat jatah pun setuju dengan besaran fee 5 persen dari nilai kontrak. Hal ini didukung dengan pertemuan di Equity Tower dan dihadiri oleh Andi Narogong, Anang Sugiana Sudiharjo, dan Chairuman Harahap. Pada pertemuan tersebut, pihak konsorsium dikonfirmasi komitmennya terkait jatah. Andi Narogong yang ikut hadir dalam pertemuan tersebut mengamini.

Muasal jatah fee 5 persen untuk Novanto berasal dari selisih harga rekaman Automated Fingerprint Identification System (AFIS). Di kediaman Setya Novanto, Johannes Marliem selaku vendor penyedia AFIS merek L-1 mengatakan, harga perekaman identitas per penduduk seharga USD 0.5 atau setara Rp 5 ribu.

Minta Diskon ke Marliem

Novanto pun meminta diskon dan diamini oleh Johanes Marliem. Harga pun berubah yang awalnya Rp 5 ribu per penduduk menjadi Rp 3 ribu. Selisih Rp 2 ribu itulah yang masuk sebagai komitmen fee untuk ketua DPR-RI.

“Di rumah Setya Novanto, Johannes Marliem jelaskan harga profuk afis L-1 USD 0.5 atau setara Rp 5 ribu, per penduduk. Setya Novanto meminta diskon. Selisih harga diberikan kepada Setya Novanto sebagai komitmen fee dari nilai kontrak,” ujarnya.

Eksekusi komitmen fee untuk Novanto pun dilakukan oleh Johannes Marliem melalui PT Quadra Solution, sebagai anggota konsorsium yang bertugas sebagai penyedia AFIS. Namun realisasinya, pemberian uang itu tidak mencapai persentasi seperti yang telah ditentukan. “USD 7 juta disalurkan lewat PT Quadra Solution dengan meminta invoice seolah-olah pengeluaran PT Quadra adalah pengeluaran sah,” ujarnya.

Sementara, Andi Narogong mundur dari kegiatan konsorsium. Namun tetap mendapat bayaran dari Johannes Marliem atas Biomorf Lone, sebagai vendor penyedia AFIS yang digunakan pada proyek e-KTP.

Pembayaran diterima Andi secara bertahap serta menggunakan pihak ketiga sebagai bentuk penyamaran, yakni Muda Ikhsan. “Kemudian mendapat uang dari Johannes Marliem USD 2,5 juta. Transfer Biomorf melalui Muda Ikshan lewat bank Singapura,” tukasnya. hud, net

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry